webnovel

Orang yang Terlupakan

"Jadi…kau akan benar-benar menjual gaun yang kuberikan?"

Mereka berdua saling menatap lama satu sama lain.

"Kau pikir aku ini apa? Tentu saja aku tidak mungkin menjualnya. Dasar," Maya mengalihkan pandangannya, malu.

"Apa kau pulang selamat hari itu?"

"Hem. Apa kau bisa tidur nyenyak malam itu?"

Nico tertegun dengan pertanyaan Maya.

-Flashback-

Saat membersihkan pakainnya dengan tisu di toilet restoran, Nico sempat termenung sesaat. Ia teringat Maya yang menunduk sedih ketika mendengar Tania mengatakan bahwa Maya tidak sepadan dengannya. Nico memegang kepalanya frustasi.

"Aku sudah menyakitinya," pikirnya. "Kenapa aku membawanya kemari sih?" Nico terus menarik tisu hingga tidak sadar tisunya habis.

Seorang pegawai laki-laki masuk dan berniat menggantinya dengan yang baru.

-Flashback End-

Nico teringat dengan pegawai laki-laki itu. Maya menyadari Nico yang tiba-tiba membeku seperti mengingat sesuatu.

"Ada apa?"

"Kau ingat pelayan yang menyajikan makanan waktu di restoran Italia?"

"Kenapa?"

"Aku merasa tidak asing dengan wajahnya."

"Apa kau mengenalinya?"

"Entahlah."

Maya naik bis malam dan sampai di area apartemennya. Sembari melangkah pelan ia melihat jadwal di memo ponselnya. Kerja part time dari jam 7 sampai jam 10 malam mulai besok, kegiatan klub olahraga rapat divisi bulu tangkis hari selasa, mengumpulkan tugas kelompok dan tugas mandiri, bayar sewa kamar minggu depan dan lain-lain.

"Bulan ini aku akan sangat sibuk. Harus siap-siap kelelahan, nih."

Tiba-tiba tanaman bunga yang cukup rimbun di halaman depan apartemen dekat tangga kecil menuju pintu utama, bergerak-gerak. Maya terhenti. Ditatapnya tanaman itu dengan intens.

Meow

Tiba-tiba seekor kucing liar melompat dari sana. Maya bernapas lega. Ia teringat dengan semak-semak dekat minimarket yang ia temui beberapa hari lalu. Teringat kembali dengan pria aneh yang mengeluarkan cahaya terang. Ia berusaha keras mengingat wajahnya yang menyeramkan. Lalu ia tersentak.

"Oh? Bukankah pria itu…pelayan yang ada di restoran Italia!"

***

Ella duduk sembari menikmati kopi bersama seseorang di kantin. Maya tengah mengantri di salah satu kedai untuk mengambil kopi. Ia melihat siluet Ella dari belakang. Karena ia cukup mencolok meskipun hanya dilihat dari belakang. Maya hendak menyapa namun ia melihatnya bersama seorang laki-laki. Ia melihatnya dengan seksama sembari menyipitkan mata. Saat laki-laki itu menoleh dan tersenyum ke arah Ella, maya kaget mengetahui siapa itu.

"Dia juga kuliah di sini?" batinnya. "Bisa-bisanya aku tidak tahu," gumamnya pelan sembari meninju kepalanya pelan. "Aku harus menjauh dari sana."

Maya berbalik arah, sayangnya dia menabrak seorang perempuan yang lebih tinggi darinya hingga membasahi baju perempuan itu dengan kopi dinginnya.

"Aduh! Jalan itu lihat-lihat! Apa kau buta?!" teriaknya hingga beberapa orang yang mejanya dekat sana menoleh, termasuk Ella.

"Bagaimana ini?" Maya panik. "Aku minta maaf. Aku tidak sengaja."

"Aishh dasar, ck ck ck ck" perempuan itu melihat Maya lalu tiba-tiba tersenyum mengoloknya. "Sepertinya aku yang harus minta maaf, aku tidak tahu kalau kakimu pendek, pssstt."

Beberapa orang yang berada di dekat sana terlihat menahan tawa. Maya memang sudah biasa kena body shaming di tempat umum. Tapi masalahnya, sekarang ada Ella dan seseorang yang menyebalkan bersamanya. Jika orang itu tahu dirinya membuat kekacauan rasanya hidupnya akan kacau.

"Maya?" panggil seseorang dari belakang.

