7 Sebuah Kunci

Tasya dan Jine pulang ke rumah Tasya. Keduanya menyempatkan diri untuk singgah di sebuah toko sembako untuk belanja keperluan makan malam. Tasya telah memutuskan untuk memasak menu asam manis ayam ditambah dengan sayuran juga lauk tambahan seperti tahu dan tempe.

Sekaligus belanja untuk kebutuhan satu minggu, mereka membawa cukup banyak kantongan yang digantung di motor juga ada yang dibawa oleh Tasya di belakang.

Ketika motor mereka memasuki halaman rumah Tasya, keduanya dibingungkan dengan keberadaan seorang wanita paruh baya, dengan tubuh yang cukup berisi, rambut panangnya digelung khas gaya rambut orang jaman dahulu. Tasya untuk sesaat mengenang sosok mendiang neneknya karena gaya rambut itu.

Wanita itu duduk di kursi teras, nampak gelisah namun segera sigap saat Tasya dan Jine tiba.

Pakaian sederhana, hanya celana panjang dengan kaos longgar berwarna marun, wanita it uterus menatap Tasya dengan ekspresi yang seolah hendak mengucapkan sesuatu.

"Bibimu?" tanya Jine lirih.

"Bukan," sahut Tasya yang tak kalah lirih. Keduanya sempat saling pandang untuk beberapa saat, lalu menghampiri wanita itu dengan semua belanjaan mereka.

"Maaf siapa ya? Ada keperluan apa di rumah saya?" tanya Tasya mencoba untuk bersikap ramah.

Kedua netra wanita itu memerah, pandangannya tertuju pada bagian leher Tasya yang diketahui oleh Jine sehingga dia menarik mundur kekasihnya dan menghadapi wanita itu.

"Ibu ada perlu apa? Apa yang ibu lakukan disini?" suara Jine terdengar nyaring.

Hiks.

Tiba-tiba wanita itu meneteskan air mata, beliau terisak untuk sesaat. "Ternyata benar. Maafkan saya, Non. Maafkan saya. Non sudah besar sekarang, maafkan saya," ucap wanita itu dengan tatapan yang tak teralihkan dari Tasya yang mengerutkan keningnya.

"Ada apa ini? Ibu siapa?" tanya Jine lagi.

Wanita itu menghapus air matanya. "Saya Bik Rus. Saya kepala pelayan sekaligus baby sitter di rumah keluarga Non," ucapnya.

"Hah?" Tasya sedikit memiringkan kepalanya, jawaban yang terdengar sangat absurd di telinganya.

"Ibu, maaf. Saya rasa ibu salah orang. Sebaiknya ibu pulang dan temukan orang yang tepat," ujar Jine.

Wanita itu tidak bergerak, masih menatap Tasya lekat. "Non sangat mirip dengan Ibu dan Bapak, benar-benar perpaduan yang sempurna antara cantik dan tampan. Tatapan matanya …,"

"Eiiihhh!" Jine menepis tangan wanita itu yang hendak menyentuh wajah Tasya.

"Aku mirip dengan ayah dan ibu, tentu saja. Kenapa anda drama sekali?" ucap Tasya yang sama sekali tidak habis pikir dengan sikap wanita itu.

Wanita itu kembali mengusap air matanya. "Apa kamu pernah membuka liontin itu?" tanyanya.

Tasya segera memandangi liontin di lehernya, begitupun dengan Jine.

"Di dalam situ, ada foto kedua orangtuamu yang sebenarnya."

Tasya kembali memiringkan kepalanya. Detik berikutnya dia tertawa. Dia telah mengenakan liontin itu sejak dia bayi, itu adalah hadiah kelahiran dari ayah untuk ibu sebagai rasa syukur.

"Ah kocak," gumam Tasya.

"Kamu tidak tahu itu bisa dibuka … begitu 'kan?" ujar wanita itu lagi.

Tasya lalu berhenti tertawa. Dia memang selama ini tidak pernah berkeinginan untuk membuka. Walaupun bentuknya liontin, namun sama sekali tidak pernah ada tanda-tanda kalau benda itu dapat dibuka.

"Mungkin ini terdengar sangat aneh, tapi percayalah kalau keluarga Djayaksa bukanlah keluargamu yang sebenarnya. Jadi, kalian berdua bukan saudara …."

"Eh?" Jine mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Segera saja dia berdeham dan membenarkan jaket yang ia kenakan. Ingin sekali dia menjelaskan kalau dia dan Tasya memang bukanlah saudara, tapi itu bukan hal yang penting untuk dilakukan sekarang.

"Maaf, Bu. Saya tidak mengenal ibu. Saya yakin ibu salah orang. Maaf, jadi saya persilahkan ibu untuk pergi," ujar Tasya yang mulai gerah dengan keanehan ini.

