5 Sebuah Peluang

Tristan, pria gondrong itu masih berdiri di depan bangunan kantor sebuah perusahaan otomotif yang baru membuka cabang di kota. Dia baru saja menjalani tes wawancara sebagai seorang teknisi professional.

Hanya dengan berbekal ijazah sarjana yang sudah lima tahun tersimpan di dalam lemari, juga pengalamannya saat mengurus showroom sekaligus bengkel milik ayah selama lebih dari tujuh tahun.

Walau sudah hampir genap setahun dia menganggur karena keluarga mereka terpaksa menjual showroom yang semakin menurun pendapatannya untuk membayar hutang ayah kepada pihak bank yang selama ini tidak pernah diketahui oleh Tristan juga Tasya, Tristan sangat percaya diri kalau kemampuan dan pengalamannya itu akan cukup untuk bekal dirinya di tempat baru.

Selama ini, dia bekerja di sebuah bengkel yang dikelola oleh seorang teman yang tidak begitu jauh dari rumah. Hanya bengkel kecil, namun dia beruntung karena setidaknya dia mendapatkan penghasilan untuk hidupnya.

Tidak ada masalah dengan jumlah penghasilan dari Tristan ataupun Tasya untuk kehidupan mereka, namun suasana menjadi sedikit rumit saat Maya, kekasih Tristan yang mulai mempertanyakan kemana arah dan tujuan dari hubungannya dengan Tristan.

Kedua orangtua Maya bahkan telah berkali-kali meminta kesanggupan dari Tristan untuk menikahi putrinya.

Bukan mengenai keseriusan ataupun komitmen, jumlah uang yang diminta oleh merekalah yang membuat Trsitan harus memutar otak lebih cepat dari sebelumnya.

Nominal lima puluh juta, mungkin tidak terlalu banyak untuk sebagian orang diluar sana. Namun bagi Tristan, itu sangat berat. Dia tidak pernah menceritakan hal itu pada adiknya, tetapi Tasya mengetahuinya saat perempuan itu tidak sengaja melihat ponsel sang kakak yang menyala saat pesan singkat dari Maya masuk.

Huft.

Tristan menghembuskan napas panjang. Kedua tangannya masih terasa dingin setelah keluar dari ruangan full pendingin ruangan. Dia menjadi semakin gugup saat sekilas mendengar desas desus adanya sosok 'orang dalam' yang mempermudah salah satu dari kandidat pelamar yang di tes.

"Jika boleh jujur kamu sangat sesuai dengan kriteria yang kami inginkan, tetapi kami perlu melihat secara langsung bagaimana kinerja yang sejak tadi kamu banggakan. Jika hasil evaluasi ternyata menyatakan kalau kamu lolos, maka kami akan menghubungi dan kamu akan menjalani uji coba selama dua pekan langsung diawasi oleh Direktur kami yang baru."

Tristan masih ingat jelas semua perkataan dari bagian personalia yang mewawancaranya tadi.

Kembali ditoleh olehnya bangunan yang tinggi menjulang dibelakangnya. Berharap untuk mendapatkan hasil terbaik, Tristan sempat memejamkan kedua matanya dan menyebut lirih nama ayah dan ibu.

"Aku akan menjadi kakak sekaligus orangtua yang baik untuk Tasya," ucapnya lirih.

Dia lalu memutuskan untuk pergi ke bagian bengkel milik perusahaan tempat ia melamar yang berada tidak jauh dari kantor. Dia ingin mengecek keadaan motornya sekaligus mengenali lingkungan yang dia harapkan akan menjadi tempat kerjanya kelak.

Sebagai seorang lulusan teknik mesin, Tristan sangat tertarik untuk mengamati pekerjaan para teknisi di bengkel dengan seksama. Dia dapat mempelajari hal baru hanya dengan melihatnya. Sesekali dia juga mempelajari cara karyawan lain yang bertugas sebagai kasir ataupun admin.

Tidak jauh berbeda dengan saat ia masih mengurus showroom. Sedikit ia tersenyum saat memorinya tentang masa lalu kembali terlintas.

Berbeda dengan bagian pemasaran, Tristan tidak dapat menemukan karyawan yang menawarkan barang di tempat ini.

