webnovel

Anti Romantic

"Atau…pergi kencan buta lagi?"

Nico terdiam.

Mereka berdua saling bertatapan lama. Maya melihat sorot mata Nico yang berubah sayu.

"Itu…"

"Tidak apa-apa. Kalau kau butuh pacar palsu. Aku bisa membantumu seperti kemarin." Maya tersenyum lebar, ia berusaha mengubah suasana.

"Dasar kau! Bilang saja ingin makan gratis di restoran mahal." Nico mengacak rambut Maya.

Maya mengengeh.

-Flashback-

Suatu pagi, sebelum pindah ke apartemen baru, seseorang mengetuk pintu Maya. Awalnya diketuk pelan, lama kelaman suara ketukan itu semakin keras dan cepat.

Tok tok tok tok tok tok

"Maya! Maya! Bangun May!"

"Siapa yang datang sepagi ini, sih?" Maya menggeliat di atas ranjang.

Ia menggaruk-garuk rambutnya yang terurai acak-acakan. Maya melangkah malas ke depan pintu dan membukanya sembari menguap lebar. Betapa terkejutnya ia mendapati Nico berdiri di sana dengan senyuman lebar, hingga sederatan giginya yang putih menyilaukan matanya dipagi hari.

"Ada apa?" Maya tak menghiraukannya dan asyik menguap sambil menggaruk tengkuknya. Matanya menyipit seolah ia akan tidur lagi. Hari libur kan memang saatnya tidur.

"Apa kau ini benar-benar gadis? Ada seorang pria tampan berdiri di depan pintu tapi yang kau lakukan..." Nico mendecakkan lidah sambil menggeleng. "Sekarang aku paham kenapa kau tidak punya pacar.'

"Ya sudah cepat beritahu kau mau ap... Eh?"

Tanpa menunggu aba-aba, ditariknya lengan Maya dengan cepat. Ia membawa Maya masuk ke dalam mobil Ferrari merah dan mendudukkanya. Maya bingung apa yang baru saja terjadi, nyawanya masih mengawang. Ia menatap Nico yang duduk di sampingnya, di depan kemudi.

"Ada apa ini?" Maya mengucek matanya, ia panik. "Kau mau menculikku?"

"Aku tidak punya pilihan. Aku tidak kipikiran siapapun selain kau."

Nico menghidupkan mobilnya, kemudian melaju menuju suatu tempat.

"Apa yang akan kau lakukan padaku?" Maya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Dasar bodoh. Aku sedang memberimu pekerjaan."

"Ha?"

"Meskipun aku tidak yakin dia akan menganggapmu pacarku, sih."

"Sebenarnya kita ini mau kemana?"

"Jadilah pacar sewaanku sehari ini saja."

Maya berpikir sejenak. "Bukannya orang sering salah paham aku ini adikmu, ya?"

"Ya…itu…bagaimana lagi? Aku tidak kepikiran orang lain selain kau."

Maya mendecih "Apa dia sudah gila? Memaksa keluar gadis yang baru saja bangun tidur. Rambut acak-acakan, wajah kusut, ditambah lagi aku cuma pakai jaket dan celana training. Sangat memalukan," gerutunya dalam hati.

Ternyata Nico membawanya ke mall pribadi milik keluarganya. Ia meminta pegawai perempuan di sana untuk mencari gaun cantik untuk Maya.

"Sepertinya dia terlalu pendek untuk jadi pacar Tuan Muda Nico," bisik pegawai satu dengan yang lain.

Maya merasa tidak percaya diri. Ia menarik ujung baju Nico sembari menunduk.

"Kau pikir ini film, huh? Memang ada gaun bagus yang cocok denganku. Kurasa mereka akan kesulitan cari ukuranku," bisiknya

Nico mengerti. Ia mengangguk. "Tidak usah khawatir," ia balik membisik.

"Carikan gaun yang sesuai ukurannya. Gaun yang cantik, pas dan nyaman," perintah Nico pada pegawainya.

"Baik, Tuan."

Maya mencoba beberapa gaun, ia jatuh hati dengan gaun merah muda manis yang feminim dan high heels berwarna bening bak Cinderella.

"Wah," Maya memegang kedua pipinya sembari menatap drinya di cermin. Gaun yang memperlihatkan bahunya yang putih itu terlalu cantik untuknya. "Senior, apa kau perlu melakukan ini? Aku merasa hutangku jadi tambah banyak."

Nico terpana sesaat, namun ia segera mengendalikan ekspresinya. "Kau pakai yang mana saja sih cocok. Ayo bergegas," Nico melihat jam ditangannya. "Kita akan menghadiri acara penting."

Mereka sampai di sebuah restoran italia yang mewah. Mereka berdua masuk ke dalam. Nico melihat Maya yang terdiam di depan pintu utama.

"Setelah kupikir-pikir ini sepertinya berlebihan."

"Jangan khawatir. Anggap saja ini pekerjaan."

"Tapi kita kan membohonginya."

"Kau sudah masuk ladang ranjau. Kalau keluar tetap tidak akan selamat."

"Cih."

Hawa dingin menusuk ke kulit tipis Maya, masuk diantara sela-sela gaun pendek yang ia kenakan. Angin berhembus melewati udara di sekitarnya. Mengibaskan beberapa helai rambutnya yang terurai. Sebenarnya ia tidak nyaman berpakaian terbuka, apalagi memperlihatkan bahu dan pahanya, tetapi Nico bilang itu cocok dengannya. Dia jadi terlihat seperti orang kaya betulan.

