17 Sastra Vs Hukum

"Sastra Indonesia" gadis itu berkata.

"Kenapa kau melihatku?" wajah Laras terdorong ke belakang sesaat, "seperti itu,"

"tidak, aku tidak melihat apapun," Pemuda itu kembali berujar. Membalas ungkapan Laras.

"Kau berbohong," untuk kesekian detik mereka saling terdiam dan serentak menoleh mengamati satu sama lain. Dan tertawa.

"Aku hanya berpikir, tentang jurusan mu," Leandra memecah kebekuan di antara keduanya.

"Apa yang salah dengan jurusanku,"

"Aku mempercayai satu hal konyol ketika mengetahui seorang anak sastra," dia yang bicara setengah terkekeh lirih.

"Jangan bilang, di otakmu terdistraksi \[1\] oleh ungkapan yang mengatakan anak sastra seseorang yang romantis, melankolis atau...," Kalimat Laras terputus sebab tawa Leandra, dia tertawa sambil bertepuk pada pahanya. Gadis itu mengatakan sesuatu yang dia simpan rapat-rapat pada kepalanya.

"Apakah kau bagian dari itu," kata 'itu' yang di maksud Leandra adalah kata romantis, melankolis, atau bisa jadi gadis itu anak senja. Pemburu matahari tenggelam sebelum menulis bait-bait indah.

"Nggak gitu juga...," Laras menimpali tawa pemuda tersebut, dia mengangkat tangannya tanpa sadar dan memukul bahu pemuda itu. Ada senyum lebar di wajahnya.

Sesuatu yang tanpa disadari Laras, dia telah merubah kesan seseorang terhadap dirinya.

Sejauh yang di pahami Leandra atau bahkan mungkin sebagian orang di muka bumi. Bahwa kecantikan berbanding lurus dengan isi dompet. Atau kesahajaan seseorang setara dengan kualitas pendidikan, lingkungan dan bisa jadi sosial masyarakat di sekitarnya.

Akan tetapi detik ini pandangan itu luntur. Gadis di hadapan Leandra tidak memiliki dompet yang layak untuk di ceritakan isinya. Leandra bahkan yakin Laras mustahil punya sebuah kartu yang akan menuntaskan segalanya hanya dengan sekali gesek.

Lingkungannya? Jangan tanya, anak-anak kampung yang bermain di pelataran tanah lapang banyak yang tidak mengenakan alas kaki. Parahnya beberapa baju mereka terlihat dekil, kemungkinan sebagian besar menerima lungsuran \[2\] dari kakaknya, pamannya atau bahkan tetangganya.

"Jadi mengapa kamu mengambil sastra Indonesia?" Leandra senang berbicara dengan perempuan satu ini. Dia berkata dengan sederhana dan tak banyak ungkapan yang dilebih-lebihkan. Dia apa adanya. Dan hal tersebut menjadikan cara bicaranya mudah di pahami serta damai di dengar.

"Aku suka membaca, dulu aku punya rental buku di rumah, komik juga, Kadang kala mengayuh sepeda keliling kampung untuk merental buku, dan dapat uang jajan buat beli buku baru, sangat menyenangkan bukan?" Dia tertawa lagi. Matanya yang bulat indah itu berbinar.

'Tidak ada yang menyenangkan dari ceritanya,' batin Leandra, Leandra melihat kepala gadis itu miring ke kanan, Laras sedang berpikir.

"Kamu jurusan apa?" Ternyata Laras memikirkan kalimat tanya untuk Leandra.

Bukannya menjawab pemuda ini tertawa terbahak-bahak. Sedikit aneh. Leandra tertawa dalam kondisi yang tidak di duga lawan bicaranya.

"Hukum," Rasanya Leandra geli bukan main tiap kali harus menjelaskan jurusan apa yang dia ampu saat ini. Jurusan hukum ialah jurusan yang dia ambil dengan tujuan supaya tidak lolos. Secara kaku dan otoriter, keluarganya, --sebenarnya ayah dan kakeknya saja-- memintanya menjadi praktisi ekonomi.

Sesuatu yang menjemukan di dengar.

Tiap hari mereka membawa para guru ke rumah. Mengurung guru tersebut di dalam kamar bersamanya. Dan guru guru itu mengoceh layaknya public speaking yang sedang tampil di podium. Tatkala Leandra memilih tidur di atas ranjang tak memperdulikan merek.

Di hari H, hari pendaftaran. Pemuda ini memilih jurusan hukum untuk menghukum ekspektasi keluarga Baz yang banyak teori.

