19 Indoktrinasi

Dalam upayanya menenangkan Martin yang uring-uringan seperti anak kecil. Bu sumi begitu mengagumkan, perempuan yang mengenakan rok sederhana berwarna abu-abu, bisa jadi usia rok itu setara dengan usia anak muda keturunan Tionghoa yang sedang dia ladeni kemarahannya. Sabar sekali mendengar celoteh rancau Martin.

"Ini gimana?"

"Rambutku? duuuh rambutku?" kalimat Martin yang kacau di iringi dengan bersin yang tak berkesudahan.

Dan Bu Sumi konsisten menjawab: "Sabar, sabar le..,"

Sebelum berhasil bertanya : apakah ada baju ganti di dalam tas? dan ia meminta izin mengeluarkan baju itu lalu beliau kembali menggiring martin ke suatu tempat yaitu kamar mandi umum milik rumah sakit.

adegan tersebut tak luput dari pengamatan Leandra, pemuda ini diam-diam terus mengamati Martin dan bu sumi dari kejauhan. Ia enggan membantu teman-temannya memindahkan barang mereka dari pick up lek manto ke mobil martin. termasuk membantu lek mato mengeluarkan titipan tetangga keluarga pasien dari pelosok kampung tersebut.

hingga Rio melempar salah satu benda, yang ternyata adalah tas pemuda itu sendiri, barulah Leandra terbangun dari pengamatannya.

bangun lalu memperhatikan perempuan lain, bukan habibah cantik yang berasal dari kampung arab kota metropolitan ke dua negara ini (Surabaya). Melainkan anak gadis bu Sumi.

Gadis itu tangkas menata barang-barang yang keluar dari mobil pick up lek manto. Dia seolah membaginya menjadi dua bagian yang sama. meletakkan benda-benda yang jumlahnya tak sedikit tersebut pada area yang memiliki kemungkinan kecil akan mengganggu pengunjung lain rumah sakit.

Leandra memanggul tasnya dan berjalan mendekat sejalan dengan pilihan yang lain untuk menunggu martin dengan duduk-duduk pada kursi panjang yang di sajikan rumah sakit.

ada sebuah pertanyaan yang sebenarnya menghantui isi kepala Leandra detik ini. Pertanyaan itu ingin rasanya Leandra ujarkan pada pemilik mata bulat yang acuh padanya.

'bagaimana rasanya memiliki seorang ibu seperti bu sumi?' dia menjadi kagum pada perempuan tua yang memiliki logat dan cara bicara yang memikat tersebut.

walaupun hampir semua kata-katanya menyulitkan untuk di pahami Leandra. akan tetapi perempuan tua berumur lima puluh tahunan tersebut sosok yang memenuhi segala ekspektasi Leandra akan gambaran seorang ibu, andai dia memilikinya.

Dan ketika bu sumi datang bersama martin, Leandra adalah orang pertama yang menoleh menelusuri jalannya dua manusia yang penampilannya jomplang seratus delapan puluh derajat.

Martin tinggi, tampan, putih bersih dengan bajunya fashionable khas pemuda ibu kota atau bahkan lebih dari itu, pria keturunan Tionghoa tampan ini kadang kala setara dengan gaya berbusana cover majalah Vogue [1]

Sedangkan bu Sumi, bukan hanya roknya yang di duga setara dengan usia Leandra. baju, termasuk apapun yang dikenakan bu Sumi, jelas sekali bukan bagian dari fashion abad dua puluh.

akan tetapi auranya, aura wanita tersebut luar biasa, dia lebih mendamaikan dari wanita manapun yang pernah Leandra temui.

Andai bu sumi terlahir sebagai sosok lain, misal ibu negara, Leandra yakin pesona perempuan tersebut bakal mengalahkan seluruh kharisma ibu negara yang pernah di miliki negara ini.

Dalam waktu singkat Martin si perfeksionis yang biasanya sulit dekat dengan orang baru, detik ini calon dokter tersebut sudah akrab saja, berjalan sambil berbincang-bincang dengan perempuan tua tersebut.

"Nduk, sampun?" (anakku, sudah?) Leandra mendengar perempuan tersebut bertanya pada putrinya.

gadis yang bisa jadi kecantikannya setara dengan masa muda bu Sumi, kecantikan langka khas lokal yang sesungguhnya, langka sebab tanpa polesan apa pun Laras tak bisa di katakan tak enak di pandang.

perempuan muda tersebut mengangguk dua kali pada ibunya. lalu laras mendekati Nana, membisikan sesuatu.

"Nggak usah, buat apa sih," suara Nana entah mengapa menjadi lengkingan yang menyakitkan bagi telinga Leandra.

