webnovel

Hold Me Tight ( boyslove)

Nathaniel Adikusuma secara sembunyi- sembunyi menjalin hubungan dengan sesama pria sejak dirinya menempuh pendidikan di new york. Khawatir akan penolakan dari orang- orang terdekatnya ia pun menutupi jati dirinya tersebut. Sekembaliannya ke kampung halaman Nathan langsung dihadapkan dengan kedinginan keluarga yang memang sejak dulu dirasakannya. Hingga ia harus bertemu Maxime Nandara, sosok yang dikenalnya secara terpaksa hanya karena kesamaannya sebagai calon pewaris tahta. Nathan yang diharuskan orangtuanya untuk selalu bersikap ramah pun akhirnya tak dapat membendung kekesalannya pada Max yang mulai ikut campur dalam permasalah keluarga dan percintaannya. Semua bertambah rumit saat hubungan persahabatan dan cintanya yang saling membentur satu sama lain. Max yang seperti tak gentar untuk mendekatinya pun membuat hatinya sedikit goyah. Akankah Nathan akan tetap setia dengan Rian Fahreza, kekasihnya sejak awal itu? Ataukah pesona Max yang begitu dominant hingga malah bisa membuatnya berpaling? Ataukah Nathan lebih memilih menjadi anak baik dengan menikahi seorang gadis?!

Erina_Yufida · LGBT+
Not enough ratings
297 Chs

Pertemuan keluarga yang membosankan

Ingat pesan yang membuat Nathan tersenyum di pertemuannya dengan Max siang itu? Pesan yang membuat ia kegirangan hingga berusaha secepat mungkin mengakhiri pertemuan canggung antar pewaris tahta yang membosankan.

            

Waktunya tinggal lima belas menit dan ia masih saja terjebak dalam macetnya kendaraan. Semua ini gara-gara pria dengan wajah kaku itu, ia terus saja membuat topik perbincangan yang sama sekali tak Nathan pahami. Bodohnya lagi pria itu malah menjawab sendiri pertanyaannya seakan pria itu tau jika Nathan sedang terburu-buru dan coba mengulur waktu.

             

"Brengsek!" umpat Nathan mengingat seringai puas Max saat ia pergi dari restoran mewah itu dengan berlari kencang.

             

"Apa ada yang salah tuan?" tanya seorang supir saat melirik geliat gusar dari sang majikan dari kaca spion depan.

             

"Tidak, kau berusahalah secepat mungkin untuk sampai tujuan, jangan pedulikan aku!" perintah Nathan dingin, pria yang mengemudi itu pun lantas menunduk patuh dan menancap kecepatan lebih tinggi, mengambil sela sedikit pun untuk menyalip.

             

Setelah melewati perjalanan, Nathan tak mempedulikan lagi sang supir. Ia berlari memasuki apartemen dan menekan tombol 15 di kotak besi yang di masukinya itu. Mengetuk pintu nomor 517 dan mendapati sang pujaan hati mengerucutkan bibir menyambutnya di ambang pintu.

             

"Telat. Aku rasa kau meremehkan kemarahanan ku, ya?!" Ucap Rian dengan nada sengit. Tangannya bersendekap dan menatap tajam Nathan yang masih berusaha mengatur napasnya yang memburu.

            

"Lima menit, sayang... Kau tau ini jakarta, kan? Macet. Lagipula aku tadi baru saja dari pertemuan penting," ucap Nathan setelah menilik jam di pergelangan tangannya.

            

"Jadi aku yang salah? Kau mau mengatakan kalau aku kekasih yang sama sekali tak pengertian atas pekerjaan mu, begitu?"

            

Selalu seperti ini, Nathan hanya bisa diam atau permasalahan akan tambah runyam. Satu-satunya langkah yang bisa diambil adalah menyerang. Ya, tubuh mungil itu di dekapnya dengan erat, bibirnya mencari lawan untuk memuaskan hasratnya. Menyerbu bibir manis yang sialnya bermulut tajam itu. Lidahnya terus menyusup dan mencoba membelit milik sang lawan.

             

"Eungh... Stop it! Hah... Kau selalu saja bisa membuatku luluh dengan seranganmu. Aku ingin lebih, persiapkan staminamu untuk menggempurku malam nanti."

             

Yah, mereka akan terus seperti itu. Cemburu, bertengkar, saling memblokir komunikasi satu sama lain, yang membuat mereka merindu dan akhirnya selalu sama. Tubuh mereka akan terus membelit sampai batas kepuasan.

Sudah dua minggu berlalu, Nathan dan Rian bertambah mesra. Rian nampaknya sudah benar-benar melupakan kesalahan yang diperbuat oleh Nathan. Tak jarang Nathan akan langsung pulang ke apartemen sang kekasih dan hal itu makin membuat Rian semakin rajin untuk mengkreasikan bakat memasaknya di dapur. Mereka sudah seperti kekasih serius yang tinggal bersama. Lagipula di rumah besar milik Nathan begitu sepi, orang tuanya bahkan baru akan kembali siang nanti.

             

"Aku tak bisa ke apartemenmu malam ini, orangtuaku akan kembali," ucap Nathan sambil membenarkan dasi di lehernya. Rian yang sibuk mengoleskan selai kacang di permukaan roti itu pun mendongak dengan raut tak suka.

              

"Hem, aku berusaha untuk tak mendatangi rumahmu dan bilang 'Om tante, saya adalah kekasih Nathan'," sindir Rian dengan raut kecewanya yang jelas. Ia menghemparkan roti itu ke piring. Rian sedang tak bernafsu makan kali ini.

