webnovel

Si Pemalas

"Yaampun Sandrina!"

Aku menarik temanku yang saat ini sudah seperti maya hidup yang berjalan dengan baju dan rambut berantakan.

"Anda temannya yang tadi saya telepon ?"

Aku mengangguk kala satpam itu bertanya, aku segera menarik Sandrina, mengalungkan tangannya di pundaku. "Ini teman saya Pak, namanya Sandrina" ucapku memberi penjelasan.

"Oh iya iya, teman mbaknya mabuk berat, tadi sempat bikin keributan, makanya saya bawa ke pos saya sambil nunggu mbak datang"

"Iya Pak, terimakasih banyak Pak, maaf kalau teman saya bikin keributan"

"Brengsek! Cowok Brengsek!" Sandrina kembali meracau dengan mata dan tubuh yang setengah sadar.

"Kalau begitu saya permisi dulu Pak, sekali lagi terimakasih banyak"

Aku membungkuk sejenak, mohon pamit undur diri dan berjalan sambil memapah Sandrina yang sempoyongan.

"Aduh Sandrina kalo bokap lo tau gimana ?! Gua harus jawab apa, dia pasti marah banget kalo liat lo kayak gini!"

Tak ada sahutan darinya, Aku dan Sandrina tengah berdiri di pinggir jalan dengan langit yang gelap gulita, menunggu datangnya Grabcar yang aku pesan, Sandrina masih meracaukan hal-hal tidak jelas yang membuatku semakin pusing.

**

Aku bangun dalam keadaan linglung, kepalaku terasa benar-benar pusing sekali, bahkan aku bisa melihat beberapa bayangan dari setiap benda yang aku lihat sekarang.

Dimana aku ? ini bukan kamarku.

Rafan menggoyang-goyangkan kepalanya berharap rasanya pusing yang dia rasakan bisa sedikit reda atau bahkan hilang saat itu juga lalu memandang segala arah tempat dia bangun saat ini, sebuah kamar besar yang bercat warna abu.

Aku sepertinya berada di kamar milik Kris, tapi dimana dia sekarang ? Kenapa hanya ada aku disini.

"Kris ?" panggil Rafan dengan suara yang sedikit agak serak, tumbuhnya yang terduduk perlahan mencoba bangkit dan turun dari ranjang besar.

Tak lama dari itu suara pintu terbuka dan terlihatlah Kris yang masuk sambil membawa segelas susu putih. "Weh..udah bangun lo ?" ucapnya pada Rafan yang kembali terduduk di tepi ranjang.

"Nih... Minum dulu" Kris memberikan susu tersebut pada Rafan. "sorry gua bawa lo ke Apartemen gua, abis lo tadi malam parah banget mabuknya dan gua males nganter ke apartemen lo karena gua juga udah ngantuk banget"

Rafan meminum susu itu sampai setengah gelas dan menatap Kris. "Gak apa-apa, santai aja... Eh, jam berapa ya sekarang ?!" ucapku dengan mata yang langsung terbuka lebar, hari ini ada meeting yang harus aku datangi, aku sudah harus stand by pagi di kantor.

"Tenang aja, masih jam enam kok, lo tidur aja lagi"

"Gila! mana bisa gua tidur lagi, telepon gua mana ?!" Rafan mencari-cari keberadaan ponselnya, meraba-raba, mengubek selimut dan bantal di ranjang besar milik Kris.

Kris berjalan memutar ranjang kearah meja kecil yang ada di samping kanan ranjangnya, disana ternyata ponsel Rafan tergeletak, Kris langsung memberikan pada Rafan, pria itu segera mengambil dan terlihat menghubungi seseorang.

"Halo Javas, kamu dimana sekarang ?" tanya Rafan saat panggilan teleponnya tersambung.

Kris duduk disamping Rafan sambil meminum setengah gelas susu milik Rafan yang masih tersisa, terlihat wajah Rafan yang begitu panik saat ini.

Padahal kita berdua sama-sama pengusaha, bisa dibilang bos juga, tapi entah kenapa setiap melihat Rafan bekerja, aku terkadang malu sendiri karena aku terlihat seperti bos yang hanya bisa memerintah karyawan dan menunggu mereka mencapai target lalu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara Rafan, Dia bos yang pekerja keras dan sangat bertanggung jawab bahkan tak pernah absen lembur sekalipun.

Cinta mengubah sekali hidup, pemikiran dan pribadi seseorang, tapi beruntung Rafan menyalurkan emosinya pada pekerjaan bukan pada hal-hal negatif yang sampai membahayakan nyawanya.

"Oke, kamu nanti sekalian mampir ya ke Apartemen saya, ambil setelan kerja dan kirim pakai Gojek atau apapun ke alamat yang nanti saya kirim ke kamu, ngerti ?"

