16 Matanya Memikat

Leandra enggan keluar sampai dia merasa baik-baik saja. Denyutan di kepalanya seperti dentuman palu yang di ayunkan lelaki gempal salah satu anak buah si nyentrik Bazan.

Lelaki tua yang hobi mengenakan celana pendek beberapa inci dari lututnya tersebut kadang kala terngiang-ngiang di kepalanya. Saat Leandra merasa kepalanya berdenyut hebat.

Walaupun dia menyebalkan, kakeknya yang di panggil orang-orang dengan sebutan bos Baz atau opung Baz. Paling khawatir kala Leandra sakit kepala. Dia bakal menelepon sekelompok orang berbaju putih dan Leandra benci pria itu sering kali terlalu berlebih.

Sayangnya entah mengapa Leandra merasa dia butuh bahkan menginginkan fasilitas tersebut saat ini.

Untuk mengurangi sakit kepala hebatnya. Pemuda ini duduk di atas toilet duduk. Betapa dirinya luar biasa. Bisa bertahan di dalam toilet umum selama ini. Mungkin hari ini ialah rekor baginya.

Mencuci muka dan keluar dengan perasaan gamang. Dia terkejut sekaligus terketuk. Laras berdiri menempel tembok menatap pintu kamar mandi lelaki.

Leandra menoleh ke kanan dan ke kiri. Bisa jadi bukan dia yang membuat gadis bermata bulat menawan tersebut berada di sini.

Kenyataan Laras jalan mendekatinya, ekspresinya menunjukkan kekhawatiran yang bisa terbaca. Alisnya sedikit mengerut dan air mukanya melukiskan resah.

"Separah itukah efek oseng mercon?" Leandra menggeleng mendengar ungkapan Laras. Pasti gadis ini mengira Leandra sakit perut.

"Mbah Uti sudah dapat kamar, Alhamdulillah ibu sudah selesai mengurus administrasi, ibu sekarang... emm...," kalimat Laras terhenti, ia menoleh pada Leandra. Wajah pemuda itu merah.

"Ikut aku," membalik arah. Leandra tidak begitu mendengar kata-katanya sampai salah satu telapak tangan Laras meraih lengannya menuntun Leandra ikut dengannya. Sekali lagi caranya mirip guru membawa anak didiknya yang nakal menuju ruang BK.

Laras baru berhenti setelah ia memasuki sebuah tempat yang letaknya di sisi muka rumah sakit, Apotek.

Dia bersemangat ketika seorang petugas mendekatinya. "Resepnya?" Laras menggeleng.

"Keluarga pasien, bukan pasien Bu?"

"Butuh obat apa?" pertanyaan ini memandu Laras mengamati Leandra.

"sakit perut," kata Laras yakin.

"Bukan," Leandra menyela, "beri saya pereda migren (sakit kepala)!"

"kamu? Bukannya sakit perut," Laras berbisik, dia selalu memiringkan kepalanya ke kanan kala dia memikirkan sesuatu. Leandra menemukan kebiasaan gadis itu detik ini.

"Kepalaku, di sini," Leandra menunjuk pelipisnya, "masih berdenyut-denyut,"

Petugas menghilang, ketika kembali dia membawa obat. Tablet satu setrip di tangannya.

Secara spontan Laras mengeluarkan dompetnya. Dompet berukuran sepuluh kali sembilan centimeter berwarna coklat pudar.

Ingin rasanya Leandra membayar obatnya sendiri. Sayang sekali dia tidak mampu melakukannya saat ini. Lelaki berbulu mata lentik tersebut mengerjap menggulung penyesalan.

Dirinya di luar hari-hari pelariannya adalah sosok yang memiliki black card. Teman-teman serta siapa pun yang menjadi kekasihnya. Entah teman kencan sebulan, seminggu bahkan beberapa jam. Dia akan berperan sebagai ATM berjalan.

Sialnya di saat-saat genting seperti ini. Dirinya tidak bisa berbuat banyak.

Gadis itu membuka satu tablet dan menyodorkannya pada Leandra.

Ingin rasanya Leandra mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan menelan obat menggunakan air. Dia bisa menggunakan pisang.

Permintaan itu di telan dalam-dalam. Mana mungkin ia mampu meminta lebih pada dompet coklat pudar itu.

Meletakkan butiran obat di ujung tenggorokan. Leandra hampir muntah. Untungnya Laras cekatan menodongkan botol air mineral. Pemuda ini menghembus lelah saat dia berhasil menelan pil besar ke perutnya.

Mata mereka saling menatap sesaat.

Keduanya mengumbarkan senyum kecil di bibir.

"Kamu takut minum obat, ternyata," Laras bisa juga membuat sindiran.

"Aku tidak terbiasa minum obat," kilah Leandra.

Gadis itu tidak menanggapinya. Laras terlihat meraih sesuatu dari baju yang dia kenakan. Saku hem bermotif bunga kecil-kecil imut dan sesuatu tersembunyi di balik sweater kain ungu. Bajunya sederhana. Itu yang ada di benak Leandra.

