webnovel

Arsya Menunggu di Belokan

Irwan juga menjelaskan kalau maksud kedatangannya bukan ingin mengganggu hubungan rumah tangga mantannya dan hanya ingin menggali inforamasi saja dan itu menurutnya sangatlah penting.

Keresahan dan beribu pertanyaan Irwan setidaknya terjawab sudah.

Tak lupa, Irwan juga meminta maaf karena telah melibatkan sahabatnya—Arsya dan si dosen tentunya sangat paham.

Clear sudah semuanya.

"Salsa beruntung menurut gue, nasibnya enggak jelek-jelek banget. Gue rasa si Pak dosen Doni itu memang baik. Enggak kayak gue yang dulu ambisius milikin Salsa."

Arsya mengangguk-ngangguk sambil tertawa kecil mendengar ucapan Irwan barusan. Wajahnya terlihat bengong ke jalanan, tapi ucapannya memang nyambung.

"Setidaknya gue selamat, untung saja pak Doni baik. Gue salut sama dia, itu orang yang bener-bener pake ilmunya dalam kehidupan enggak sekadar teori." Arsya mengisap rokoknya, dan membuang asapnya ke jendela, karena kaca mobil memang sudah terbuka.

"Iya enggak kayak lo, sekadar kata-kata bijak tanpa realisasi. Hahaha." Irwan meledek dengan iringan tawa.

Arsya tersedak, dia memang merima sindiran Irwan padanya. Tapi, itu memancing Arsya untuk kembali berkata-kata puitis.

"Hidup ini suka meniru."

"Maksud lo? Mulai deh so bijaknya." Irwan menggeleng-gelengkan kepala, di matanya kalau sahabatnya itu sudah puitis terkadang Irwan seperti melihat seorang sufi yang sedang gila dengan teorinya sendiri.

Hanyut dalam lamunan yang tidak bisa Irwan pahami.

"Maksud gue, kita meniru lilin yang menerangi tapi dia terbakar sendiri. Bukan melulu soal penafsiran dia bercahaya saja, tapi itu juga bisa disebut kebodohan. Ya kan? Menerangi orang lain dengan kata-kata bijak, menasehati tapi dirinya sendiri tidak pernah benar-benar berubah dan pada akhirnya dia terbakar dengan apa yang dia berikan pada sekitar. Sama aja bohong."

Irwan tertawa, "hahaha. Itu lo, tolol! Lo nyindir diri lo sendiri."

"Iya, gue. Ngapain gue sindir lo? Lo ada di depan gue, ya enggak perlu gue sinidr-sindir kan?"

Irwan sudah tidak bisa lagi melawan argument kuat Arsya, dia menyerah.

"Terserah lo deh! Lo suhu, gue cupu."

"Nah gituh dong, sadari!" Arsya merasa senang.

***

Setelah Arsya mengambil mobilnya di kantor Irwan, dia pun menilik-nilik jam tangannya.

Sudah jam lima sore yang berarti dia harus pulang sekarang dengan cepat.

Melaju ke jalanan, pikiran Arsya bercabang-cabang.

Ucapannya dengan Irwan tadi sebenarnya juga menyadarkan Arsya.

Dia masih belum bisa mengontrol rasa sakit di hatinya, dia masih menyalahkan takdir atas kepergian ibunya dari hidupnya.

Itu adalah luka yang tak terlihat dan Arsya saja yang mampu merasakannya, orang lain tidak bisa.

Psikolog dan Psikiater pun hanya bisa menduga, berusaha empati padanya tapi masalah merasa mereka mungkin punya jalur nasib yang berbeda dengan Arsya.

Tapi Arsya juga sadar kalau kata-kata yang dia lontarkan hanyalah seni yang bisa dinikmati, masalah terpakai itu tergantung orang yang menyikapinya saja.

Arsya kemudian menelpon Radit. Memastikan adiknya dan dirinya nanti pulang bersamaan ke rumah.

"Di mana lo sekarang?" tanya Arsya setelah panggilan teleponnya tersambung dengan Radit.

Sekarang Arsya sedang berada di dalam mobilnya yang terparkir di bahu jalan, tepat di belokkan jalan sebelum menuju rumahnya.

"Di jalan Kak, sebentar lagi gue nyampe," balas Radit di ujung sana.

"Oke, gue tunggu di belokkan. Tadi ayah tanya-tanya nggak ke lo?" Arsya memastikan dulu, takutnya dia berbohong eh … semua orang di rumah sudah tahu tadi dia keluyuran ke mana.

"Belum Kak, tadinya sih ayah mau ke kantor tapi enggak jadi katanya."

Arsya tersenyum lebar.

"Syukur, rezeki anak shaleh, hahaha. Ya udah, cepetan lo nyetirnya jangan kayak siput."

