webnovel

Bayang-bayang Masa Lalu

Sebuah kafe dengan suasana serba merah muda, dipadati pengunjung pagi itu. Cukup jauh dari kota, namun keasrian alam di sekitar membuatnya dikenal banyak orang tidak hanya dari desa namun juga orang kota bahkan luar kota. Suasana sejuk dan nyaman, itulah alasan dari sebagian besar pegunjung yang datang.

Jam kerja kantor adalah jam kerja kafe, karena memang banyak pula karyawan kantor baik itu pemerintahan atau swasta yang memilih kafe itu sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan atau rapat, atau bahkan hanya untuk sekedar bersantai di waktu kerja yang cukup senggang.

Seperti yang dilakukan oleh putri tunggal perusahaan Adhitama Group yang sedang berbincang santai dengan putra bungsu dari keluarga pemilik perusahaan property terbesar di kota yaitu Greensoft Property.

Dinara Putri Adhitama bersama dengan Yunan Baskara, mereka sedang mengobrol seraya menikmati roti panas dan segelas kopi di kafe merah muda itu.

Keduanya sedang serius dalam pembahasan mengenai pembelian property baru untuk kampus milik Adhitama Group yang akan direnovasi besa-besaran tahun ini.

Sebagai direktur muda, dibawah pengawasan dan bantuan Omnya, Dinara sangat berambisi untuk dapat membangun kampus menjadi yang terbaik di kota. Mereka yang sebelumnya telah mendapatkan penilaian akreditasi B, sedang gencar berusaha untuk mendapatkan nilai A.

Yunan tersenyum samar saat mendengar nona muda itu memaparkan gagasannya untuk membangun kampus. Walau terdengar sangat hebat, namun cara penyampaiannya yang cukup menggebu membuat lelaki muda itu sesekali menahan Dinara dan mengingatkannya untuk minum.

"Kamu akan kehabisan oksigen jika terlalu bersemangat," ucap Yunan dengan tawanya.

Dinara hanya diam dan menarik napas panjang, dia lalu kembali bercerita dengan keadaan yang lebih tenang.

"Jika semuanya berjalan lancar, aku yakin tahun depan tidak akan lagi ada orang yang ragu berkuliah di kampus Ungu. Semuanya berkualitas tinggi, kami juga akan menghapus beasiswa untuk orang miskin. Hanya akan menerima orang berprestasi bagus."

"Lalu bagaimana jika mereka berprestasi namun miskin?" tanya Yunan.

"Ah maka itu pengecualian. Maksudku, tidak apa miskin namun dia benar-benar berkualitas bagus," imbuh Dinara dengan anggukannya.

Ketika keduanya masih berbincang, ponsel Yunan bordering, sebuah panggilan dari kerjaan. Dinara mempersilahkan lelaki itu untuk menjawab.

"Halo, ada apa pak Hendra?"

'Halo, Pak. Maaf mengganggu waktu anda. Kami hari ini telah melakukan wawancara dan mendapatkan beberapa kandidat yang layak untuk uji coba dua pekan kedepan.' Terdengar suara dari seberang telepon.

"Kandidat untuk teknisi di bengkel? Emm baiklah. Apakah dia bisa jika uji coba mulai besok? Saya ingin segera ada penyegaran di tim pak Hendra. Siapkan saja semuanya, saya akan berkunjung setelah ini."

Panggilan berakhir. Yunan nampak mulai sibuk dengan pekerjaan barunya. Sejak akuisisi perusahaan otomotif, dirinya mulai mendapat beban baru. Meninggalkan bidang properti yang telah lebih dari tujuh tahu ia geluti, harus bergerak di bidang yang sama sekali belum pernah ia sentuh.

Saat Yunan dan Dinara hendak berdiri dan membayar sekaligus mengambil pesanan yang dibawa ke kantor, Yunan sempat mematung beberapa saat ketika ia melihat seorang perempuan berambut ikal kemerahan sebahu berjalan di luar kafe. Perempuan itu sempat masuk namun hanya untuk megambil helm lalu kembali keluar menuju seorang lelaki yang telah menunggu di sebuah motor matic berwarna biru malam di depan kafe.

Tatapan Yunan belum teralihkan, ia memperhatikan dua orang itu dengan seksama bahkan ia hingga mengerutkan dahi mencoba untuk mengenali.