Rafan mengangguk sesaat. "Yaudah saya tutup teleponnya, cepet ya. Saya gak mau telat pagi ini" ucapnya lalu menutup panggilan tersebut, melemparkan ponselnya ke ranjang dan melihat kearah Kris. "Gua numpang kamar mandi ya" sambung Rafan yang langsung bangun dan berjalan kearah kamar mandi sambil membawa handuk.

"Nanti kalau ada kurir yang bawa setelan jas lo ambil aja ya, itu punya gua!" teriak Rafan dari dalam kamar mandi.

***

Disebuah kamar bernuansa putih dan pink tertidur seorang wanita cantik dengan mulut setengah terbuka, menampilkan deretan gigi putih bersih, gadis itu berpindah posisi, menarik bedcover yang membuat tubuhnya makin tenggelam dalam alam mimpi tanpa ada niat sedikitpun untuk bangun dan membuka mata, walaupun jam weker sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Anak ini benar-benar. Sandrina bangun!" teriak seseorang yang baru saja masuk kedalam kamar itu, matanya memicing tajam, meneriaki si pemilik nama yang masih berbaring nyaman dengan mata terpejam.

Sandrina, si wanita cantik pemilik nama itu badannya hanya tergerak sesaat dan semakin melanjutkan tidurnya, membuat orang yang sedaritadi melihat padanya mendengus kesal, tanpa ragu dia melangkah lebih dekat keranjang dan langsung menarik bedcover yang menutupi tubuh perempuan itu. "Bangun Sandrina!" teriak kembali.

"Aduh apasih. Masih ngantuk tau gak!"

"Bangun Sandrina. Dasar anak malas! Ini udah jam sembilan, kamu mau tidur sampai kapan hah ?! Bangun, Papah bilang bangun!"

Terjadi tarik menarik bedcover antara Sandrina dan sang ayah, pria yang sudah memakai setelan jas yang rapih itu tampak tidak mau kalah dengan sang anak, dia terus saja menarik bedcover tebal itu sampai terangkat dari tubuh Sandrina lalu segera melemparnya ke lantai.

Aku mulai membuka mata dengan setengah hati, perlahan namun pasti cahaya-cahaya ilahi mulai masuk memenuhi mataku, Silau sekali. Bayangan tinggi berdiri di depanku dengan gagah berani, dalam hati aku bertanya-tanya siapa gerangan pemilik bayangan itu yang sudah berani-berani mengusik tidur lelapku.

Oh, ternyata bayangan itu milik papaku…. Pa… Pah ? PAPAH ?!

Sandrina mengucek mata berkali-kali. "Astagfirullah!" pekiknya yang langsung melotot begitu melihat ayah kandungnya yang juga sedang melotot menatapnya. "Eh Papah… ngapain pah ?" tanya Sandrina dengan senyum bodoh.

"Bangun kamu!"

"Iya Pah… iya ini juga Sandrina mau bangun, tenang ya Pah, sabar"

Sandrina dengan jantung berdegup kencang, kepala sedikit pusing dan tubuh yang kurang seimbang karena di paksa bangun itu akhirnya bangun juga, berdiri di depan sang ayah lalu mengelap air liur yang mulai mengering di sudut bibirnya. "Kenapa Pah ? tumben dateng ke kamar pagi-pagi" ucap Sandrina yang terlihat gugup.

"Pagi !? Kamu bilang ini masih pagi ? Bangun Sandrina ini sudah jam sembilan, pagi tuh jam enam, jam tujuh bukan jam sembilan!"

Aku menutup mata sesaat mendengar ayah yang berteriak tepat di depan wajahku, aku harap telinga ini tetap baik-baik saja meski tadi aku merasa telingaku sedikit berdengung.

"Dasar pemalas! Kamu kan perempuan, perempuan harusnya lebih rajin, resik. Ini malah jorok, liat coba kamar kamu ini yang sudah seperti terkena gempa, berantakan!"

Sandrina membuang tatapan sambil menggaruk-garuk rambut kepalanya, terlalu malas mendengar ocehan sang ayah, apalagi dia baru saja bangun, tapi ayahnya sudah marah-marah seperti orang kesurupan.

"Hari ini kamu akan diantar Pak Asep ke tempat kerja kamu yang baru"

"Apa ?!" Sandrina memekik kaget, dia langsung menatap sang ayah tak percaya. "Aku udah bilang kan, aku gak mau kerja di per…"

"Siapa yang suruh kamu kerja di perusahaan ?!" tanya ayahnya yang langsung menyelak ucapan Sandrina.

