13 Jari-Jari Yang Menghitam

Diana melihat mata Koji menatap penampilan band itu dengan pandangan yang jauh sekali. Ia menyikut Koji dan bertanya dengan suara berbisik. "Maksud Andy…siapa, sih? Apa aku kenal orangnya?"

Koji tak menjawab.

Sepulang dari bazaar ia mengajak Diana makan bakso di tempat langganan mereka, dan sebagai Nana tentu saja Diana tak bisa menolak. Dalam hati Ia berdoa supaya makanan itu tidak berbahaya bagi tubuhnya.

"Mmmh…enak sekali… Aku suka bakso…" cetusnya setelah memakan beberapa bakso.

"Memang enak…ini kan makanan favoritmu." Koji mendelik curiga, "Ini sindiran karena kamu sudah lama nggak kutraktir, ya?"

Diana tersenyum lebar. "Iya, dong…"

Koji balas tersenyum dan menatap Diana dalam-dalam.

***

Nana menuruni pohon lewat jendela kamarnya dan berlari kencang dengan airmata yang berjatuhan. Ia tidak tahan lagi… Ia merasa tidak berharga dan kesedihan luar biasa merembes pelan-pelan di dadanya. Nana berlari tak tentu arah, setelah capek, ia berhenti untuk meredakan nafasnya dan mendapati dirinya berada berada di tepi jalan raya.

Nana termenung…. Ia tak tahu harus kemana.

"Hai, Diana…apa yang kamu lakukan disini?" Tiba-tiba sebuah mobil berhenti dan Eri menepuk bahu Nana yang tersentak kaget.

"A..ku..." Nana seketika sadar penampilannya saat ini adalah sebagai Diana, karena itu dia menggeleng. "Aku perlu menenangkan pikiran..."

"Kenapa? Apa kamu sakit lagi?"

"Nggak apa-apa kok…" Nana mengerjap-ngerjapkan matanya yang seperti berkunang-kunang. "Kumohon…jangan bilang siapa-siapa…aku…aku kabur dari rumah…"

"Tapi kenapa..?"

Nana tak sempat menjawab karena tiba-tiba tubuhnya limbung, kalau Eri tak cepat menahan tentu ia akan jatuh membentur trotoar yang keras.

Eri yang berpikiran dingin cepat menggendong Nana dan membaringkannya di jok belakang. Ia menyetir dengan mantap menuju rumahnya. Ia menghormati keputusan Nana dan tidak ingin mengantarnya kembali pulang tanpa persetujuan gadis itu.

Eri menggendong Nana ke kamar tamu dan segera menelepon dokter. Dokter tiba 10 menit kemudian dan segera memeriksa keadaan Nana. "Hm…dia terlalu tegang dan pikirnnya sedang kalut…gadis ini harus santai dan gembira…supaya kesehatannya membaik."

Saat itu Nana bangun dan mengeluh. "Aah…aku di mana? Mama…aku di mana?"

"Ssh…Diana…kamu sekarang ada di rumahku." Eri tersenyum menenangkan. "Kalau kamu mau aku akan menelepon rumahmu sekarang…"

Nana seketika ingat semuanya. "Ah, jangan Kak…! Aku nggak mau mereka tahu aku pergi…"

Eri mengangguk. Dokter itu mengerutkan kening dan memeriksa tangan Nana dengan seksama.

"Nak…penyakit jantungmu parah sekali…ujung jari-jarimu yang mulai menghitam ini menandakan darah tak sanggup lagi dipompa sampai ke seluruh tubuh…gerakan jantungmu sudah sangat lemah. Siapa nama doktermu biar aku konsultasikan dengannya?!" Ia menatap Nana dengan pandangan yang iba. "Nak…apapun masalahmu dengan keluargamu…sebaiknya kamu pulang sekarang…"

Nana menggeleng sedih.

"Aku tidak bisa pulang, Dokter…huk…aku..aku tidak punya keluarga..." Ia menangis terisak-isak membuat Eri keheranan. Pemuda itu duduk di sebelahnya dan menepuk-nepuk punggung Nana dengan iba.

"Kamu boleh tinggal di sini…tapi bagaimana pun, setidaknya Nana harus kuberi tahu… Dia sungguh mengkhawatirkanmu, aku tak mau melihatnya bersedih…" katanya kemudian

Pikiran jernih kembali pada Nana dan ia menggeleng pelan. "Tidak usah, Kak…lebih baik sekarang aku pulang…"

"Sebaiknya tunggu sampai keadaanmu cukup baik." Dokter tersenyum dan menuliskan sebuah resep, menyerahkannya pada Eri. "Cari obat ini secepatnya, setelah makan obat baru boleh pulang."

"Terima kasih, Dokter."

Eri mengantar dokter keluar sekalian pergi ke apotek dan membeli obat-obatan yang di perlukan. Ia kembali sambil membawa makanan.

"Pembantuku sedang pergi….maaf tidak ada apa-apa di rumah, kuharap kamu suka makanan yang kubeli..."

"Terima kasih."

Eri membantu Nana berdiri dan membawanya ke ruang tamu. Mereka makan roti dan susu panas, kemudian Nana meminum obatnya.