"Hmmm." Radit hanya menggeram saja.

KLIK!

Arsya langsung mematikan panggilan teleponnya.

Dan saat Radit ingin menyimpan handphone-nya ke saku celana, tiba-tiba Rachel mengiriminya foto. Radit pun membukanya.

"Shaka?" Radit terkejut karena Rachel memberikan foto selfinya bersama Shaka di suatu tempat.

Radit tahu tempat itu. Mereka sedang di balai kota tempat yang dulu menjadi persinggahan mereka kalau sudah selesai mata kuliah.

"Dit, datang ke sini. Aku sama Shaka tungguin kamu ya!" tulis Rachel dalam pesannya.

Tanpa pikir panjang, Radit pun memutar haluan untuk menuju ke tempat itu dan mengirimi kakak tirinya—Arsya pesan agar dia pulang ke rumah sendiri tanpa perlu menunggu Radit.

***

"Sial si Radit, udah gue tunggu-tunggu dia eh … keluyuran. Tapi enggak apalah, dia juga kerjaannya di kamar mulu, sesekali pergi hang out enggak masalah bagi gue."

Arsya pun melajukan mobilnya dengan perasaan santai.

"Tenang Arsya! Masalah di kantor udah pada beres, si Radit juga sudah masuk ke kantor. Tidak akan ngomel-ngomel lagi kok Babeh lo," celetuk Arsya pada dirinya sendiri.

Arsya melewati halte bus biasa tempatnya menyepi.

Halte bus yang memang sepi itu seolah basecamp-nya sendiri, dia rasa malam ini pun Arsya harus ke sana. Melepaskan penat, lumayanlah.

"Assalamu'alaikum." Arsya melangkahkan kaki ke rumahnya, dan terdengar orang-orang rumah menjawab.

Tapi, hanya nada kecil yang berjarak jauh. "Di mana mereka?" tanya Arsya heran menebak suara yang menjawab salamnya itu.

Tiba-tiba Nia datang dari tangga. Karena sudah menjawab salam, dia pun hanya melontarkan pertanyaan.

"Di mana Radit?" tanyanya kebingungan.

"Dia main sama temennya, Ma," balas Arsya sambil mencium tangan Nia.

Nia kemudian mengelus puncak kepala Arsya sambil tersenyum.

Namun, raut wajah penasaran anaknya pergi ke mana … tetap terlihat.

"Ya udah, mandi gih sana! Tapi temennya yang mana?" Nia bertanya lagi.

"Rachel kok Ma, sama si Shaka katanya."

"Oh Rachel. Sama si anak desa itu?" Nia terlihat menyepelekan, tapi Arsya tidak berprasangka buruk pada ibu tirinya itu.

"Iya, Ma. Katanya sih, tadi si Radit chat Arsya kalau si Shaka udah keterima kerja di kantor si Irwan."

"Baguslah, tapi tetep kan pencapaian tertinggi itu masih dipegang Radit?" Nia memperlihatkan kesombongannya, Arsya yang melihat raut angkuh itu pun jadi sedikit heran dan menohok pada Nia dengan segudang pertanyaan di kepalanya.

Nia yang tersadar kemudian batuk. "Hok, hok. Maksud Mama, semua memang sudah digariskan Alloh ya Arsya. Radit termasuk beruntung punya kakak sebaik kamu dan ayah sebaik ayah kamu. Kalian memang tidak membeda-bedakan Radit di keluarga ini."

"Iya dong Ma, Bagaimanapun kita itu udah jadi keluarga. Harta ayah juga harta kita semua, Radit juga tidak perlu pusing mikirin bagiannya." Arsya tersenyum dan Nia pun juga.

Wajah polos yang mudah dibodohi itu sangat Nia sukai. Arsya bagaikan wayang yang dikendalikan olehnya.

"Makasih lho Arsya." Nia kemudian mengecup kening Arsya dan melepasnya pergi ke kamar.

"Sama-sama Ma, Arsya ke kamar dulu ya."

"Iya." Nia tersenyum seraya mengangguk padanya.

"Si Mina mana, Ma? Biasanya dia nonton televisi mulu," celoteh Arsya sambil berjalan menuju kamarnya.

"Aku di kamar lagi dibaju," sahut Mina berteriak.

"Tuh kedenger nyaut," timpal Nia.

"Hahaha, kirain kakak kamu diambil Sadako tadi." Arsya pun langsung berlari ke kamarnya, takutnya Mina keluar kamar dan memukulnya.

"Kakak!" rengek Mina sebal dengan suara keras.

***

Intan mengelap keringatnya yang bercucuran di kening.

Setelah pulang dan salat asar, dan juga memasak makanan untuk Karin … Intan pun membereskan kamar mess itu.