Tidak ada yang perlu dipikirkan. Kencan buta ini pasti berjalan lancar. Maya agak gugup. Ia menenangkan dirinya sendiri. Tas yang dibawanya lumayan ringan. Tetapi entah kenapa lengannya hampir putus. Meskipun berusaha tidak gugup, tetap saja tubuhnya bereaksi seperti itu.

Maya duduk di samping Nico, sedang teman kencan butanya duduk di depan Nico. Mereka berdua bertatapan sangat lama. Wanita itu nampak tenang melihat kehadiran Maya, namun terlihat jelas kalau dia tidak senang.

"Serius? Kau bawa adikmu di acara kencan buta?"

"Coba lihat baik-baik," Nico merangkul bahu Maya mesra. "Apa dia terlihat seperti adikku?"

"Maksdumu kau bawa wanita lain di acara seperti ini?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

Perempuan itu adalah putri kenalan ayahnya, namanya Tania. Dia tinggi dan langsing, mirip artis. Gaunnya berwarna merah terang, sepatu, tas semua barang yang dibawanya adalah barang branded asli. Wajahnya terlihat garang dan judes, sedang Maya kebalikannya. Dengan vibe imut dan gaun manis, ia terlihat seperti adik perempuan idaman semua laki-laki.

"Aku tahu kau malas datang ke acara seperti ini, tapi…" Tania melihat penampilan Maya dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Bukankah ini menghinaku?"

"Ayahku tahu kalau ayahmu menyukai wanita sepertiku sebagai menantu. Dan satu lagi, jangan pikir aku datang karena menyukaimu. Aku datang karena menghargai ayahku yang beteman dengan ayahmu. Ternyata ini diluar ekspektasiku, kau bahkan menyewa gadis antah berantah ini untuk mengusirku. Bukankah kau sedang merendahkanku?!" Tania menyilangkan lengan depan dada, seolah menginterogasi.

Awalnya Tania berbicara tenang, namun ia akhirnya tidak bisa menahan emosinya. Ia membatalkan kencan dengan pacarnya di hari minggu demi menghargai ayahnya. Tapi yang dia terima adalah penghinaan.

"Anu… bukan begitu," Maya merasa tidak nyaman. Ternyata ini tidak semudah yang dilakukan seperti yang di film-film. Teman kencan Nico ternyata sudah bisa menebak sandiwara ini.

"Tolong diam sebentar. Kau tidak perlu berbicara apapun. Aku tidak marah denganmu," kata Tania pada Maya dengan tegas. Ia lalu menoleh pada Nico. "Dan untuk kau, cobalah sewa wanita yang lebih sepadan denganku. Br*ngsek!"

Tania mengangkat gelas minumannya, ia mengguyur jas Nico perlahan dari bahu atas hingga mengalir ke bawah. Kemeja yang Nico kenakan basah kuyup, namun ia diam tak bereaksi. Sepertinya salah besar menganggap anak kenalan ayahnya adalah wanita biasa. Tania meletakkan gelas itu dengan tenang di meja. Seolah dia sudah ahli menangani situasi ini sebelumnya. Nico membisu sembari menatap serius Tania, diam tak berusaha melawan.

"Astaga!" teriak Maya sembari menutup mulutnya. Ia bingung harus melakukan apa.

"Kalau sudah puas, pergilah," ujar Nico dingin.

Tania tersenyum sinis mencibirnya, sesaat kemudian ia melenggang pergi.

Maya melihat Nico yang terdiam menunduk. Tangannya mengepal, wajahnya menyeramkan. Sangat berbeda dengan sikapnya yang selalu konyol seperti biasanya.

"Se…senior," Maya ingin menepuk punggungnya, namun ia ragu. "Ma…maaf, Senior. Andai aku sepadan dengan wanita tadi pasti kau tidak akan dipermalukan seperti ini. Aku minta ma…"

"Berhenti. Berhenti minta maaf," Nico menoleh dan tersenyum. "Aku yang harusnya minta maaf karena membuatmu terlibat hal seperti ini."

Maya menunduk merasa bersalah.

"Tapi dia memang benar. Harusnya tadi kau bawa wanita sepadan yang sempurna seperti…"

"Sudahlah, haha," tawa Senior menggelegar, ia kembali santai. Maya terkejut mendengarnya."Tidak usah dipikirkan. Mumpung kita di sini ayo kita makan. Aku akan mentraktirmu tenang saja. Tunggu sebentar ya, aku akan ke membersihkan pakaianku dulu di toilet. Pesanlah apapun yang kau mau."

Nico berjalan ke arah lain. Sedang Maya duduk sembari menunduk, bahunya turun dan lemas. Ia merasa bersalah, merasa buruk dan merasa gagal. Ingin marah, sedih, menyesal, emosinya campur aduk. Ia juga tidak tega melihat seniornya yang menyedihkan.

-Flashback end-

Nico dan Maya makan malam di restoran dekat kampus. Mereka berdua teringat dengan kisah kencan buta yang berakhir memalukan itu beberapa minggu yang lalu.

"Sepertinya aku akan menjual gaun dan sepatu yang kau belikan untukku," kata Maya tiba-tiba sembari menyeruput es teh.

Nico batuk-batuk. "Apa?"

"Kenapa kaget sampai seperti itu?"

"Wah…aku tahu kau mata duitan tapi bukankah kau terlalu mata duitan?"

"Kata-kata macam itu?" Maya tertawa.

"Yah maksudku…."

"Karena itu barang mahal, sepertinya bisa melunasi setengah dari hutangku, haha."

Nico menggeleng tidak percaya dengan pikiran licik Maya. Tiba-tiba ia bertanya dengan serius.

"Jadi…kau akan benar-benar menjual gaun yang kuberikan?"

Maya terdiam. Mereka berdua saling menatap lama satu sama lain.