"Kamu tahu, aku sudah mengganti biolamu… Maaf, ya, tidak persis seperti yang aslinya tetapi aku sudah mengusahakan yang terbaik… Kumohon kamu jangan bilang Nana bahwa biola itu berubah… Aku bilang padanya biolamu yang rusak itu masih bisa di perbaiki…geez…dia nggak ngerti kalau tangkai yang patah tidak bisa di sambung. Aku kasihan melihatnya merasa sangat bersalah telah merusak biolamu karena itu aku membeli yang mirip dan bilang sudah memperbaikinya…"

Nana tersenyum. "Be…benarkah? Kakak baik sekali…"

"Bukan apa-apa…" Eri menunduk. "Dia mengingatkanku akan temanku yang sangat aku sayangi… Orang-orang menuduhku sebagai penyebab kematiannya…"

Nana segera ingat gosip yang diceritakan Lucia. "Memangnya…apa yang terjadi padanya? "

"Oh…Nadine meninggal dalam kecelakaan. Aku ngebut dengan motorku dan tidak melihat adanya truk yang melintas di sisi jalan yang lain… Ia meninggal seketika, sementara aku …hampir tidak tergores. Melupakannya sulit sekali… Aku masih dihantui mimpi buruk sampai sekarang… Tapi sejak bertemu Nana, aku mulai mengerti bahwa menjalani hidup tidak boleh setengah-setengah. Semangat dan keceriaannya membuatku tergugah…" Eri tersenyum. "Dia juga yang melarangku bolos…"

Nana tersenyum juga.

Orang yang bisa membuat musik seindah itu tak mungkin membunuh…

"Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" Eri bertanya melihat Nana yang tampak mulai ceria. "Mau kuantar pulang?"

"Mau…tapi," Nana menunjuk piano Eri. "tolong mainkan sebuah lagu yang Kakak ciptakan…aku ingin mendengarnya sebelum pulang."

"Lagu mana yang kamu sukai?"

"Entahlah aku suka semuanya. Lagu-lagumu indah sekali."

Eri tersenyum dan duduk di kursi piano. Ia memainkan komposisi terbarunya yang pernah ia mainkan di aula saat Nana dihukum mengepel. Nana sangat menyukai lagu itu. Ia memejamkan mata dan mendengarkan sampai selesai tanpa bergerak sedikit pun.

"Aku suka lagu ini…" bisiknya. Eri tersenyum, menutup pianonya dan menarik tangan Nana keluar.

"Nanti akan kurekam dan kamu bisa mendengarkannya kapanpun."

"Terima kasih."

Eri mengantar Nana kembali ke rumahnya.

Kojiro yang tiba di rumah dengan Diana keheranan melihat tidak ada seorang pun di sana. Di kulkas tertempel kertas pesan dari Mama yang membuat mereka khawatir sekali.

Diana hilang, Mama pergi mencari

Diana telah mematikan ponselnya dan menjadi sangat cemas karena memikirkan bahwa Mama sedari tadi berusaha menghubunginya dan gagal. Ia tak ingin Mama khawatir dan ingin meneleponnya, tetapi Kojiro masih ada dan akan mengetahui bahwa ia seharian berpura-pura sebagai Nana.

"Kenapa ia pergi...kemana ia pergi..?" tanya Kojiro galau. Ia menjadi sangat bingung. "Apakah kamu tahu kenapa ia pergi?"

Diana menggeleng. "Aku nggak tahu…tadi keadaannya baik-baik saja…"

Kojiro sangat gelisah. Ia keluar hendak mengambil sepedanya ketika tiba-tiba mobil Eri masuk ke halaman. Ia tertegun menyaksikan Eri keluar mobil dan membukakan pintu untuk Nana. Kojiro berjalan menghampiri mereka dengan kemarahan yang nyata.

"Kenapa kamu pergi diam-diam seperti itu? Apa kamu nggak mikir ada orang yang sangat cemas kalau kamu menghilang?! Mamamu sudah pergi mencari kemana-mana…!" tukasnya keras.

Nana terpaku. Ia mengigit bibirnya keras-keras agar tidak menangis, susah payah ia tampilkan senyum di wajahnya. "Aku…aku tadi cuma suntuk… Aku pergi jalan-jalan…dan ketemu Kak Eri…secara kebetulan.."

"Kamu kan bisa telepon!" omel Kojiro.

"Maaf…" Nana hampir menangis, berlari masuk ke rumah. Kojiro hendak mengejarnya tetapi Eri memegang bahunya dan menggeleng.

"Biarkan saja…ia sedang sedih.." Eri memelankan suaranya. "Tadi aku menemukannya pingsan dan dokter lalu memeriksanya di rumahku… Kata beliau kondisi Diana semakin memburuk…"

Kojiro terkesiap. "Apa maksudmu? Apakah dia sakit?"