"Maafkan saya, Non. Semua ini kesalahan saya."

"Jangan bilang maaf terus!" suara Tasya meninggi. "Argh ya ampun aku kesal sekali. Ibu sejak tadi bilang maaf tapi bicara tidak keruan, sangat tidak jelas. Sebenarnya apa tujuan anda kemari dan siapa anda?!"

Hening sejenak.

Mereka merasa tidak nyaman jika suasana itu akan diketahui oleh tetangga yang sering sekali ingin tahu dengan masalah orang lain. Mereka lalu memutuskan untuk masuk rumah dan berbincang di ruang tamu.

Masih sangat canggung. Wanita itu masih nampak sedih, namun dia berusaha untuk tegar dan kembali berbicara.

"Saya adalah Bik Rus, kepala pelayan sekaligus baby sitter di keluarga Adhitama." Wanita itu mulai bicara.

Jine menyalakan perekam suara di ponselnya secara diam-diam.

"Dua puluh lima tahun yang lalu, saya melakukan kesalahan terbesar dalam hidup saya. Saya saat itu sangat membutuhkan uang sehingga saya mau dibayar untuk menukar bayi tuan Harry dengan bayi yang telah meninggal. Tapi karena saya yang tidak pandai berbuat seperti itu, akhirnya ketahuan oleh ayahnya Non dan bayi yang ditangan saya direbut oleh Tuan begitu saja. Bayinya telah tertukar, bodohnya saya adalah saya lupa bayi tuan besar yang asli ada di tempat tidur yang mana. Saya mencari karena saya ingat nyonya sempat memberikan buntelan kepada saya untuk diberikan kepada bayi namun belum saya buka. Namun saya tidak berhasil menemukan bayi itu, yang itu adalah Non. Maafkan saya."

"Ah sebentar … anda yakin tidak salah orang?" tanya Tasya masih mengerutkan dahinya.

"Non adalah Garini Anastasya yang dirawat oleh keluarga Djayaksa. Saya mengetahui hal ini dari pihak rumah sakit."

"Sebentar … jadi sederhananya adalah, anda menukar Tasya saat masih bayi dengan bayi lain lalu menghubungi pihak rumah sakit untuk menemukan Tasya. Kenapa Bibi baru muncul sekarang?" Jine ikut penasaran.

"Waktu itu saya tidak berani mengatakan yang sebenarnya, hingga kecelakaan itu yang membuat semua orang tahu kalau Non Dinara tidak dapat mendonorkan darah untuk kedua orangtuanya yang kritis."

"Dinara? Siapa?"

"Dia adalah bayi yang dirawat oleh keluarga Adhitama, Non."

Kembali hening.

"Kecelakaan apa?" tanya Tasya lagi.

Bik Rus menceritakan tentang kejadian naas yang dialami oleh kedua orangtua Tasya bersama supirnya.

Tasya masih belum berekspresi. "Lalu, kenapa anda mencariku?"

"Harta warisan dari keluarga Non dalam bahaya. Ada pihak yang hendak merebut dan menguasainya."

Tasya mehela napas panjang. "Itu bukan urusanku. Aku bukan bagian dari mereka, kurasa aku juga tidak akan terkait dengan hal itu."

"Mereka mengincar Non Tasya."

"Eh?" Tasya dan Jine menatap Bik Rus bersamaan. Keduanya mengerutkan dahi dengan gerakan sinkron.

"Mereka tahu kalau Non Dinara bukan anak tuan Adhitama, mereka telah berencana untuk menyingkirkannya lalu mencari Non Tasya dan juga ingin menyingkirkan Non. Mereka tidak ingin ada ahli waris, karena mereka ingin menguasainya."

Tasya masih tidak minat.

"Lalu, apa yang bibi ingin aku lakukan setelah mengetahui semua fakta ini?"

"Non kembali merebut hak keluarga Non, lalu jadilah nona muda yang sesungguhnya."

Hening sejenak.

Namun tiba-tiba saja Tasya tergelak tawa hingga dia tidak dapat mengontrol diri. "Ahaha ini benar-benar drama yang menarik. Bisakah aku menjadikannya sebagai sebuah karya tulis saja?" ucapnya.

Jine masih diam, namun saat dia menatap Bik Rus, wanita itu tidak nampak sedang bercanda atau semacamnya. Beliau juga nampak waras dan tidak menunjukkan kalau beliau adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang bicara ngelantur.

Satu hal lagi, keluarga Adhitama memang keluarga kaya yang memiliki seorang putri bernama Dinara. Jine mengetahui hal itu, hanya saja dia tidak pernah mendengar rumor atau apapun seperti yang disebutkan oleh bibi Rus.

.

.

Bersambung.

avataravatar
Next chapter