webnovel

Meninggal

"Raf, ada apa nih ?" tanya Kris begitu dia berdiri tepat dihadapan Rafan dan memperhatikan wanita asing yang terus menarik jas Rafan.

"Ck! Gak tau, gua juga gak ngerti nih cewek kenapa, tolong dong, gua takut dia muntah"

"Bentar deh gua panggil satpam dulu"

"Eh! lo mau kemana ?! Bawanih cewek sekalian, gua capek banget" tahan Rafan pada tangan Kris saat pria itu ingin pergi.

"LO!... DASAR BRENGSEK LO!" teriak wanita tersebut yang langsung menampar pipi Rafan tiba-tiba.

"Bangsat!"

Kris langsung menahan tubuh Rafan yang langsung bereaksi maju dan ingin memberi wanita itu pelajaran, dipipi kanannya kini terlihat jelas ruam merah lngkap dengan ceplakkan tangan wanita tersebut.

HOEEK!

"Aishhh sialan! apes banget gua amalam ini."

****

Saat ini jam menunjukkan hampir tengah malam, semakin malam semakin banyak pengunjung restoran ini yang datang silih berganti ada yang pergi dan tergantikan dengan pengunjung baru yang datang.

"Gimana ? Semua aman ?" Rafan bertanya begitu melihat kedatangan Kris, pria itu langsung duduk disebelahnya.

Kris meneguk wine miliknya hingga tandas. "Gak tau ah, bodo amat, urusan satpam" jawabnya cuek lalu melihat kearah bartender di depannya. "Satu lagi ya" ucap Kris sambil mendorong gelas wine yang kosong.

Kris memiringkan pandangannya menatap Rafan. "Tuh cewek siapa ? Lo kenal ?"

Rafan hanya mendesah sambil mengidikkan bahunya. "Gak tau, gak kenal gua" jawabnya,

"Jas lo, lo taruh kemana ?" Kris bertanya dengan alis yang bertaut, pandangannya menatap sekitar Rafan tapi tak menemukan jas pria itu.

"Gua suruh pelayan buat buang ke tong sampah"

"Lah kenapa di buang ?"

"Menurut lo gua masih harus pake jas yang udah kena muntahan ?"

Kris hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Rafan yang teramat cuek dengan tampang menahan jengkel.

"Udah stress malah ketemu tuh cewek, bikin nambah stress!" dumel Rafan sambil menyesap minumannya.

Kris menepuk pundak sahabatnya itu dengan senyum miris dia berkata "Sabar sabar, tenang... Lo gak berencana minum sampai mabuk kan ?"

"Enggak, besok pagi gua ada meeting sama Vano"

Kris berdecak. "Saran gua mending lo kurang-kurangin deh kerjaan lo, lo nih manusia fan, bukan robot, bulan lalu aja lo udah masuk rumah sakit karena penyakit darah rendah lo, lo mau masuk rumah sakit lagi apa ?!" panjang lebar Kris menasehati sahabatnya tapi dari raut wajah Rafan, dia tampak malas mendengarkan, mungkin karena ini sudah kesekian kalian Kris menasehati hal yang sama.

"Gak bisa, gua gak bisa Kris, makin stress gua kalo berhenti... Gua kerja karena gua gak mau stress" jawab Rafan tak bersemangat.

"Gua kemarin sewa mata-mata, tapi kayaknya belum ada perkembangan tentang keberadaan Dia, satu-satunya informasi yang di dapet kalau Pak Ridwan, ayah Laras udah meninggal"

Sejenak tatapan Rafan seperti terbuka, tubuh dan matanya terpaku menatap Kris. "Serius lo ? Bapak udah meninggal ?! Kapan ? Dimana kuburannya ?! Kenapa gak langsung kasih tau gua!"

"Lo tenang dulu... Gua juga baru tau tadi sore, gua pikir mungkin besok pagi gua bakal ke kantor lo buat ceritain ini semua, tapi karena lo disini gua akan cerita... Iya, Pak Ridwan udah meninggal beberapa bulan lalu karena sakit, Mr. D nama mata-mata yang gua sewa, dia tau informasi ini dari salah tetangga rumah Laras yang katanya gak sengaja ketemu Laras, Dia bilang kalau ayahnya udah meninggal karena sakit, Laras sempat bilang rumah sakit tempat ayahnya di rawat sebelum meninggal, tapi saat Mr. D mau cek alamatnya, kayaknya Laras nulis alamat rumahnya yang dulu sebelum dia pindah entah kemana, makanya gak bisa di lacak lagi"

Selalu saja begini, Tuhan seperti sedang mempermainkan diriku. Ada kalanya aku merasa Tuhan memberikan angin segar dengan memberikan sebuah petunjuk yang kuharap menjadi jalan langkahku untuk bertemu dengannya. Tapi, setiap aku mulai melangkah menyusuri petunjuk, aku selalu bertemu jalan buntu yang membuatku memaksa diri untuk kembali melangkah mundur, memutar arah utuk mencari jalan lain, hingga membuatku lelah dan Frustasi di saat yang bersamaan.

