"Aku hanya butuh teman tidur. Aku tak butuh apapun lagi. Jadi, apa yang bisa kau tawarkan?" tanya Ayhner dengan seringai liciknya. Ayhner duduk dikursi kebesarannya dengan angkuh.
Sesekali pria berjambang tipis itu mengetukkan abu rokoknya di asbak. Kembali menghisap batang nikotin tersebut dan membuangnya perlahan.
Bagi Ayhner , menyaksikan Valeri ketakutan seperti ini adalah pertunjukan yang menyenangkan.
"Apa saja," jawab Valeri asal yang sedetik kemudian ia sesali.
"Luar biasa. Anak dari seorang penghianat, berusaha mengajakku bernegosiasi? Kamu terlalu berani Valeri Quiin Halburt. Kamu terlalu berani," ucap Ayhner tenang tapi tetap mengintimidasi.
Valeri menunduk ketakutan. Tuan Ayhner benar, dirinya terlalu kurangajar bahkan terlalu berani. Dirinya bisa hidup sampai saat ini saja dia sudah bersyukur. Jika Ayhner mau, bisa saja Ayhner menenggelamkan dirinya ke dasar laut.
"Maksud saya, saya bisa bekerja sebagai pelayan atau koki atau apa saja," ucap Valeri bergetar gugup. Dalam hati Valeri merutuki dirinya yang terlalu percaya diri.
Awalnya Valeri berfikir jika dia akan baik-baik saja saat bertemu dengan mantan bos ayahnya tersebut. Tapi ternyata aura Tuan Ayhner begitu mengerikan. Jangankan berbicara. Untuk bernafas diruangan yang sama saja, sulitnya bukan main.
"Sebagai pelayan?" Ayhner tertawa lepas sesaat setelah mengatakan hal tersebut. Sampai-sampai sudut matanya berair.
Valeri yang menyaksikan hal tersebut di jarak yang lumayan dekat menjadi takut.
Apakah bos besar itu kesurupan?
"Kau tahu kenapa aku tertawa?"
Bagaimana bisa tahu? Memangnya aku tahu pikiran orang lain?
Dengan cepat Valeri menggeleng. Entahlah, apakah jawabannya benar atau tidak. Ayhner pun bangkit dari kursi kebesarannya. Mendekati Valeri yang masih tertunduk ketakutan.
"Kau terlahir serba kecukupan. Dan kau datang kesini untuk menawarkan diri menjadi pelayan? Apa kau serius?" Ayhner berdiri tepat di depan Valeri. Matanya memicing dengan tangannya yang bersedekap. Memperlihatkan otot dadanya yang lapang di balik kausnya yang berwarna putih tipis.
"Kamu tidak tahu cara bekerja, sama sekali. Dan kau datang kesini untuk menjadi pelayan?" Ayhner sedikit menunduk untuk melihat wajah Valeri yang menunduk sejak tadi.
"Dengar, aku lebih suka menidurimu dari pada melihatmu bekerja di sini," ucap Ayhner tenang tapi penuh arti. Membuat Valeri menciut seketika.
"Ta..tapi…saya ingin melihat ayah saya bebas dari penjara."
Air mata sialan. Kenapa bisa-bisanya Valeri menangis sekarang. Valeri serasa ingin menyumpahi dirinya sendiri yang datang ke sarang harimau tanpa persiapan matang.
"Ayahmu pantas mendapatkannya." Sahut Ayhner cepat dan tajam. Membuat Valeri memerosotkan bahunya. Tangisnya tak terbendung sekarang. Bahkan kini wajahnya tak lagi dapat menunduk. Audy sibuk menyeka airmata yang terus keluar dari sudut matanya.
"Kau tahu kejahatan ayahmu? Dia sudah kurang ajar. Dia berani menipuku, orang yang selama ini memberinya makan."
"Kau pikir dari mana kemewahan yang selama ini kamu dapatkan? Itu semua dari uangku. Ayahmu berhutang banyak padaku. Padahal gaji yang aku keluarkan cukup besar untuknya." sentak Ayhner hingga membuat Valeri terkejut dan mundur selangkah seraya menutupi telinganya.
Selama ini sang ayah tak pernah membentaknya. Dan kini orang berkuasa di depannya telah membentaknya.
"Seakan itu semua tidak cukup. Dia berani mengambil beberapa surat berhargaku dan menggadaikannya pada lintah darat. Luar biasa. Kalian satu keluarga yang luar biasa menakjubkan," sarkas Ayhner.
"Lalu, menurutmu hukuman apa yang pantas untuk pengkhianat?" tanya Ayhner geram.
"Aku mohon Tuan, bebaskan ayahku, aku akan melakukan apa saja," ucap Valeri memohon.
