18 Ketidakpastian

"Kamu benar, di dunia ini tidak ada sesuatu yang benar-benar jelas," bibir Leandra menggerutu lirih.

"Hidup, selalu lebih misterius dari apa yang kita pikirkan," Mungkin dikarenakan Leandra akhirnya tahu Laras adalah mahasiswa sastra Indonesia. Leandra membuat konklusi unik di kepalanya.

Menurut konklusi acak pemuda berambut panjang: Laras, baru saja memotret kehidupan lalu merangkainya menjadi satu bait indah.

Mereka kembali hening, menatap pelataran rumah sakit yang sepi, tak banyak aktifitas, semilir angin menerpa pepohonan dapat mereka rasakan. hawa sejuknya di siang ini bisa merasuk sanubari.

Leandra tentu tak tahu, bahwa di bagian belakang rumah sakit di kota yang terkesan tenang nan damai ini adalah hamparan sawah.

andai di zoom in, di lihat dari kejauhan hamparan sawah itu sedang hijau-hijaunya bulan ini. hamparan itu layaknya kasur tebal yang mendorong seseorang enggan pergi meninggalkan kesan keindahannya.

Dan hati kecil pemuda itu merajut harapan, terkait keinginannya mengunjungi kota ini suatu saat.

"kamu yakin?" tiba-tiba si pemilik rambut sebahu yang diikat naik keatas dengan tema man bun tersebut mempertanyakan sesuatu yang sempat menggetarkan hatinya beberapa saat lalu.

benarkah mereka tidak akan bertemu lagi sebab Laras memilih tidak melanjutkan studinya.

kini gadis itu menatap Leandra.

ada jejak bingung di wajah laras atas pertanyaan Leandra.

"jakarta tidak seindah dan sedamai tempat ini, tapi kamu bisa mempertaruhkan hidupmu di sana demi merubah keadaan,"

kalimat Leandra membuat Laras tersenyum getir, se-getir detik dimana dia menyadari dirinya berada di mobil sahabat pria yang menghancurkan kehidupan sederhananya. lalu pria itu pula yang menolong neneknya atas kelihaiannya berkendara, memacu mobil martin dengan kecepatan tinggi.

Dan detik ini, si sialan lendra, yang secara mengejutkan menjadi akrab dengan Laras mempertanyakan sesuatu yang memenuhi isi kelapa Laras tiga bulan terakhir.

"Kepastian adalah kemarin. Hari ini adalah penantian. Esok adalah ketidakpastian." Laras mengujarkan susunan kalimat yang menarik untuk didengar.

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu Leandra, itu terlalu sulit," Gadis itu memanggil namanya, laras memanggilnya dengan nama kedua kalinya selama perjumpaan mereka. "andai aku bisa memburu ketidakpastian tentang nasibku di hari esok, tentu aku bakal berlari secepat mungkin menangkapnya dan melakukan segala cara supaya dia memberitahu nasibku, segetir apapun hasilnya," ada bara api dalam kalimat si pemilik mata bulat menawan.

Yang tidak disadari Laras, lawan bicaranya melongo. otak pemuda itu tiba-tiba saja di penuhi banyak konsep awal mengapa dia melarikan diri dari keluarga Bazan.

labirin rumit pelariannya secara mengejutkan terurai oleh ungkapan gadis di sisinya. Dia harus mengejar ketidakpastian dari kepergian ayahnya. sepahit apapun hasilnya.

"Bip," saura telepon genggam berbunyi, pesan muncul pada layar handphone Laras.

"Sebentar lagi nana dan yang lain akan tiba," gadis itu bangkit dari duduknya.

"kamu mau kemana?" tanya leandra bangun dari duduknya mengikuti gerakan laras.

"menemui ibu,"

Walaupun leandra tahu dirinya mustahil untuk masuk ke dalam kamar inap mbah uti. Leandra memutuskan menemani laras. Mereka berjalan menelusuri lorong-lorong rumah sakit.

"bolehkah aku bertaruh denganmu?" laras menghentikan langkahnya mendengar deru desah kata-kata yang mengambang di udara sebelum menggetarkan telinganya, tapi otaknya gagal membuat pemahaman.

'taruhan apa,' Laras sekedar membatinya. tapi leandra entah bagaimana bisa menangkap kata tak terucap tersebut.

"Kalau aku bisa mengejar ketidakpastian dalam hidupku, bolehkah aku ikut campur pada ketidak pastian yang hadir di hidupmu?" Lendra menyentuh pergelangan tangan Laras, tindakan yang membuat laras tersentak. gadis ini menarik tangannya, membawa pergelangan tangannya untuk dipeluk.

laras tidak memberi Leandra jawaban, dia memberi pemuda itu tatapan.

tatapan bulat lebar yang menawan untuk diamati si lelaki metropolitan.