Sejenak Maya membeku, itu adalah suara Ella. Perlahan ia menoleh ke belakang, sembari memejamkan mata. Ia sudah pasrah.

"Jadi beneran Maya yang itu?" seorang pria yang bersama Ella adalah mantan Maya, Jeffry. "Tadinya saat Ella memanggilmu, kukira bukan Maya yang itu," ia tersenyum mengolok. "Ternyata kau."

"Kau mengenalnya?" tanya Ella pada Jeffry.

"Aku hampir saja melupakannya. Dia ini man…"

"Aku akan mengganti biaya laundry-nya," kata seseorang tiba-tiba pada perempuan yang bajunya basah karena kopi.

"Baiklah. Aku akan mengirim rekeningku," kata perempuan itu lembut saking terpananya melihat pria tampan. Padahal sebelumnya ia marah-marah pada Maya. "Bukankah kau anak dari dekan I?" tanyanya penasaran.

"Sepertinya kau salah orang," ia mengengeh.

"Senior?" Maya terkejut.

Ternyata itu adalah Nico. Seniornya meminta nomor rekening perempuan tadi, setelahnya perempuan itu pun pergi.

"Anak dari dekan kenal dengan Maya?" batin Olla. Ia sedikit iri, wajahnya mengkerut. Namun ia kembali berekspresi biasa. "Bagaimana kau kenal Jeffry, May?"

"Aku tidak mengenalnya," kata Jeffry tiba-tiba.

Maya tidak percaya. Ia kira Jeffry hanya tidak menyukainya, ternyata lebih dari itu. Mantannya yang menyebalkan itu ternyata sungguh-sungguh membencinya. Sekarang dia bahkan mencemoohnya dengan tertawa sinis. Namun Maya tidak boleh lemah, atau ia yang akan kalah.

"Siapa yang bilang aku mengenalnya, El? Aku malah penasaran. Apa dia pacar barumu?" balas Maya.

"Dia…" Ella ragu menjawabnya.

"Benar. Kami baru pacaran tadi pagi." Jeffry merangkul bahu Ella. "Ella adalah tipeku. Cantik, tinggi, modis."

"Kau dan Kak Nico…" Ella menebak-nebak.

"Kami juga baru pacaran tadi pagi," kata Nico yang cepat tanggap dengan keadaan. Ia membalasnya sembari merangkul bahu Maya.

"Ha?!" teriak Maya dalam hati. "Apa boleh berbohong begini? Kenapa Nico mudah sekali sih, berbohong tentang pacaran?"

Nampak dari kejauhan Tian tengah duduk dengan Olla dan teman-temannya dari klub olahraga di meja sudut. Ia memperhatikan drama yang terjadi di depan kedai. Tempatnya agak jauh dari tempat mereka. Tapi ia mengetahui bahwa ada beberapa orang yang dikenalnya termasuk Maya.

"Apa mereka sedang syuting film?" Tian menyeruput jus jeruknya dengan santai sembari menonton.

Seseorang yang asing juga tengah menonton dari dalam kedai, dia adalah pria yang sama dengan pelayan yang ada di restoran italia.

***

"Aku sudah menyerah, menyerah, menyerah! Untuk apa sih sebenarnya drama tadi? Kenapa bisa aku ada di sana? Harusnya tadi aku tidak ke kantin! Arrggghh sial sial siaaaaal!" teriak Maya dalam hati sembari melamun.

"Woy Maya!" panggil Ella yang duduk di sampingnya.

Maya tersentak kaget. Ia tersadar berada di tengah rapat.

"Nanti dimarahi kalau kau melamun," bisik Ella. "Sepertinya hari ini kita mulai latihan. Fokus."

"Ah iya iya. Makasih Ella." Maya mengengeh.

"Rapat kita hari ini terpisah dengan rapat divisi lainnya ya. Divisi sepak bola, voli, tenis, basket, karate dan bulu tangkis. Total anggota baru di divisi ini jumlahnya ada 4. Kebetulan aku yang sampai di sini duluan, tapi sebenarnya ada banyak senior yang ikut kok. Kalian pasti bosan lihat aku sejak kemarin," Kak Olla mencairkan suasana.

"Tidak kok, Kak." mereka tertawa kecil.

Kemudian datang seorang berperawakan tinggi. Dia memakai kaus dalam dan berkeringat sembari minum air mineral botol. Kulitnya yang agak gelap membuatnya tampak maskulin. Benar-benar pria.