              

"Hei, kau jangan menangis... Semua ini tak semudah yang kau bayangkan. Orangtuaku begitu kolot, mereka tak mungkin akan membiarkan kita tetap bersama seperti ini... Jadi ku mohon, bersabarlah sebelum aku mendapat moment yang tepat untuk memperkenalkanmu," bujuk Nathan dengan mengelus dahi Rian yang berkerut itu. m

Mencoba memahami dan percaya akan janji kekasihnya, Rian akhirnya pun hanya dapat memberikan senyum tipisnya.

"Bagaimana kalau satu ronde di meja makan?" ucapan Nathan itu segera saja di sambut kegirangan oleh Rian. Mereka menyatukan tubuh lagi dengan desahan yang mengalun tanpa perlu di tahan. Hanya melampaui jalan singkat yang sangat menakjubkan, masalah teratasi dengan singkat.

Setelah menuntaskan 'Permainan' paginya, Nathan langsung bergegas kembali ke kediaman orangtuanya. Hanya demi kepatuhan dan kepastian warisan, Nathan rela meninggalkan sang kekasih dengan keadaan yang begitu lemas namun malah sangat menggairahkan di pandang itu.

Memang salah Nathan yang tak bisa mengendalikan gairah muda yang begitu meluap-luap. Bukan membela diri, hanya saja memang bukan sepenuhnya adalah kesalahannya. Rian memang ikut andil dalam percintaan pagi yang jadi beronde-ronde itu. Tangannya yang kecil dan begitu lentik selalu saja bisa menyenangkan 'Adik kecilnya'. Dan Nathan rasa Rian begitu menyukai keganasannya.

"Paman! Kenapa di rumah terlihat sibuk sekali?" tanya Nathan saat memasuki dapur dan mendapati para pelayan sedang sibuk dengan masakkannya.

            

"Bukankah kau tau orang tuamu akan datang siang nanti? Ya, mereka langsung mengadakan pertemuan dengan sahabat karib mereka di malam nanti," jelas pria paruh baya itu.

           

"Oh... Kenapa terburu-buru sekali, bahkan mereka saja belum sampai ke rumah," heran Nathan mendesak penjelasan dari pria paruh baya itu.

            

"Kau akan tau nanti. Bersiaplah, cari pakaian terbaikmu! Aku yang akan menjemput mereka," ucap pria yang di panggil paman oleh Nathan itu. Ia pun lantas melangkahkan kaki setelah sebelumnya menepuk bahu Nathan.

            

Pria yang masih mengenakan kemeja dengan jas yang di tenteng di lengan itu begitu penasaran. Meski begitu, Nathan tetap menurut dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Bertemu orangtuanya, Nathan rindu.

Malam telah tiba, ruang makan sudah ditata semenarik mungkin dengan hidangan yang mewah pula. Orangtuanya sudah datang, meski begitu mereka hanya mengecup pipi Nathan dan tersenyum lembut, tanpa sepatah katapun. Mereka bahkan sudah lebih tiga tahun tak bertemu, tak ada pembicaraan mengenai kabar atau apa pun. Begitu dingin, apakah mereka tak merindukannya? Nathan begitu kecewa sekarang.

Matanya menangkap bingkisan terbungkus kantung kertas dengan logo merek terkenal yang tercamtum itu dengan nanar, "Memangnya aku anak kecil? Selama itu hanya di beri sebuah hadiah?"

            

"Selamat malam dan selamat datang keluarga Nandara," sambut Rara, mama Nathan saat mendapati tamu yang di tunggunya datang. Rara menggiring tamu-tamu pentingnya itu dan mereka pun duduk di ruang tamu dengan posisi mama Nathan yang terus menempel dengan wanita seusianya.

Bagas Adikusuma yang merupakan papa Nathan itupun juga nampak akrab dengan pria yang ia tebak sepasang suami istri itu. Nathan hanya diam saja, ia cukup tak terkejut bahwa salah satu wajah itu begitu diingatnya sangat lekat. Wajah kaku yang bahkan sedari awal telah menatap lekat kearah Nathan, dan yang lebih parah lagi ia duduk tepat disebrangnya. Nathan seperti buronan yang di temukan sekarang.

             

"Ekhem! Pasti kau Nathan, kan?" Sebuah suara wanita tertangkap di telinga Nathan. Pandangannya menoleh dan di dapatinya senyum lebar itu menatapnya.

             

"Ehmm, ya... Perkenalkan aku adalah Nathan, dan kau...?" ucap Nathan sesopan mungkin menimpali.

             

"Cherlin, adiknya Max," balas wanita itu sambil menjabat tangan Nathan. Pria yang mengenakan setelan pakaian formal itu sedikit risih sekarang, pandangan mereka seluruhnya tertuju kearahnya.

             

"Hanya mendengar cerita dari mamamu, ternyata kau orang yang cukup pendiam juga ya, nak Nathan," komentar dari wanita paruh baya itu membuat Nathan mengulas senyum tipis, ia merasa canggung. Jelas ia tak suka pertemuan yang formal seperti ini. Apalagi di sekeliling orang yang terlihat sekali menjaga tutur bahasa dan sopan santun seperti ini.

            

"Dan Max pria yang pendiam juga, ku rasa mereka akan cocok bila bersama," balas Mama Nathan sambil tersenyum lebar.

             

"Ya! Bahkan mungkin mereka tak akan memulai pembicaraan jika tak ada hal yang sangat penting," timpal Papa Nathan membuat semua orang tertawa. Semua nampak bergembira dengan pertemuan dua keluarga ini, dan bisa ditebak senyum kecut malah tersungging di bibir kedua pria muda yang tanpa sadar memperhatikan satu sama lain. Lagi-lagi, sangat menyebalkan!