Tatapan polos, dengan sejuta tanda tanya di dalamnya.

Leandra suka cara gadis itu menaruh keraguan, dalam gerak geriknya, Laras bahkan meragukan dirinya.

Sepanjang yang pernah Leandra rasakan saat dia berinteraksi dengan pacar-pacarnya, para perempuan yang kalau dihitung jumlahnya bakal lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.

Leandra tidak pernah sekalipun di ragukan. para perempuan itu mempercayainya seratus persen. walaupun sejujurnya dia dikenal sebagai pria berlabel playboy sialan.

akan tetapi gadis itu, gadis yang bajunya ketinggalan fashion hampir sepuluh tahun kebelakang memberinya ekspresi yang berbeda.

laras bukan sekedar meragukannya, dia mengabaikan Leandra. membuka pintu teralis pembatas antara keluarga inti yang diizinkan masuk menemui pasien dan orang lain.

laras menutup pintu tersebut tanpa memberi leandra tatapan yang berarti.

"kata-kataku akan aku buktikan...," gadis yang berjalan meninggalkan pemuda di balik teralis besi teguh dengan langkahnya. dia tidak menoleh sama sekali.

kemungkinan besar dia menginginkan orang lain menganggap dirinya tidak mengenal pemuda yang berteriak itu.

"sungguh!" ungkapan terakhir ini Lendra ujarkan untuk dirinya sendiri sambil menggenggam erat pintu teralis berkarat, milik lorong kelas ekonomi. strata terendah dalam hirarki perawatan pasien di rumah sakit umum.

saat gadis itu kembali bersama ibunya, Leandra melihat perempuan berusia 50 tahun, berhem sederhana, berjalan cepat menuju ke arahnya. Entah bagaimana dia terlihat tergopoh-gopoh mendatangi Leandra, berbanding terbalik dengan ekspresi malas putrinya.

gadis itu tiga langkah di belakang bu sumi.

dan dia tidak lagi berminat menatap Leandra.

leandra tertawa jengkel, tawa yang dia simpan pada batinnya terdalam.

Laras menjadi sosok yang berbeda, dia kembali menjadi mbak kasir yang jutek.

ekspresi hangat di wajah beberapa menit lalu menghilang.

apakah kata-kata tulus yang tertuang di antara mereka tadi lah yang mendorong ke engganan Laras, sial sekali gadis itu sungguh-sungguh menganggapnya sebagai pemuda aneh.

"teman-temanmu sudah sampai," bu sumi beratnya pada leandra.

"mungkin sudah, bu," Leandra sedikit teralihkan dari ketegangan kosong yang terangkai antara dirinya dan Laras.

Leandra senang, bu sumi terlihat begitu bersemangat mengiringi langkah kakinya menuju pelataran rumah sakit.

Sayang seribu sayang, saat ketiganya sampai di pelataran rumah sakit asri ini, yang mereka dapati adalah kekacauan.

martin dengan rambutnya yang naik ke atas, awut-awutan, melompat dari bak pick up dan terjerembab di tanah. bergumul dengan debu. selain bu sumi, lek manto dan laras, lainnya menyadari sebuah keadaan berbahaya.

martin akan melunturkan pesona berkelasnya detik ini juga.

"Aaaarrrrggghhhh," dan terjadi sudah.

dia mengamuk karena bajunya, wajahnya, rambutnya kotor karena debu. lalu alerginya menyerang, calon dokter tersebut bersin-bersin, tak terkendali, sampai wajahnya merah merona. marah dan alergi menjadi satu kesatuan yang berbahaya.

tak ada yang berani mendekati Martin terutama teman-teman metropolitannya. Kecuali bu Sumi, perempuan dengan sanggul sederhana di kepala itu menepuk bahu martin menyerahkan tisu basah yang terselip di dalam tas kain sederhananya.

Martin mencabut beberapa helai untuk menghilangkan ingus di hidungnya.

"rene-rene, melu ibu…," martin masih bersin-bersin tatkala pemuda itu di tuntun bu sumi ke arah wastafel.

.

.

_______________________

Hello sahabat, bantu saya dengan memberi komentar terbaik anda

Masukan pada perpustakaan

Peringatan! Jika buku ini berhenti update DM saya di Instagram

Sampai jumpa di hari yang indah

Nama Pena: dewisetyaningrat

IG & FB: @bluehadyan

Discord: bluehadyan#7481

avataravatar
Next chapter