"Apakah hukum sangat lucu?" Ini pertanyaan Laras.

"Tak ada, tak ada yang lucu dan tak ada yang menarik," jawab Leandra.

"Lalu?? Kamu tertawa, tadi?" Alis Laras mengerut menatap pemuda unik tersebut.

"Aku mengingat wajah lucu seseorang yang ingin menghajarku, sebab aku diterima di jurusan hukum bukan ekonomi," wajah si perlente \[3\] dan hipokrit \[4\]. Perlente ialah istilah yang ada di benak Leandra kala pemuda ini mengingat sosok Hyuga Pratama, ayahnya. Dan Hipokrit, tentu saja itu ungkapan yang paling tepat untuk kakeknya. Lelaki yang memiliki hobi mengenakan celana pendek sekian inci dibawah lututnya.

"Andai waktu itu aku terpikir olehku Sastra Indonesia, mungkin aku akan memilih jurusan yang sama dengan mu, yaa..., Tak bisa di pungkiri aku pernah membaca, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Pemuda ini mengakhiri kalimatnya dengan puisi Sapardi Djoko Damono, dia menyuarakan dengan suara malas.

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada," mengejutkannya Laras melanjutkan penggalan puisi yang Leandra ujarkan.

"Aku tak yakin, kau tahu puisi itu," sekali lagi Laras menampilkan mata berbinar nya. Dia sama sekali tidak percaya pemuda senyentrik Leandra tahu susunan kata kata indah itu.

"Aku juga membaca," dia mengangkat bahunya jenaka, mengingat masa Sekolah menengah pertama yang luar biasa, sebab pemuda ini kala itu masih sosok yang penurut bukan pembangkang seperti sekarang, "Hujan di bulan Juni, cih!"

Laras tak suka dia mendecih di akhir.

"Buku prof Sapardi terbaik dari yang terindah," protes Laras.

"Akhir cerita menggantung! Aku tak suka sama sekali!!" Dia mencela bab terakhir buku spesial di mata Laras.

"Buku itu punya akhir yang realistis, bukan menggantung!"

"Bagaimanapun juga aku tak suka sesuatu yang tak jelas!" Kilah Leandra.

"Apakah di dunia ini ada sesuatu yang benar-benar gamblang (jelas)?" Pertanyaan yang membuat Leandra bungkam.

Laras mengingatkan kepergian seseorang, Hyuga Pratama si perlente sialan. Pria itu meninggalkannya seperti seorang ayah yang berurusan dengan balita. Mengalihkan fokus Leandra dengan liburan lalu ia menghilang tanpa jejak, tanpa sepatah kata. Tanpa pamitan yang berarti.

Hanya ungkapan sok bijak terkait : "Tanda pertama kedewasaan adalah tidak bereaksi terhadap ketidakdewasaan orang lain,"

Makan saja itu kata-kata! Batin Leandra mengingat secarik kertas yang diletakkan di atas ranjang tidurnya.

.

.

\[1\] Distraksi adalah bentuk ragam cakap ke-minggris dari kata distraction yang biasanya di indonesia-kan semena-mena dalam percakapan informal di ibukota menjadi (ke-/ter-) distract atau distraksi. Distraction berarti sesuatu yang mencegah seseorang dalam memberikan perhatian penuh kepada suatu hal tertentu. Secara sederhana, dalam bahasa Indonesia kata ini sepadan dengan gangguan atau pengalih perhatian.

\[2\] lungsuran ialah barang bekas pakai yang masih bisa di wariskan ke generasi berikutnya.

\[3\] Perlente ialah seseorang dengan kesan gagah (bagus, apik, tampan, rapi, necis); suka berpakaian rapi. Ayah Leandra hampir setiap saat berpakaian formal dengan jas dan kemeja. Bahkan saat ia berada di rumah mereka.

\[4\] hipokrit Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, hipokrit sama artinya dengan seseorang yang munafik. Mereka melakukan hal itu hanya untuk kesenangan semata tanpa memikirkan perasaan orang lain. Biasanya manusia hipokrit itu cenderung memiliki muka dua

.

.

_______________________

Hello sahabat, bantu saya dengan memberi komentar terbaik anda

Masukan pada perpustakaan

Peringatan! Jika buku ini berhenti update DM saya di Instagram

Sampai jumpa di hari yang indah

Nama Pena: dewisetyaningrat

IG & FB: @bluehadyan

Discord: bluehadyan#7481

avataravatar
Next chapter