"Setelah ini kamu langsung ke kantor, 'kan? Kalau begitu antar aku sampai gerbang depan kampus saja aku akan bertemu Om Satrio disana." Dinara mengajak bicara Yunan yang sedang tidak fokus padanya.

Namun rupanya lelaki muda berambut cepak itu mengiyakan walau tidak mengerti dengan ucapan Dinara.

.

.

Tasya dijemput oleh Jine yang memang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kekasihnya. Berbagai alasan ia ungkapkan agar ia dapat menemui Tasya yang sebelumnya telah mengatakan kalau dirinya sibuk.

Mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah acara expo kain sasirangan (batik khas Kalimantan) juga anggrek yang diselenggarakan di alun-alun.

Lokasi acara yang cukup luas membuat keduanya harus kelelahan karena berkeliling dan melihat semua tenda pameran yang diisi para pengrajin serta penggiat UMKM.

Ketika keduanya sedang berjalan mendekati panggung acara, tiba-tiba saja Jine menarik tangan Tasya dan mengajaknya untuk berlari serta menghindari kerumunan.

"Eh ada apa?" Tasya bingung.

"Ada kakek," ucap Jen dengan sedikit mengintip dari celah keramaian.

Tasya mengikuti arah pandang lelaki muda itu, segera saja ia kerutkan kening saat tatapannya tertuju pada seorang pria tua dengan pakaian rapi dan dikawal beberapa pria berpakaian serba hitam sedang berbincang dengan pak Walikota.

"Ahh kenapa aku tidak tahu kalau kakek akan kemari," keluh Jen.

Tasya tersenyum tipis, rupanya dugaan dia mengenai Jine yang merupakan 'sultan' itu benar. "Bukankah beliau adalah pemilik Greensoft perumahan mewah yang harganya HANYA satu milyar?"

"Emm," angguk Jine polos. Dia nampak cemberut. "Kita cari rute lain saja ya. Aku tidak nyaman jika harus bertemu dengan keluarga saat sedang bersamamu."

Tasya lalu mengerutkan dahi lagi, "Kamu malu berkencan dengan perempuan yang lebih tua?"

"Ahh tidak sama sekali! Bukan begitu!" Jine menggeleng cepat. "Mereka tidak mengijinkanku berpacaran hingga aku lulus kuliah."

"What? Ya ampun kamu sungguh bocah?" ucap Tasya spontan.

"Begitulah. Aku memang yang paling bocah di keluargaku. Tapi aku sudah berusia legal …."

"Aku percaya, kamu sudah mengatakan ini ratusan kali padaku," sela Tasya. "Kita ke pasar membeli bahan makan malam, oke?"

Jine mengangguk antusias. Keduanya segera meninggalkan lokasi expo dengan masih beberapa kali mampir ke stand makanan juga aksesoris yang lucu.

Tasya menatap Jine cukup lama saat mereka sedang melihat-lihat aksesoris gelang dan kalung dari biji-bijian ataupun kayu lokal yang unik.

Dilihatnya wajah muda Jine yang sesekali tersenyum saat menemukan yang ia sukai. Ia juga bercerita banyak mengenai kuliah dan teman-temannya.

"Hey, bocah!" panggil Tasya saat mereka hanya berdua di parkiran.

Jine spontan menoleh, namun dia memicingkan kedua mata setelahnya. "Bisakah berhenti menggodaku seperti ini? Apa kamu lupa kalau kamulah yang pertama mendekatiku? Itu artinya aku adalah bocah yang menarik perhatian perempuan tua."

"Sial," umpat Tasya lirih.

Tasya lalu meyerahkan sebuah gelang unik dari kayu pada Jine. "Kulihat kamu menyukainya tapi malu karena hanya anak-anak yang membeli. Jadi, kubelikan untukmu."

"Ah itu kekanakan. Kamu berikan saja pada mereka," Jine menunjuk beberapa bocah yang sedang bermain.

"Ah begitukah. Padahal ini sepasang dengan milikku," ucap Tasya seraya menampakkan lengan kirinya yang telah mengenakan gelang yang sama.

Tanpa basa basi lagi, Jine alias Jejen itu segera mengambil gelang dari tangan Tasya dan segera mengenakannya.

.

.

Bersambung.