Alis Sandrina bertaut, keningnya berkerut, terlihat bingung. "Maksud Papah ? Papah suruh aku kerja kan tadi ya berarti…"

"Bukan di perusahaan. Kamu siap-siap sekarang, Pak Asep akan antar kamu ke tempat kerja"

"Hah ? Maksudnya gimana sih Pah ? Sandrina gak ngerti"

Sandrina melihat sang ayah yang kini mengambil bedcover yang tergeletak di lantai lalu melemparnya kembali ke ranjang. "Sudah sana mandi, nanti kamu juga tau. Cepat!"

Selesai mengatakan itu, ayahnya langsung berjalan keluar dari kamar, minggalkan Sandrina yang masih berdiri mematung dengan penuh tana tanya.

"Kerja ? Isshh... Ganggu gua tidur aja sih! gak tau apa gua masih ngantuk" Sandrina mengacak-acak rambut dan bergerak bagai cacing kepanasan lalu berjalan ke kamar mandi sambil membawa handuk di tangannya.

Bisnis ayahku memanglah banyak, sampai aku kadang tdak bisa menghapal karena sangking banyaknya, banyak orang mengatakan kalau aku sangat beruntung bisa menjadi anak ayahku. Memang sih, aku juga kadang merasa kalau aku sangat beruntung, tapi ada satu hal yang mereka lewati yaitu beban hidup yang jauh lebih besar, karena bagaimana semua aset yang di miliki ayahku akan jatuh kepada anak satu-satunya yang tak lain adalah aku, apa mereka bisa bayangkan seberapa besar beban yang harus aku pikul ? tanggung jawab atas semua aset-aset itu.

Sampai sekarang jika di tanya apakah aku siap, sejujurnya aku tidak siap dan tidak tahu kapan diri ini akan siap memikul banyak beban itu.

"Pak Asep, nanti tolong antar Sandrina ke yayasan yang kemarin kita datang ya, hari ini akan ada pertemuan dan saya mau Sandrina datang mewakili saya yang tidak bisa datang karena ada meeting penting, Hari ini Pak Muh saja yang antar saya"

"Baik Pak" ujar Asep yang saat ini berdiri di hadapan majikannya.

"Huftt... Punya anak perempuan kerjanya hanya tidur terus, kuliah tidak selesai, semalam juga ulang dalam keadaan mabuk. Pusing saya" keluh sang bos yang tak lain adalah ayah Sandrina.

"Namanya juga masih muda Pak, masih suka seenaknya"

"Iya, tapi Dia itu benar-benar keterlaluan, cewek kok kelakukannya gak ada cewek-ceweknya sama sekali"

Asep tersenyum sipul sesaat lalu kembali berujar. "Saya dengar juga Non Sandrina sudah putus dari Mas Radit"

"Oh jadi semalam dia mabuk karena habis putus dari pria begajulan itu ? Baguslah kalau begitu, saya dari kemarin sibuk cari ide bagaimana mau pisahkan anak itu dari laki-laki begajulan itu, syukurlah kalau sudah putus"

"Yasudah sya harus pergi ke kantor sekarang, tolong antar Sadrina ya Pak Asep, kalau dia minta turun di jalan jangan dikasih, pokoknya saya mau dia datang kepertemuan itu"

"Baik Pak"

Satu jam berlalu Asep saat ini sedang berada di dalam mobil dengan Sandrina yang kini tengah duduk di belakang sambil memandang layar ponselnya yang menyala.

"Pak Asep, sebenarnya saya kerja dimana sih hari ini. ?!" tanya Sandrina dengan mata menyipit curiga, ini sudah kesekian kali dia bertanya hal yang sama tapi Asep sama sekali tak memberikan jawaban yang pasti.

"Pak Asep berhenti dulu dong, saya haus mau beli minum dulu, berhenti cepet!"

Lagi, Asep tak menggubris ucapan Sandrina, mobil itu terus berjalan yang membuat gadis itu mendengus kesal. "Pak Asep saya turun nih ya kalau Pak Asep gak berhenti sekarang juga!" Ancam Sandrina.

"Aduh non jangan dong, jangan..." Asep panik dan gelagapan. "Saya di suruh Papah non gak boleh turunin Non Sandrina kalau belum sampai tujuan"

"Emang kita mau kemana sih ?! Jawab!" Todongnya menuntut jawaban sang supir.

Asep terlihat bingung, keringat dingin mulai mengucur, bingung harus menjawab atau tidak, karena dia takut di pecat sang majikan, tapi dia juga takut kalau Sandrina nekat lompat dari dalam mobil.

"Hmmm... Saya..."

"Jawab Pak Asep! Kalau enggak saya turun nih!"

Asep harus tetap fokus menyetir, degub jantungnya mulai berdetak hebat. "Saya.. saya juga gak tahu non, saya cuma di suruh antar non sandrina ke yayasan" kilahnya.

"Yayasan ?!"