Valeri berjalan dengan tergesa-gesa. Dalam hatinya mengumpat sumpah serapah untuk Ayhner yang telah berani menciumnya. Berkali-kali pula Valeri menggosok-gosok bibirnya.
"Dasar pria gila..!" gerutunya kesal. Perlahan airmatanya pun menetes. Valeri merasa dilecehkan oleh Ayhner. Masih terlintas dengan jelas potongan-potongan kejadian beberapa waktu lalu. Saat Ayhner menciumnya, lalu dengan cepat pula Ayhner menghempaskan tubuhnya seolah jijik. Seolah Ayhner tak sengaja melakukan hal tersebut kemudian dengan cepat dia tersadar.
"Dasar pria aneh. Mungkin dia sedang tersiksa karena sudah lama tak menyentuh istrinya yang lumpuh itu. Bisa-bisanya dia mencium, dasar brengsek," gerutu Valeri kesal setengah mati.
Raga Valeri sudah terlalu lelah. Sudah hampir seminggu ia bersembunyi dari para penagih hutang. Berpindah dari satu sahabat ke sahabat yang lain.
Sejujurnya Valeri malu. Tapi mau bagaimana lagi, Valeri sudah tidak punya apapun. Mobil sudah diambil oleh penagih hutang yang seminggu lalu datang kerumahnya. Begitu juga rumah pemberian keluarga Hamilton pun juga sudah ayahnya gadaikan. Ah, ayahnya benar-benar tak tau diri.
Valeri harus menahan malu dicibir oleh keluarga sahabatnya. Persetan dengan tatapan sinis dan mulut tajam. Yang jelas Valeri harus bersembunyi. Karena hanya dengan bersembunyi dirumah sahabatnya lah, dia bertahan hidup. Jika tidak, dia bisa saja bertemu dengan bos renteneir yang berniat menjualnya ke tempat prostitusi.
Valeri menyusuri jalan yang mulai gelap. Pikirannya menerawang. Valeri mulai lelah dan lapar. Wanita berambut panjang tersebut memegangi perutnya yang mulai terasa perih.
Dalam hati, Valeri meratap. Sebegitu miskinnya dia sekarang. Bahkan untuk membeli sepotong roti pun, Valeri harus berpikir lama.
"Semua gara-gara ayah," ucap Valeri perlahan sambil menghapus airmatanya. Dengan langkah lelah Valeri berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya langkah kaki Valeri terhenti di depan sebuah klab malam.
Tiba-tiba saja ucapan Ayhner kembali terngiang ditelinga Valeri. Pria sombong itu mengatakan jika tak ada satu pun pekerjaan yang cocok untuknya, kecuali bekerja di klub malam.
Tidak ada pilihan lain, Valeri butuh makan. Dia harus menemui Emily yang bekerja di klub malam tempatnya berdiri saat ini.
"Apa kau serius, Vale?" tanya Emily ragu. Bukan apa-apa, hanya saja pekerjaan disini terlalu beresiko. Terlebih lagi, Valeri terkenal dengan kehidupannya yang serba berkecukupan. Valeri tidak pernah kesusahan sedikitpun. Dan hal itu tak lepas dari kebaikan keluarga Hamilton pada ayah dan dirinya. Tapi tentu saja semua ini sudah berubah. Sejak ayahnya berkhianat dan di penjara, kehidupan Valeri benar-benar jungkir balik.
"Aku serius Emily. Aku butuh makan dan aku tidak punya cukup uang. Kau tau masalahku, kan Emi?" ucap Valeri frustrasi.
"Kau tahu tempat ini sangat beresiko, bukan? Aku tidak mau kau kesusahan atau pun mendapatkan pelecehan disini," ucap Emily lembut. Emily adalah sahabat Valeri yang paling mengerti dirinya. Emily yatim piatu dan hanya tinggal dengan neneknya yang sudah tua.
Emily menyadari kecantikan dan kesesian Valeri. Itulah sebabnya Emily cemas jika sahabatnya bekerja disini pasti akan memicu masalah baru.
Emily hanya tak mau sahabatnya itu kerepotan. Sebab Emily tak mampu membantu jika Valeri dalam masalah.
"Ada apa ini?" seorang pria bertubuh tinggi berambut coklat datang di tengah perdebatan Emily dan Valeri.
"Oh, kau Thomas. Bisa bantu aku? Aku butuh pekerjaan disini," mohon Valeri serius. Thomas dan Emily saling berpandangan.
"Kau paham maksudku kan, Thomas?" ucap Emily tak berdaya. Thomas hanya mampu menghela nafas dalam.
