37 Hubungan Rumit

Pagi menyambut dengan tanda dering alarm yang berbunyi beberapa kali. Bias cahaya yang mulai memunculkan tenarnya pun memasuki ruang menembus pembatas bening. Suhu tubuh yang terbiasa lebih dingin di pagi hari membuat dua makhluk dewasa itu saling mempererat dekapan. Berbagi kehangatan lewat gesekan kulit terasa lebih dahsyat dibanding selimut tebal yang menutupi.

Ruangan cukup besar dengan ranjang king size berada di posisi tengah. Sebuah televisi juga menggantung tepat menghadap ranjang, dengan sebuah meja tempat penyimpanan di bawahnya. Meja rias dengan sedikit barang pun berada di sisi kiri ranjang dan bersebelahan dengan lemari putih. Sofa panjang tanpa tempat bersandar yang sengaja diletakkan sang pemilik di dekat kaca pembatas yang cukup besar, tirai putih berenda pun menggantung sebagai penutup. Ruangan yang di dominasi warna putih pun semakin membuat ruangan itu nampak bersih dan tertata.

"Eungh... apa yang kau lakukan!" tanya salah seorang pria itu dengan suara parau khas bangun tidur. Ia sedikit melenguh karena merasakan sentuhan lengan besar yang sedang meraba pinggangnya dengan gerakan sensual. Matanya yang terpejam pun jadi berkedut ikut merasakan efek getaran. Sungguh gila, mereka yang saat ini berbaring hanya dengan mengenakan celana pendek masing-masing itu merapatkan tubuh keseluruhan. Tubuh lebih kecil miliknya yang berbaring miring dengan seseorang yang jauh lebih besar melingkupnya dari belakang, ini sungguh posisi yang berbahaya. Ia pun sadar jika tubuhnya mungkin saja akan bertambah remuk karena kejadian kemarin malam. Ia pun berusaha melepaskan diri dengan meronta, tapi sungguh pria itu begitu gigih untuk mempertahankan posisi.

"Aku sedang menikmati kebersamaan pagi kita di atas ranjang," balas si pelaku dengan lengan yang jauh lebih agresif dalam menjelajah. Bibirnya pun tak ingin kalah, ia menciumi tengkuk si pria nya dengan bertubi-tubi. Lidahnya pun ikut menjulur untuk menggoda titik sensitif. Beberapa kali berpindah di sekitaran dan berakhir dengan gigitan yang lumayan keras, ia ingin menandai dengan jelas. Ia ingin menambah beberapa gigitan di tempat lain agar terlihat begitu jelas, ia jelas sudah menakhlukkan pria miliknya. Ia bahkan ingin sekali mencap sekujur tubuh idamannya itu, agar lawannya menjauh, kekasih new york nya.

"Akhh! Hei kau sedang apa, Aii!" jerit pria mungil yang tak lain adalah Rian Fahreza. Dengan sekuat tenaga ia pun melepaskan jeratan yang mengekangnya lantas mendudukkan diri dengan menatap tajam Ilham. Jari lentiknya pun reflek menyentuh bagian yang sedikit basah itu, Ilham menandainya, dan jelas ia tak suka. "Aku memaafkan tindakan kasar mu dalam bercinta dengan ku kemarin, tapi jelas aku tak suka jika kau meninggalkan bekas!" teriak Rian lantas menendang rusuk Ilham dengan kakinya.

"Akkkh! Ri, ini sakit!" ucap Ilham dengan ringis kesakitannya. Ia bahkan sampai bergulung-gulung di tempatnya dengan lengan yang terus mengusap tanda yang diberikan Rian. "Ri... Ini begitu sakit, butuh usapan tanganmu yang ahli dalam mengocok-"

"Hei! K-kau bilang apa!" potong Rian dengan delikan tajamnya. Bibirnya seketika menipis saat giringan opini dari ucapan Ilham yang begitu memalukan. Rian pun lantas memukuli Ilham dengan pukulan bertubi. "Mulutmu memang bertambah rusak setiap harinya, Aiii! Ku beri pelajaran kau!"

"Hei-hei Ri, hahah... sebentar-sebentar, lepas Ri, Hei!" cegah Ilham dengan wajah yang sudah begitu memerah karena menahan tawa. Rian menggelitik perutnya dengan membabi buta, dan seketika kedua lengan Rian pun di jerat dengan hanya satu lengan besar milik Ilham. Pria dengan pandangan teduh yang masih terbaring itu pun tersenyum miring, ia suka sekali dengan raut cemberut dari wajah Rian.