"Perkenalkan semuanya," sapanya. Suaranya berat dan basah. "Aku Rimba. Tapi aku tidak hidup di rimba, ya meskipun tubuhku besar begini, hehe."

Anak-anak yang lain tertawa kecil menanggapi guyonannya.

"Tinggiku 183 cm. Kata orang usia diatas 20 tidak bisa tambah tinggi. Tapi kurasa setiap orang berbeda. Ada yang masih bisa tambah tinggi ada yang tidak bisa. Jadi percaya dirilah meskipun ada yang pendek."

"Kok tiba-tiba bahas tinggi badan, sih," gerutu Maya dalam hati.

"Tinggi badan tidak masalah," sahut Tian tiba-tiba. "Yang penting mereka konsisten dan tidak keluar dari divisi."

"Senior Tian juga ikut divisi ini?! Mati aku!" Maya menjerit dalam hati.

"Jadi akan ada 4 senior yang akan membimbing kalian. Setiap tahun ada turnamen antar kampus. Yang minat boleh ikut, nanti kalian bisa latihan bersama senior," kata kak Olla. "Oh ada satu lagi. Namanya Kak Bayu, tapi dia masih ada kelas sekarang."

"Kita tidak perlu kenalan kan? Aku kemarin hadir di rapat kelompok," kata Tian. "Kalian yang nurut sama Kak Olla. Dia ini tahun lalu menjabat sebagai ketua klub. Sekarang sudah lengser jadi ketua divisi."

"Lengser apa? Setelah jadi ketua, jadi ketua lagi? Hemmm." canda Rimba.

Kak Olla hanya tersenyum malu.

"Pantas saja dia terlihat berwibawa, ya," bisik Ella pada Maya.

"Sayangnya kalau di total jumlah kita cuma 7 sekarang," kata Rimba.

"Sebenarnya ada banyak senior. Hanya saja mereka sering absen. Jadi kalau kalian latihan, mungkin akan sering melihat kami bertiga di sini. Kalau kalian pernah lihat yang pakai kacamata dan jarang ngomong, nah dia Kak Bayu. Tapi dia tidak sekaku Kak Tian, sih," canda Olla. Ia melirik Tian.

"Apa-apaan kau Olla. Cih," Tian meninju lengan Olla pelan. Semua orang tertawa di sana.

Maya melihat kedekatan mereka dan bergumam, "Apa mereka pacaran? Yah bukan urusanku juga, sih."

Untuk sekarang kita pemanasan dan latihan gerakan dasar dulu. Meskipun ada diantara kalian yang sudah bisa cara bermainnya, tapi kita akan mulai dari dasar untuk melihat kemampuan kalian. Jadi kita bisa menjadwalkan latihan untuk turnamen, maksudku bagi yang tertarik," kata Olla.

"Kalian kalau mau ganti baju olahraga silahkan ya. Kita latihan sampai jam 5," sambung Rimba. "Aku langsung ke lapangan indoor. Yang lain nanti menyusul bersama senior. Aku akan mempersiapkan peralatannnya dulu."

Karena Rimba sudah memakai baju olahraga dari tadi, ia langsung menuju lapangan.

"Anu Kak Olla," Maya mendekati Olla.

"Iya May kenapa?"

"Jumlah kita kan ganjil, jadi…"

"Oh itu. Tidak usah khawatir. Paling Kak Tian yang tidak main. Dia biasanya cuma ganti baju dan duduk di stadion."

"Oh begitu. Oke oke." Maya khawatir menjadi member yang terlupakan di tim.

Di lapangan, anak-anak yang lain tengah bersiap. Ia melihat Olla yang mengenakan kaus string dan celanan pendek. Bahkan hanya mengenakan baju olahraga yang biasapun ia tetap cantik. Dua orang anggota baru pun berebut berpasangan dengannya. Maya sendiri mengenakan rok mini dengan celana shot pendek di dalam dan kaus lengan pendek. Ia berjongkok mengambil peralatan yang telah disiapkan di keranjang. Namun karena rambutnya yang panjang, ia jadi terganggu. Maya berdiri tegak dan menguncirnya menjadi pony tail.

Dari sudut, Tian memperhatikan Maya yang tengah menata rambut dengan wajah datar. Tiba-tiba ia mendekat menghampirinya.

"Kau main dengan siapa?"

"Entahlah. Dengan siapa saja tidak masalah," Maya tersenyum simpul.

"Kalau begitu kau berpasangan denganku sore ini."