Aku terluka, tapi aku yakin dia lebih terluka, apalagi kalau sampai benar anak itu lahir, ditambah Bapak yang meninggal, dia mungkin juga sama sepertiku yang menahan sakit dan perihnya sendirian, tapi aku juga sakit,, aku membayangkan bagaimana jika benar dia mengandung, melahirkan dan merawat anak itu tanpa aku, membayangkannya saja sudah membuatku iri setengah mati. aku benar-benar iri dia yang bisa setiap hari bertemu anak itu, mungkin setiap malam juga mereka akan berpelukan dan itu mereka lakukan tanpa aku, aku bahkan sering bermimpi kalau ada yang memanggilku Papah lalu merasa iri kala melihat anak kecil memanggil ayah sambil berlari.

Ya Tuhan, bagaimana lagi caraku berdoa meminta agar kamu mengabulkan doaku ?!

Rafan mengusap wajahnya penuh gusar, Kris memperhatikan pria itu dalam diam. Inilah yang aku takutkan setiap aku mencoba membahas kembali wanita itu, karena aku tahu itu akan membuat Rafan kembali gusar, tidak bisa tenang dan cemas disaat yang bersamaan.

"Raf..."

Rafan menangkis tangan Kris yang ingin mencoba menenangkannya. "Gua gak apa-apa" jawab Rafan dengan suara parau menahan diri entah dari apa.

Apa sebaiknya aku menghentikan pencarian ini ? Rasanya ingin sekali kulakukan, tapi aku tahu kalau ini pasti akan membuat Rafan semakin tidak bisa sembuh.

Aku ingin, setidaknya sekali membuat Rafan bertemu Dengannya, Aku ingin mereka berdua bicara saling menumpahkan isi hati. Setelah itu, biar mereka yang putuskan akan berlanjut seperti apa.

Rafan butuh kejelasan dari semua yang terjadi, Dia ini korban yang ditinggalkan begitu saja, banyak pertanyaan yang pastinya ingin dia ajukan, menuntut penjelasan adalah Hak yang harusnya Rafan dapatkan.

"Raf udah. lo katanya gak mau mabuk!"

Kris mengambil gelas ditangan Rafan, menjauhkan gelas itu sejauh-jauhnya dari jangkauan Rafan.

"Enggak, gua gak bakal mabuk Kris, tenang aja, gua bisa kontrol" sahut Rafan meracau, pria itu mencoba untuk tetap sadar, menegakkan dirinya walaupun pada akhirnya akan kembali tumbang.

Rafan menjambak-jambak rambut cepaknya saat merasakan pusing, saat ini setengah badannya sudah tergeletak di meja panjang bartender, berkali-kali terdengar dia menarik nafas dan menghembuskannya.

"Gua... gua kayaknya gak...akan tenang Kris... Dia... Dia..." ucapan Rafan terhenti kala mata pria itu menutup, lelehan air mata yang terlihat samar tiba-tiba mengalir dari ujung matanya yang terpejam.

Alunan musik Promise yang begitu romantis terputar, menceritakan dua insan yang terdengar jadi seperti ledekan di telinga Rafan, jika sudah begini Kris hanya bisa diam dan menunggu sahabatnya itu kembali sadar.

Aku terkadang merasa beruntung di posisiku saat ini yang tidak membiarkan hatiku di miliki oleh orang lain.

***

"Yaampun Sandrina!"

Aku menarik temanku yang saat ini sudah seperti maya hidup yang berjalan dengan baju dan rambut berantakan.

"Anda temannya yang tadi saya telepon ?"

Aku mengangguk kala satpam itu bertanya, aku segera menarik Sandrina, mengalungkan tangannya di pundaku. "Ini teman saya Pak, namanya Sandrina" ucapku memberi penjelasan.

"Oh iya iya, teman mbaknya mabuk berat, tadi sempat bikin keributan, makanya saya bawa ke pos saya sambil nunggu mbak datang"

"Iya Pak, terimakasih banyak Pak, maaf kalau teman saya bikin keributan"

"Brengsek! Cowok Brengsek!" Sandrina kembali meracau dengan mata dan tubuh yang setengah sadar.

"Kalau begitu saya permisi dulu Pak, sekali lagi terimakasih banyak"

Aku membungkuk sejenak, mohon pamit undur diri dan berjalan sambil memapah Sandrina yang sempoyongan.

"Aduh Sandrina kalo bokap lo tau gimana ?! Gua harus jawab apa, dia pasti marah banget kalo liat lo kayak gini!"

Tak ada sahutan darinya, Aku dan Sandrina tengah berdiri di pinggir jalan dengan langit yang gelap gulita, menunggu datangnya Grabcar yang aku pesan, Sandrina masih meracaukan hal-hal tidak jelas yang membuatku semakin pusing.