3 Bersamamu (2)

Dua hari waktu libur ini, ku gunakan bersama Reno berdiam diri di kontrakan.

Aku juga gak permasalahkan hal itu, dan kami selalu memesan makanan melalui jasa Gofood. Lebih praktis, tanpa perlu keluar dari rumah. Dan hari ini adalah hari terakhirku berada di kontrakan, karena besok aku harus kerja lagi. Maklum, besok hari senin. Hari malas sedunia.

Selama dua hari ini juga, aku selalu saja mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya.

Aku sangat mencintainya, dan dia? Meski tak pernah mengungkapkannya. Namun, aku mengetahui jika ia juga mencintaiku. Hehehehe! Pede banget yah aku-nya?

Perkenalanku dengan Reno, karena adanya suatu pekerjaan yang mengharuskan aku bekerja sama dengan dirinya. Pria yang selalu penuh dengan tanggung jawab. Menyelesaikan pekerjaannya, tanpa sedikit pun melakukan kesalahan.

Semua pekerjaan ku dapatkan dari Pak Edward, sosok yang kami hormati. Dan juga sosok yang meskipun tampangnya biasa-biasa saja, namun cukup misterius, dingin dan jarang mengeluarkan suara.

Tak jarang juga aku melihatnya marah. Yang aku ketahui selama ini, Pak Edward sangat menyayangi Reno.

Ku sadari, ranjang bergerak...

Aku menoleh, dan mendapati Reno baru saja selesai mandi dan naik ke atas ranjang. Aku, sudah duluan mandi tadi.

"Kamu melamun?" tanya nya.

"Hehehe, gak!" jawabku.

Aku memeluknya, ketika dia bersandar di ujung ranjang.

"Terus tadi, apa namanya?" tanya Reno, dan aku hanya menggelengkan kepala sambil bersandar di dadanya.

Aku merasakan, tangannya bergerak mengusap dengan lembut kepalaku. "Kamu kenapa, Yun?" Ahh! Aku tuh, diem karena kamu tau. Batinku saat ini.

Yah, gimana gak! Masih saja, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya kepadaku. Sedangkan aku? Sudah tak terhitung, berapa banyak ungkapan cintaku kepadanya.

Aku bukannya egois, tapi... Wanita mana, yang tak ingin mendengar ungkapan cinta dari pria yang ia cintai?

"Yun... kamu diam, ada apa?"

"Gak kok, Ren!" jawabku berbohong. Padahal, perasaanku saat ini begitu berkecamuk.

"Yakin?" Ahhh! Reno bego. Aku pun mendongak, lalu memasang wajah memelas kepadanya.

"Tuh kan, pasti kamu lagi ada apa-apa nih." Gumamnya setelah melihat wajahku.

"Ren..." Sengaja aku menggantung perkataanku. Ku tatap dalam-dalam dua bola matanya.

Aku pun merasakan, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Makin lama, aku makin merasa jika hubunganku dengannya sepertinya tak akan ada ujung pangkalnya.

Emang, aku akui. Dia sayang kepadaku. Tapi, salah gak sih, kalo aku menginginkan ia berkata di depanku?

Elusan di kepalaku, tak mampu menghilangkan rasa gundah dalam diriku.

"Coba ngomong, kamu kenapa?" ia kembali bertanya.

"Aku... aku..." aku gak mampu melanjutkan ucapanku, dan kini kurasakan mataku sepertinya terasa perih karena sejak tadi menahan agar air mata tak tumpah dihadapan Reno.

"Kamu sedih?"

"Gak!" jawabku, dan ku palingkan wajahku.

Dia mengecup keningku...

Cukup lembut, dan sejenak ku rasakan tubuhku bergejolak. Namun, aku harus memaksanya saat ini. Aku gak kuat lagi, untuk bertahan dengan hubungan seperti ini.

Aku lalu menatapnya lagi. "Ren..."

"Yah!"

"Kamu, sayang gak sih ma aku?" Dia diam tak menjawab. Helaan nafas darinya, terdengar memilukan hatiku. Aku pun mengikuti hal yang sama, menghela nafas dalam-dalam.

"Bisa bahas lain?" katanya. Seperti biasanya, dia selalu menghindar dari pembahasan seperti ini. Dan itu sukses membuat dadaku makin sesak.

Aku harus kuat...

Aku harus mengakhiri semuanya, jika Reno masih saja tak mengungkapkan kepadaku. Maka ku hela nafas, sebelum aku menjelaskan apa yang aku inginkan. "Maaf Ren! Aku harus menanyakan sekarang, sebelum makin jauh." Reno diam, namun pandangannya kepadaku seakan mengartikan jika dia masih bingung dengan yang ku katakan barusan.

"Aku perempuan Ren! Butuh kepastian." Sakit dadaku. Sesak nafasku, namun aku harus kuat hari ini. Tidak atau yes! Aku harus memastikan semuanya. "Aku butuh jawaban, apakah kamu mencintaiku... atau tidak!"

Reno terdiam...

Benar-benar diam, dan ekspresinya itu sangat susah ku tebak. Ia sekarang mengalihkan pandangan dariku. Seakan tak mampu bertatapan lagi denganku.

"Ren Jawab." Aku mendesaknya. Dan ia menoleh, entah mengapa perasaanku makin terasa sakit. Ketika mendapati Reno menatapku tajam.

"Kenapa kamu bertanya? Belum cukup yang aku jelasin selama ini? Sudahlah Yun! Kita seperti ini saja, kalo sudah waktunya tiba... Kita bahas lagi. Mengerti?"

Aku mencoba menahan kesakitanku.

Aku tak lagi memperdulikan tatapannya. Aku menunduk, kemudian berdiri dari sofa. "Maaf Ren... sepertinya, aku butuh waktu."

"Yun!" dia menahan lenganku. Aku menepisnya.

"Lepasin... biarkan aku sendiri dulu," kataku, lalu beranjak dan berjalan meninggalkan Reno yang masih juga tak mengucapkan sesuatu.

Dia masih memandangku, aku mengetahuinya dari ekor mataku ketika langkahku telah berlalu di hadapannya.

Hufhh! Dia masih saja seperti itu. Maka, aku mengambil barang-barangku di kamar, dan setelahnya. Aku berjalan keluar rumah.

Aku sempat menoleh ketika tiba di pintu masuk. "Sampai jumpa Ren!"

Hatiku betul-betul sakit. Reno yang sekarang masih sama. Tak ada perubahan, dan benakku bertanya-tanya apakah semua yang aku lakukan selama ini kepadanya, hanya sia-sia belaka?

Harapanku mulai pupus, saat aku tak melihatnya beranjak dari duduknya. Dia hanya menatapku tanpa kata. Maka dengan menahan kesakitan, aku pun meninggalkan rumah Reno. Rumah yang penuh kenangan bersamanya.

Harapanku mulai hancur berkeping-keping...

Yang jelas, aku tak akan bertemu Reno lagi. Aku tak ingin kembali tersakiti, kecuali dia yang datang menemuiku.

avataravatar
Next chapter