Cewek-cewek yang dia kencani sering kali mengeluh tidak punya baju, padahal Leandra tahu gadis-gadis itu mengoleksi kumpulan sepatu tas apalagi baju.

"Sepertinya kami butuh ini," ikat rambut berwarna hitam. Mungil.

Leandra memungutnya dari telapak tangan gadis dengan Hem ungu bunga-bunga yang dalam benak Leandra motif bunganya ketinggalan sepuluh tahun dari mode fashion.

Leandra mengangkat bahunya dan mulai mengikat rambutnya.

"Terima kasih," kata yang jarang ia ucapkan untuk orang lain.

"Sama-sama,"

Matanya, gadis ini menarik sebab mata bulat besarnya dan entah bagaimana dia memiliki bulu mata renggang yang lentik memikat.

Lebih dari itu mungkin gerak geriknya yang tak banyak tingkah menjadikannya seperti sosok dengan kepribadian tenang.

"martin sebentar lagi sampai," Laras kembali berujar.

"begitu ya," balas leandra.

"nanti akan aku panggil ibu, kalau kalian ingin berpamitan," tambah Laras.

"tentu," Leandra merasa ia tak bisa memandang ke arah lain selain pada sosok di sampingnya, "apakah kita bisa melihat Mbah uti?" dia yang bicara mengharapkan dirinya bisa berjumpa dengan perempuan tua itu. Ingin memastikan nenek Laras baik-baik saja.

"hanya satu orang yang boleh berjaga di dalam,"

"Oh," Leandra lupa bahwa tempat rawat perempuan tua itu bukan ruang Vip. Kartu yang di gunakan untuk mengantre Bu Sumi kemungkinan tak lebih dari kelas dua. Atau bahkan kelas paling ekonomis.

"Semoga nanti kita bisa bertemu lagi," Leandra secara tulus berharap hal ini bisa terjadi.

Laras menggeleng. Namun tiba-tiba gelengan kepala tersebut ia ralat.

"Semoga," suaranya bergetar. Lebih terdengar seperti doa. Kala gadis tersebut mengiringi suaranya dengan embusan nafas.

"Kenapa?" Leandra terdorong untuk bertanya. Laras seperti menahan sesuatu. Gadis ini, sejak pertemuan di mobil Martin. Leandra merasa Laras sosok yang memiliki banyak rahasia dalam dirinya.

"Hem??" bukannya menjawab, Laras seolah pura-pura tidak tahu.

"Kenapa kamu tak yakin?"

"Yakin?" Laras menjawab pertanyaan dengan bertanya balik.

"Raut wajahmu tak bisa berbohong," desak Leandra, "kamu tak yakin kita akan bertemu lagi. Atau jangan-jangan aku terlalu merepotkan, jadi kamu merasa sial bertemu denganku?!"

"tidak... Bukan seperti itu...," Laras mengangkat tangannya dan telapak tangan bergerak-gerak ringan di depan dadanya. "bukan... Bukan karena kamu,"

"Lalu...??" Leandra menuntutnya. Menuntut Laras penjelasan.

"kemungkinan aku akan berhenti," dia bergetar lagi, ada nada yang tertahan-tahan, "aku putuskan aku berhenti..., Emm...,"

"Kuliah??" Leandra membuat dugaan dari kata yang di tahan-tahan oleh si mata memikat.

"kenapa?" Tahukah kalian beberapa orang di dunia sekitar kita kadang lupa batasan bertanya. Leandra sosok yang seperti itu. Dia penasaran, di barengi dengan kelemahannya dalam merasakan makna sensitivitas sosial. Pemuda ini bertanya sebelum berpikir.

"Ibu dan Mbah Uti membutuhkanku," gadis itu berkata dengan nada getir.

Dia menggigit bibirnya dan matanya naik ke atas mengerjap-ngerjap.

'kau ingin menangis,' bantin Leandra, pemuda ini menandai kebiasaan ini beberapa saat lalu kala Laras di tanya dokter endokrin.

"mungkin lain waktu aku bisa melanjutkannya, sayang, bukan untuk tahun ini,"

'dia menghibur diri,' batin Leandra, "kamu," mengamati Laras, "kau semester berapa?"

"empat,"

"kita bukan satu angkatan, pantas jarang lihat," Leandra satu tingkat di atas Laras.

"Jurusan?" kembali Leandra bertanya.

"Sastra Indonesia,"

.

.

_______________________

Hello sahabat, bantu saya dengan memberi komentar terbaik anda

Masukan pada perpustakaan

Peringatan! Jika buku ini berhenti update DM saya di Instagram

Sampai jumpa di hari yang indah

Nama Pena: dewisetyaningrat

IG & FB: @bluehadyan

Discord: bluehadyan#7481

avataravatar
Next chapter