"Tidak ada ampunan untuk seorang penghianat, Nona Valeri. Penghianatan tetap akan mati. Dan sayangnya penghianat itu adalah Sebastian, ayahmu," ucap Ayhner tenang, tapi justru membuat Valeri ketakutan. Sontak Valeri pun berlutut di kaki Ayhner.
"Aku akan lakukan apapun, asal ayahku anda bebaskan, Tuan. Bahkan, jika harus menjadi pelayan seumur hidup pun, aku…aku tak masalah. Apa saja, asal ayahku terbebas dari penjara." Valeri semakin terisak. Ia tak sanggup membayangkan, ayah tercintanya akan mati.
"Tidak ada pekerjaan yang cocok untukmu disini, Valeri. Kamu tidak cocok bekerja disini. Kau lebih cocok bekerja di klub. Kau tahu itu?" Ayhner hendak beranjak, tapi dengan sigap Valeri memeluk kaki Ayhner.
"Apa yang kau lakukan?! Pergi dari hadapanku! Kau dan ayahmu sama-sama menjijikan, kau tau?Ayhner menyentakan kakinya hingga membuat pegangan Valeri di kakinya terlepas. Hingga membuat Valeri tersungkur. Ayhner membuang nafas kasar.
"Aku tidak pernah melakukan kekerasan kepada wanita. Ini pertama kalinya, kau tau? Jadi jangan sampai aku melakukan hal ini kedua kalinya padamu. Kau mengerti?!" Ayhner mengenaskan rahangnya. Antara kesal, marah dan tak tega pada Valeri.
Gadis dihadapannya ini sepuluh tahun lebih muda darinya. Lebih pantas menjadi adiknya. Dan Ayhner sudah kenal dengan Valeri sejak Sebastian, ayah Valeri bekerja disini meskipun tak terlalu dekat. Andai saja Sebastian tidak licik dan tamak, Ayhner masih mau mencukupi kehidupan dua orang tersebut.
Valeri hanya berdua dengan ayahnya saat mereka datang ke rumah mewah milik Ayhner. Valeri berumur sepuluh tahun saat ibunya pergi meninggalkan ayahnya dengan selingkuhannya yang lebih kaya.
Ayhner menerima Sebastian bekerja sebagai tukang kebun. Kemudian menjadi supir pribadi sekaligus orang kepercayaannya. Ayhner pun membelikan rumah kecil namun layak tak jauh dari rumahnya. Bahkan untuk biaya sekolah Valeri pun Ayhner yang membiayai.
Ayah Ayhner meninggal sejak Ayhner masih kecil. Sedangkan ibunya, mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu bersama istrinya. Sayangnya, sang ibu meninggal dan istrinya menderita lumpuh. Padahal usia pernikahan mereka baru beberapa bulan.
Valeri bangkit susah payah. Ada sedikit darah di sudut bibirnya. Entah darah dari mana. Mungkin tadi terkena kaki dari Ayhner.
"Pergilah, dan jangan lagi. Tak ada pekerjaan yang cocok untukmu." Ucap Ayhner sedikit tenang setelah ia mengatur emosinya.
Valeri menyerah. Mungkin ia harus merelakan ayahnya di hukum mati, atau seumur hidup mendekam di penjara. Dan Valeri harus mulai bekerja untuk saat ini demi mencukupi biaya hidupnya yang terbiasa mewah. Bekerja di klub tidaklah buruk. Mungkin Valeri akan mencobanya nanti.
Valeri merapikan rambut serta penampilannya. Meskipun matanya masih sembab, tapi Valeri berusaha mengulas senyum.
"Terima kasih atas kebaikan Tuan Ayhner selama ini. Maafkan ayahku atas segala kekurangajarannya. Aku sungguh berterima kasih padamu, Tuan Ayhner." Valeri hendak pergi dari ruang kerja Ayhner. Tapi tiba-tiba Ayhner menarik lengannya.
Valeri tertarik mundur, hingga wajahnya tepat di depan wajah Ayhner. Ayhner mengamati garis wajah Valeri yang kian cantik dan tegas. Valeri bocah malang yang datang sepuluh tahun lalu, kini sudah berubah menjadi gadis cantik yang penuh pesona.
"Ada satu pekerjaan yang cocok untukmu, jika kau mau," ucap Ayhner tiba-tiba. Valeri membelalak. Matanya mencoba mencari kesungguhan pada manik cokelat milik Ayhner.
"A…apa?" tanya Valeri gugup. Ditatap begitu dekat seperti ini membuat jantung Valeri berdetak tak karuan. Bahkan Valeri bisa menghidu aroma parfum Ayhner yang menenangkan namun membakar di saat bersamaan.
"Sebagai penghangat ranjangku? Bagaimana?"
***