Shelia diam di kamarnya dengan gelisah. Bibi Elly tadi mengatakan bahwa suaminya sedang ada tamu. Seorang perempuan.
Tentu saja itu membuat shelia sedikit terganggu. Apakah mungkin suaminya itu sedang bermain api di tengah keadaannya yang terbatas?
Apa mungkin suaminya mulai bosan padanya? Shelia sudah tidak seperti dulu. Tidak bisa menemani Ayhner ke pesta. Tidak bisa menyiapkan makan. Juga tidak bisa melayani kebutuhan ranjang pria itu.
Bahkan, Shelia setiap harinya hanya mampu duduk di kasur seperti ini. Tak bisa turun jika tak ada yang mendampingi.
Shelia mendesah kasar,matanya seketika berembun. Bayangan Ayhner main gila dengan wanita lain, tiba-tiba memenuhi isi kepalanya.
Sudah beberapa bulan semenjak kecelakaan itu, Shelia terbaring di ranjang. Geraknya sangat terbatas. Meskipun dia bisa berdiri dan berjalan dengan berpegang sesuatu, tapi itu akan sangat lama. Dan menyisakan lelah serta sakit yang luar biasa.
Di usia pernikahan yang baru menginjak beberapa bulan, Shelia mengalami kecelakaan. Itu membuat Shelia mengalami cedera serius pada tulang belakangnya.
Dan na'asnya lagi, Nyonya Adeline Hamilton yang merupakan mertua sekaligus ibu dari Ayhner pun, meninggal dalam peristiwa tersebut. Ini merupakan pukulan berat untuk keluarga Hamilton. Beberapa bulan sebelum ini, Tuan Andrew Hamilton meninggal karena serangan jantung. Tiga bulan kemudian sang istri menyusul. Dan Ayhner harus menerima kenyataan bahwa istri yang sangat dicintainya juga mengalami lumpuh. Sungguh pukulan yang bertubi-tubi.
"Bibi Elly, apakah tamunya sudah pergi?" tanya Shelia begitu melihat Elly masuk ke kamarnya dengan membawa secangkir teh dan semangkuk kudapan untuknya. Elly tersenyum lembut sambil meletakkan teh tersebut di meja samping ranjang nona mudanya.
Elly lantas duduk di tepi ranjang Shelia. Menggenggam lembut tangan Shelia, wanita cantik yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
"Jangan khawatir, Nona. Wanita sialan itu sudah pergi," ucap Bibi Elly tenang.
"Wanita sialan? Bibi mengenalnya?" tanya Shelia terkejut.
"Bukan hanya Bibi, kau pun mengenalnya."
"Oh, ya?"
"Tentu saja, bahkan sangat mengenalnya." Bibi Elly tersenyum melihat keterkejutan di wajah Shelia.
"Dia adalah Valeri. Anak dari Sebastian Halmurt. Orang yang hampir saja membuat suamimu bangkrut."
Wajah Shelia memucat. Nama itu seolah menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya.
"A…apa yang Valeri lakukan disini? Dan bagaimana kabar terakhir Sebastian?" tanya Shelia gugup sekaligus gemetar.
"Tuan Ayhner tetap memaksa untuk menghukum mati orang itu. Dia tidak akan mengampuni Sebastian begitu saja. Apalagi putrinya itu. Aku rasa dia datang kesini untuk menggoda Tuan Ayhner agar membebaskan Sebastian," ucap Bibi Elly dengan intonasi penuh kebencian.
Bagaimana tidak, Sebastian datang ke kediaman Hamilton dengan keadaan menyedihkan. Tidak memiliki apapun kecuali baju yang melekat di badannya juga Valeri.
Dengan penuh kasih Tuan Andrew menyediakan tempat tinggal yang bagus. Memberi pekerjaan, bahkan memberikan penghidupan yang layak untuk Valeri. Tapi entah kenapa, setelah Tuan Andrew meninggal, Sebastian seolah tak tau diri. Mencuri beberapa surat berharga dan menggadaikannya pada lintah darat.
"Aku sangat membenci orang itu, Bibi."
"Aku pun juga, kita semua membenci Sebastian sialan itu." Bibi Elly menepuk punggung tangan Shelia lembut.
"Bagaimana dengan Valeri?" tanya Shelia ragu.
"Wanita itu sudah pergi, Nona. Jangan khawatir." Senyum Elly terulas kembali.
"Bagaimana….bagaimana keadaannya setelah keluar dari ruangan Ayhner? Apa…apa dia baik-baik saja." Shelia memejamkan matanya menyadari kesalahannya. "Maksudku, apa Ayhner tidak berbuat kasar padanya?" Shelia menunduk malu kemudian menarik tangannya yang berasa di genggaman Elly.
"Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Sayang. Percayalah, Tuan Ayhner tidak akan semudah itu luluh. Bagaimana pun wanita itu menggodanya," jelas Bibi Elly paham akan jalan pikiran Shelia.
"Tapi kulihat sepertinya dia menangis. Mungkin dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan," lanjut Bibi Elly tersenyum puas. Shelia pun hanya mampu mengangguk samar. Ada sedikit keraguan dalam hatinya. Shelia merasa kedatangan Valeri merupakan pertanda buruk.
"Apa yang kau lakukan Bibi? Apakah ada kabar yang menarik?" Ayhner memasuki kamar dengan senyumnya yang selalu membuat orang tenang. Itulah yang membuat Shelia jatuh cinta pada Ayhner. Pria bermata coklat itu punya tatapan yang teduh dan hangat.
"Kau sudah makan malam, Sayang?" Ayhner menghampiri Shelia lalu mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh cinta. Bibi Elly memilih berdiri dan mengatur jarak,agar Tuannya tersebut bisa duduk lebih dekat bersama istrinya.
"Belum, Tuan," ucap Bibi Elly. Ayhner menatap Shelia dan Bibi Elly bergantian.
"Kenapa kau belum makan? Bagaimana jika kau sakit?" tanya Ayhner tak sabar.
"Tenanglah, Sayang. Aku baik-baik saja selama kau bersamaku." Shelia menggenggam tangan Ayhner yang dibalas tatapan penuh cinta dari suaminya tersebut.
Bibi Elly yang menyaksikan semua itu tersenyum senang dan memilih pergi dari tempat itu.
"Bagaimana Valeri? Dia menggodamu?" tanya Shelia hati-hati setelah pintu kamarnya tertutup.
"Bibi Elly pasti berkata yang tidak-tidak," ucap Ayhner terkekeh mengingat bagaimana Bibi Elly dengan segala pemikiran dan kekhawatirannya itu.
"Ayhner, aku sungguh-sungguh," ucap Shelia mencebik.
"Tenanglah, dia hanya ingin membebaskan ayahnya. Dan aku sudah menolaknya. Dia pantas membusuk di sana." Ayhner kemudian memeluk Shelia erat.
"Bagaimana jika dia melakukan segala cara untuk membebaskan Sebastian? Termasuk menggodamu?" tanya Shelia dalam pelukan suaminya.
"Aku tak tertarik. Aku lebih tertarik padamu saat ini. Bagaimana?" goda Ayhner yang membuat pipi Shelia merona.
Wanita yang memakai baju tidur berwarna putih tipis itu semakin menyembunyikan wajahnya di dada Ayhner.
Ayhner mengangkat dagu Shelia. Mempertemukan pandangan mereka yang tengah merindu satu sama lain.
Ayhner mengikis jarak keduanya. Mempertemukan bibir mereka dengan lembut. Decapan-decapan kerinduan mengisi kamar bernuansa putih dengan penuh hasrat.
"Aku merindukanmu, Shelia," ucap Ayhner parau di sela ciumannya yang menuntut. Shelia hanya mampu mengangguk lemah, sebab dia juga merasakan hal yang sama.
Ayhner beralih pada leher putih pucat milik Shelia. Jambang tipis Ayhner kian menggelitik di leher Shelia, membuat Shelia tanpa sadar mendesah.
"Kau membuatku gila, Shelia," racau Ayhner saat merasakan bagian tubuhnya kian mengeras dan meminta lebih. Bahkan kini tangan Ayhner sudah berada di dada Shelia. Membuat wanita itu kian tersiksa akan kenikmatan juga kesakitan. Mengingat keadaannya kini yang tidak bisa bergerak lebih leluasa.
"Andai aku tidak cacat, aku pasti akan selalu menyenangkanmu, Ayhner," ucap Shelia mendongak menikmati sentuhan Ayhner yang bermain-main di puncaknya. Matanya terpejam dengan kedua tangannya yang mencengkeram rambut Ayhner lembut.
"Bagiku, kau tetap sempurna, Shelia. Aku mencintaimu."
Ditengah aktivitas itu, tiba-tiba saja pikiran Ayhner melayang dan terkunci pada sosok Valeri yang menangis di depannya. Dan dengan terang-terangan menolaknya.
"Bunuh saja ayahku, aku tidak sudi menjadi alat pemuas hasratmu,"
Kemudian semuanya gelap.
Terimakasih buat yang sudah mampir kesini…
Jangan lupa terus dukung karyaku ya.
IG : meipratiwi912