"Akan lebih baik jika aku dan Tasya mengelola tempat seperti ini. Aku mengurus bagian bengkel lalu dia bagian pemasaran. Ah ayah memang terbaik, beliau dapat membaca peluang dengan membiarkan kami kuliah dengan jurusan pilihan kami," gumam Tristan pada dirinya sendiri.

Cukup lama menunggu, Tristan memutuskan untuk duduk di sebuah kantin dan memesan minuman hangat karena suasana masih terasa dingin setelah hujan lebat saat ia masih melakukan wawancara sebelumnya.

Dari kejauhan, dia melihat bagian personalia juga kepala bengkel yang sebelumnya ada di ruang wawancara baru turun dari mobil dan menuju ruangan khusus karyawan di belakang.

Dengan tanpa diketahui oleh orang asing manapun, rupanya kepala bengkel bersama dengan bagian personalia sedang memilah berkas dari para kandidat yang baru diwawancara.

Seorang pria paruh baya berpakaian rapi warna abu menyusul dua rekannya ke ruang karyawan.

"Apakah dia harus mendampingi teknisi uji coba?" tanya pria berpakaian abu yang merupakan manager teknis bernama Bastian.

"Bukankah memang sudah seharusnya begitu, Pak?" tanya kepala bengkel yang masih nampak muda, rambutnya ikal dengan mata yang bulat.

"Tidak harus. Kurasa keberadaanku saja sudah cukup. Dia masih baru dan terlalu muda, tidakkah seharusnya dia menerima laporan saja?" ucap Bastian.

Hendra, kepala bengkel, menatap pak Heru, bagian personalia.

"Emm sekarang tatanan perusahaan kita sudah berubah, Bung. Anda sudah tidak ada wewenang untuk memegang dan mengendalikan para teknisi disini. Direktur mengambil alih itu karena masalahmu yang kemarin. Kurasa sebagai atasan baru, dia tidak ingin ada kecelakaan kerja juga pemecatan karyawan yang tidak masuk akal di perusahaan yang ia pegang." Heru berbicara pelan.

Bastian mendengkus kasar. "Argh aku membenci bocah itu! Kenapa harus mereka yang mengakusisi perusahaan kita!"

"Ah kukira itu adalah keputusan pak Ketua. Jadi, anda bisa menanyakan hal ini kepada beliau saat kalian bertemu dirumah," sahut Heru lagi, lalu ia menepuk pelan bahu rekannya itu.

"Perbaiki saja kinerjamu. Aku khawatir kalau mereka tidak hanya akan mengakusisi perusahaan, namun membeli dan merombak semua isinya hanya karena kesalahan sederhana."

"Kamu menyebutku tidak becus bekerja?" Bastian menatap Heru lekat.

Heru menarik napas panjang seraya mengedikkan bahu. "Itulah data yang ada padaku beberapa waktu belakangan. Aku tidak tahu apakah itu palsu atau asli, tapi melihat reaksimu begini … aku khawatir itu asli."

Bastian membuang pandangannya.

"Profesionallah, Bung. Kamu sangat kacau sejak perceraian. Jika kamu tidak segera bangkit, perempuan itu akan merasa senang karena berhasil menghancurkanmu. Ah aku sedang berbicara sebagai teman, maaf bukan bermaksud lain," ujar Heru.

"Argh! Kalian bereskan saja semuanya. Laporkan apapun yang berhubungan dengan divisiku segera. Aku harus tahu lebih dulu sebelum bocah itu!" Bastian segera membenarkan dasinya yang mendadak terasa sesak. Iapun keluar dari ruangan itu tanpa berbasa basi lagi.

Hendra menatap Heru, dia masih memilih diam. Dia tahu betul kalau putra dari pemilik perusahaan ini memang sangat temperamental.

"Dia akan segera baik, tidak perlu takut. Kurasa posisinya sekarang juga bagus untuknya agar dia tidak memperlakukan karyawan dengan buruk karena emosinya. Sekarang telpon saja pak Direktur, katakan hasil wawancara yang sudah kita lakukan."

Hendra mengangguk. Dia yang masih cukup muda dibanding dengan Heru memang tidak selalu bersikap sopan dan nurut.

"Halo, Pak. Maaf mengganggu waktu anda. Kami hari ini telah melakukan wawancara dan mendapatkan beberapa kandidat yang layak untuk uji coba dua pekan kedepan."

.

.

Bersambung.

avataravatar
Next chapter