Eri mengangguk. "Tentu saja… Dokter bilang ujung-ujung jarinya yang kehitaman adalah tanda bahwa jantung tidak mampu lagi memompa darah sampai ke seluruh tubuh…syaraf-syaraf di situ mulai mati karena tidak mendapat suplai darah… Kurasa Diana tak ingin membuat keluarganya khawatir…karena itulah ia pergi…" Eri menghela nafas berat. "Kasihan Diana…tadi dia menangis seperti bilang…dia tak punya keluarga…semacamnya… Kurasa dia sangat terpukul…"

Kojiro tertegun. Bahunya tiba-tiba terkulai lemah. Ia tidak mempedulikan ketika Eri permisi pulang. Juga ketika Diana datang menghampiri.

"Koji…kamu kenapa..? Kamu baik-baik saja?"

Kojiro tidak menjawab. Ia termenung dengan wajah hampir seperti orang kehilangan akal.

"Koji..kamu kenapa?" Diana menjadi kebingungan.

Koji berjalan langsung masuk ke rumahnya meninggalkan Diana yang berdiri bingung. Gadis itu akhirnya masuk mencari Nana yang duduk di sofa…juga dengan wajah sedih.

"Nana…Koji aneh sekali. Tadi sehabis bicara dengan Kak Eri tiba-tiba sikapnya jadi aneh…kayak orang yang sedih banget…" Ia duduk disamping Nana. "Kamu juga, kenapa mesti pergi seperti tadi… Mama jadi khawatir…lihat, sampai sekarang Mama belum pulang. Barusan aku telepon ke ponselnya memberi tahu bahwa aku sudah di rumah. Sebentar lagi Mama sampai, sebaiknya kita kembali menjadi diri masing-masing."

Nana mengangguk. Susah payah ia menyanggul rambutnya. Melihat Nana gemetaran, Diana segera mengambil inisiatif menjalin rambut saudara kembarnya itu.

"Kamu kenapa? Apa kamu sakit…? Kenapa kamu tadi pergi?" Ia menjalin rambut Nana dengan sangat hati-hati. "Kalau kamu ada masalah… kamu selalu bisa cerita padaku…"

Nana menggeleng. Ia sudah berhasil mengembalikan senyum ke wajahnya. "Aku tadi baru menyadari bahwa jadi kamu benar-benar tidak menyenangkan… Tadi aku kebosanan setengah mati dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar…tidak sengaja ketemu sama Kak Eri, dia mengajakku ke rumahnya dan memperdengarkan salah satu komposisinya… Dia bilang ingin mengajakmu tampil di konsernya…"

"Apakah itu yang membuatmu sedih? Apakah kaukira Kak Eri menyukaiku?" tanya Diana lembut. Nana tersenyum sedikit dan mengangguk. "Kalau itu yang menjadi masalahnya, aku akan bilang tidak…! Aku tidak akan mau tampil di konsernya…kamu tidak usah bersedih lagi…"

Nana menoleh dan tersenyum. "Terima kasih."

"Oh, ya…Na…tadi aku ikut Koji ke bazaar SMP kalian… Banyak sekali orang memelukku dan bertanya bagaimana kemajuanku dengan Koji…maksudku,…kau dan Koji… Rupanya kalian sudah terkenal di SMP, ya?"

"Lalu, kamu jawab apa?"

"Yah…aku nggak perlu jawab apa-apa…rupanya mereka sudah hapal sama jawaban kamu…bukankah sahabat lebih daripada pacar? Ha ha..." Diana mengerling pada Nana dan tertawa kecil. "Mereka semua lucu…! Terus, ada band yang sepertinya alumni dari SMP kalian juga…mainnya lumayan bagus…"

"Hm…sepertinya…Andy…" kata Nana pelan, ia tersenyum membayangkan penampilan band itu tadi siang. "Suaranya bagus…"

"Iya…yang bikin aku ngerasa lucu, vokalisnya bilang gini…Lagu terakhir ini gua dedikasiin buat buat seorang temen gua yang bertahun-tahun memendam…"

"Diana! Kamu baik-baik aja, Sayang?" Mama yang baru tiba segera histeris memeluk Diana. "Mama tadi sangat khawatir… Kenapa kamu pergi diam-diam? Handphonenya juga dimatikan… Mama bingung sekali…takut terjadi apa-apa denganmu…"

Diana tersenyum kecil. "Aduh…Mama…aku tadi cuma berjalan-jalan saja dan tak ingin diganggu. Aku baik-baik saja, kok.."

"Syukurlah kalau begitu…"

Nana memandang adegan itu dengan dada terasa sesak. Ia membereskan rambutnya dan beranjak pergi. "Aku mau belajar dulu, besok ada ulangan…"

"Baiklah." Mama mengangguk. Ia beralih kembali pada Diana dan membelai rambutnya. "Sekarang kamu harus beristirahat, Mama akan siapkan obat dan makan malammu…"

"Iya, Ma."

Diana naik ke ranjangnya untuk beristirahat. Saat melewati kamar Nana ia tertarik untuk membuka pintunya, tetapi terkunci dari dalam.

"Nana…kamu belajar, ya?"

Tidak terdengar jawaban.

"Nana..! "Diana mengetuk beberapa kali. "Kamu sudah tidur?"

Akhirnya ia mengangkat bahu dan masuk ke kamarnya sendiri.

avataravatar
Next chapter