Biasanya keceriwisan gadis arab ini dapat leandra maklumi, anehnya hari ini rasa maklum itu gagal bersemayam di benak Leandra, apakah hal tersebut dikarenakan dua hari terakhir, ia bertemu dengan oase di tengah Padang paris gersang terkait keindahan perempuan bertutur lembut.

Sok-sokan pemuda berambut man Bun ini menggelengkan kepalanya atas cara Nana bicara.

"Kita bisa beli makan di jalan nanti," tidak menghiraukan ocehan Nana.

Laras mengusung bungkusan-bungkusan yang dilapisi kain motif berwarna ngejreng, seperti kerudung segi empat, tapi lebih mirip taplak meja, menuju arah bagasi mobil Martin. Bukan hanya satu, dia memberi banyak sekali, berdesakan dengan tas dan barang bawaan anak metropolitan yang supel dan simple, kecuali Nana.

Koper pink dengan stiker yang menempel di mana-mana memakan banyak tempat.

Lek Manto yang sempat menghilang, muncul bersama botol air mineral berukuran jumbo empat biji. Sesuai jumlah anak muda yang bakal melanjutkan perjalanannya. Entah apa yang dipikirkan lek Manto ketika membelinya.

Apakah dia memikirkan sapinya yang super gemuk itu ketika membeli botol air mineral jumbo tersebut? Pertanyaan ini muncul di benak Rio, kala lek Manto menyerahkan botol itu kepada Rio. Pemuda dari kota malang ini tak yakin akan membawa zat cair berat tersebut sampai ke kota yang akan ia tuju.

Bayangkan saja membawa botol sebesar itu sembari berdiri di tepi jalan raya kota Tulungagung nanti, saat ia hendak menuju kampung halamannya.

Rio akan berpisah dengan teman-temannya di kota sebelah.

Hingga anak-anak itu masuk pada mobil Martin setelah pertikaian yang tak berdasar, sebab berlebihnya mereka memberi bekal perjalanan hanya untuk pergi ke kota berikutnya yang ketika memilih jalur tol baru Jombang - Surabaya bisa jadi tidak lebih dari empat jam saja dari kota kecil ini.

Leandra enggan meninggalkan pengamatannya pada sekelompok manusia udik yang baru dia kenal.

Bu Sumi melambaikan tangan tulus dan terlihat ia berkaca menatap anak-anak ibu kota teman putrinya.

Berbeda jauh dari Laras yang melambaikan tangan hanya kepada Nana, lalu dia menunduk dingin.

Sedangkan lek Manto berlari lalu menyabda dirinya menjadi tukang parkir dadakan, membantu Martin lolos dari pelataran rumah sakit yang di gapuranya bertuliskan Dr Soedomo.

Dari perpisahan itu, ada seseorang yang menahan nafasnya. Itu ialah pemuda berambut man Bun.

Isi kepalanya mendadak penuh dengan strategi mencari Hyugo pratama.

Selain itu sebuah Indoktrinasi baru muncul di benaknya. Ini tentang makna kemiskinan yang selama ini asing baginya. Kemiskinan yang menurut hematnya atau bisa jadi pola pikir sebagian besar penduduk bumi ialah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.

Membias dan lebur tiba-tiba. Gadis jutek menawan itu, mendadak tidak bisa dia katakan miskin, sebab pemuda ini iri luar biasa padanya, andai dia bisa bertukar, dia ingin berada di posisi Laras yang memiliki ibu bersahaja alih-alih menjalani hidup berlimpah versi orang lain ketika memandang hidupnya.

Kehidupan yang lebih gersang dari rumput merangas, rumput-rumput yang tertimpa kemarau panjang tampaknya terlalu bagus untuk menggambarkan apa yang di rasakan Leandra.

Dia merasa padang pasir dan panas menyengat itulah yang cocok sebagai simbol susana hidupnya. Jomplang sekali dengan keluarga kampung yang dia lambangkan sebagai oase.

.

.

[1] Vogue merupakan salah satu majalah mode dan gaya hidup yang berbasis di Amerika Serikat. Majalah ini terbit secara bulanan. Dan mulai diluncurkan di Inggris pada tahun 1916, kemudian dilanjutkan di Spanyol, Italia, dan Perancis berikutnya keseluruhan dunia, Vogue sudah mencapai kesuksesan besar sejak tahun 1920-an.

[2] Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.

.

.

***

Hello, bantu saya dengan memberi komentar terbaik anda

Masukan pada perpustakaan

Peringatan! Jika buku ini berhenti update DM saya di Instagram

Sampai jumpa di hari yang indah

Nama Pena: dewisetyaningrat

IG & FB: @bluehadyan

Discord: bluehadyan#7481

avataravatar
Next chapter