"Aii! Jangan lagi-lagi kau menggunakan kekuatan untuk melawanku, ya!" marah Rian dengan tubuh yang terus meronta. Ekspresi wajah yang jelas kesal itu seperti tak ditanggapi Ilham saat pria itu malah menunjukkan seringai dengan satu lengannya di lipat untuk menumpu belakang kepala. "Akkh!" pekik Rian secara spontan saat Ilham bertindak lebih, lengannya ditarik dan membuat posisi tubuhnya menungging dengan wajah tepat beberapa senti di atas Ilham. Mereka pun seketika terdiam dengan tatapan yang dalam.

"Jangan berpikir macam-macam... Jelas anggapan mentah mu tak sepenuh benar. Cobalah berpikir lebih liar, memang kata mengocok hanya satu arti di kepalamu?"

"Aii...." jerit Rian saat Ilham mengoloknya. Jelas sekali jika Ilham menganggap otaknya tumpul dan hanya berpikir mesum. Pagi mereka yang diawali percekcokan itu pun berakhir dengan lanjutan kegiatan semalam. Mereka tak akan menjelaskan terlalu detail, hanya rasa puas menyalurkan kebutuhan di pagi hari sudah cukup membuat hari mereka baik, sejenak menghilangkan pikiran tentang orang lain.

"Jangan cemberut terus, memangnya kau tak menyukai kegiatan kita pagi tadi? Apa kau kurang puas?" tanya Ilham saat Rian terus saja mengerutkan dahi dengan menatapnya penuh lirikan tajam. Makanan yang tersaji di hadapannya itu di hanya di aduk dengan sendok yang terus di dentingkan dengan kasar.

"Sepertinya sekarang kau begitu pintar menggodaku ya, Aii!" balas Rian dengan geraman di akhir kata. Jelas ia marah, Ilham begitu banyak mencetak tanda percintaan mereka hingga Rian hanya seperti pria gila yang mengenakan baju rajut yang berleher tinggi di cuaca yang begitu panas.

Saat ini mereka sedang berada di cafe milik Ilham. Pria itu menyeret Rian dengan paksa karena alasan yang sungguh kekanakan, ingin bekerja dengan menatapi wajahmu?

"Bukankah aku seperti itu sejak dulu? Kau telat menyadari atau fokus mu yang hanya untuk satu orang?" sindir Ilham.

"Jangan membuat masalah, aku yang harusnya marah denganmu. Kau tidak lihat kalau aku seperti pria budukan dengan kostum seperti ini!" umpat Rian dengan suara bisikannya tajamnya. Pandangannya tak berhenti melirik sekitar, mereka dikelilingi dengan banyak pasang mata yang mungkin saja menatap curiga.

"Hahah... itu kan pilihanmu sendiri. Lagipula kenapa kau sibuk menutupi tanda cinta dari ku? Kau tenang saja, tak akan ada kekasih new york mu di sini," ucap Ilham dan mendapat respon Rian berlebihan. Pria mungil itu bahkan sampai berjingkrak-jingkrak merasa kesal dengan Ilham. Lagipula ia telat mencegah mulut Ilham yang begitu keras bersuara, meja yang cukup lebar menghadangnya.

"Ststt! Kau bisa tidak mengurangi sedikit volume suara mu!" bisikkan tajam Rian hanya di sahuti senyum lebar dari Ilham. Pria itu seperti mendapatkan pangkat tinggi dan serta-merta bertingkah seenaknya saat malam dimana mereka saling mencurahkan isi hati. Ya, Ilham seperti merasa memiliki sebagian saham atas dirinya.

"Kenapa harus bisik-bisik? Ohh... atau kau terbiasa berpacaran sembunyi-sembunyi jika di tempat umum?"

"Aiii! Mulut mu itu-"

Drrtt

Dering ponsel menghentikan omelan Rian yang sudah di ujung lidah. Dengan memberi isyarat untuk mengangkat panggilan, Rian pun lantas berdiri dan menjauh dari posisi meja mereka. Sebuah panggilan yang cukup pribadi hingga membuat Rian berdebar tak karuan.

"Dasar, dia pasti mengangkat panggilan dari kekasih new york nya itu. Kita benar-benar berbagi mister!" batin Ilham dengan hati pasrah. Mau bagaimana lagi, ia terlanjur jatuh terlalu dalam kepada Rian. Rasa cinta dan kasihnya hanya untuk pria itu, ia belum merasakan getaran yang sama untuk orang lain.

"Boss! Aku ingin bicara denganmu,"

Sebuah suara lantas mengintrupsi Ilham. Pandangan yang awalnya menunduk pun sontak terangkat. Kedua lengannya yang melingkup di atas atas meja seketika terlepas. Matanya pun membelalak dengan respon cepat menutup laptopnya yang menyala.

"Ikut aku!"

avataravatar
Next chapter