"Valeri, Emily hanya tidak mau kau mendapat perlakuan buruk disini," ucap Thomas yang mengisyaratkan jika dirinya pun tak bisa membantu.
"Kalian sahabatku, tapi kalian membiarkanku kelaparan. Sahabat macam apa kalian ini." Valeri sudah benar-benar kesal pada kedua sahabatnya itu.
"Tinggalah di rumahku. Dan selama kau belum punya pekerjaan, aku akan mencukupi kebutuhanmu," ucap Emily tulus. Yang mendapat anggukan dari Thomas.
Valeri dengan cepat mengeluarkan semua isi tasnya. Lalu mengeluarkan beberapa lembar dolar pada kedua sahabatnya.
"Lihatlah, uangku tinggal ini. Aku butuh uang, aku butuh makan. Tapi kalian tidak mengerti!" Valeri kesal lalu membereskan semua barangnya berniat untuk pergi.
"Tunggu, Vale...tunggu!" Thomas menarik lengan Valeri.
"Biarkan dia bersama kita, Emi. Jika dia dalam masalah, kita berdua yang akan membantu. Bagaimana?" tanya Thomas pada Emily. Emily terlihat berpikir. "Baiklah, aku akan bilang pada Tuan Daniel kalau begitu," ucap Emily kemudian berlalu dari tempat itu untuk menemui manager klub tersebut.
"Ingat, Valeri. Aku terpaksa jujur padamu. Kau punya daya tarik tersendiri disini. Mungkin diawal pekerjaanmu, kau akan sedikit kesulitan. Apalagi jika bertemu dengan pria hidung belang. Tapi, aku dan Emi akan berusaha melindungimu."
"Aku benar-benar berterima kasih padamu juga Emily," ucap Valeri terharu sambil memegang tangan Thomas.
"Tak masalah, dulu kau dan ayahmu juga sering membantu keluargaku. Jadi anggap saja aku membayarnya dengan ini. Meskipun kurasa tetap belum cukup untuk membalas kebaikan kalian berdua," ucap Thomas tulus.
"Kau sudah siap? Tuan Daniel menerimamu bekerja disini." Emily datang dengan membawa kabar gembira untuk Valeri. Tentu saja wanita itu senang bukan main.
"Kau serius, Emi?" ucap Valeri berbinar.
"Tentu. Pakailah ini." Emily mengangsurkan seragam untuk Valeri. "Bekerjalah dengan baik. Dan hindari berbuat kegaduhan. Apa kau mengerti?"
Valeri hanya mengangguk paham.
"Emily akan sedikit mengajarimu bagaimana mengerjakan pekerjaan disini." Thomas memberi sedikit arahan dengan wajah khawatir.
"Kalian jangan khawatir. Aku akan melakukan yang terbaik. Aku tidak akan mengecewakan kalian berdua. Apa kalian bisa sedikit lega?" ucap Valeri tersenyum saat melihat kekhawatiran masih saja menyelimuti wajah kedua sahabatnya itu. Emily berdecak kesal mendengar ucapan Valeri.
"Kau tidak tahu bagaimana khawatirnya aku. Bahkan, saat ini aku bisa mendengar detak jantungku yang tak karuan," ucap Emily sedikit gugup.
"Apa kau tau tempat ini milik siapa?" tanya Emily bertaut alis.
"Aku tak peduli Emily. Aku hanya butuh uang. Hutang ayahku sangat banyak. Bahkan jika aku menjual kedua ginjalku, itu tak kan cukup," ucap Valeri melemas.
"Dasar bodoh. Jika jual kedua ginjalmu, maka itu artinya aku akan mengantarmu ke pemakaman," gerutu Emily kesal.
Akhirnya Emily menarik Valeri untuk berganti pakaian dan memulai pekerjaan pertamanya. Meskipun bajunya sedikit membuatnya tak nyaman, tapi Valeri harus terlihat baik-baik saja. Mengantar minuman, bersikap baik, bertutur kata yang sopan, Valeri masih dianggap aman untuk saat ini. Kehadiran Valeri tentu saja menarik perhatian pengunjung pria.
Tubuhnya yang padat dengan warna kulit yang putih bersih. Rambut hitam legam yang hanya di kuncir asal. Mata hitam bulat yang juga di bingkai alis hitam yang tebal sungguh memiliki daya tarik tersendiri.
Valeri bukan tidak gugup dipandang seperti itu. Valeri gugup dan takut. Tapi Valeri berusaha tenang dan hanya tersenyum tiap kali ada yang menggodanya.
"Valeri Quinn Halburt? Apa itu kau?"
Valeri terkejut ketika ada salah satu pengunjung ada yang mengenalinya. Valeri membeku seketika.
***
Jangan lupa dukungannya ya, love you all...