webnovel

Latihan

Para anggota mendengarkan arahan dari Rimba. Rimba adalah salah satu senior yang pernah mengikuti olimpiade nasional di ibukota. Ia juga pernah memenangi beberapa kali, biasanya dirinya dipanggil untuk memberikan seminar dan acara motivasi di kampus. Bisa dibilang orang yang sibuk, namun ia menyempatkan datang di klub olahraga, karena klub itulah yang membesarkan namanya.

"Aku biasanya sangat pemilih untuk datang ke acara, tapi untuk membantu latihan junior-juniorku kalian tidak perlu khawatir. Klub olahraga adalah privilage (istimewa)"

Yang lainnya menanggapi dengan tersenyum lebar. Olla dan Tian cuma geleng-geleng. Dua laki-laki yang duduk di samping Olla adalah Joe dan Aldi, member baru. Mereka berdua bersiul-siul menghebohkan suasana.

"Selain keahliannya di bidang bulu tangkis, keahliannya yang lain adalah membual dan omong kosong, ck ck ck ck." Tian menyipitkan matanya.

"Karena anggota barunya tidak banyak, kurasa akan lebih mudah diatur. Aku harap kalian betah di divisi ini."

Kak Rimba melanjutkan memberi arahan dasar. Setelahnya, mereka melakukan pemanasan bersama selama 15 menit. Lalu berpencar dan mulai latihan. Ella dengan Aldi, salah satu member baru. Rimba dengan Ella. Maya dengan Joe. Sedangkan Tian cuma di sudut main ponsel, sesekali ia memantau member baru dan memberi arahan bagaimana mengalahkan senior mereka.

"Kalian harus menganggap senior adalah rival kalian, jika ingin menang," kata Tian.

"Hari ini kita latihan biasa saja. Bermain dengan enjoy," sahut Olla.

"Sepertinya kau cocok denganku," kata Rimba pada Ella. "Postur tubuhmu tinggi dan pas. Apa kau model?" tebaknya.

Para anggota melihat interaksi keduanya. Ella hanya tersenyum malu.

"Andai aku berpasangan dengannya," kata Joe pada Aldi, wajahnya suram. Keduanya memang berharap bermain dengan Ella.

"Apa kau baik-baik saja memegang raket? Tanganmu bisa merah-merah lho?" Rimba sedikit khawatir.

"Aku tidak selalu modelling kok, itu hanya hobi dan jika ada tawaran saja," jawab Ella.

Rimba berdehem. Ia lalu melirik Maya.

"Itu…siapa namamu tadi?" ia menunjuk Maya yang berdiri di samping net membawa shuttlekok.

"Eh aku Maya, Kak."

"Olla, kau pasangan dengan Maya saja. Joe terlalu tinggi. Aku khawatir dia kesulitan."

"Aku tidak apa-apa kok," Maya menggeleng meyakinkan bahwa dia baik-baik saja dengan itu.

"Ah iya," Olla menepuk jidatnya. "Maafkan aku ya May. Aku benar-benar lupa kalau ada member chibi diantara kita, hehe."

Mereka melanjutkan latihan setelah Olla dan Joe bertukar tempat.

Joe sendiri makin kesal tapi ya bagaimana lagi, ia menahannya.

"Kenapa juga kita harus dipasangkan?!" Joe dan Aldi meratapi nasib mereka yang malah dipasangkan.

Para anggota akhirnya bermain. Kak Rimba yang paling banyak memberi arahan. Sesekali ia juga memberi saran untuk Joe dan Aldi. Sedang Maya lumayan lega karena kak Olla sangat ramah dan santai namun juga tegas disaat yang bersamaan. Sangat nyaman dan menyenangkan bermain dengannya. Namun belum sampai 15 menit, Olla berhenti dari permainan.

"Olla! Ini ada yang nelpon, nih!" teriak Tian.

Olla berhenti bermain dan berlari mengambil tasnya di samping Tian. Tas para member ada yang ditaruh di loker basecamp ada juga yang dibawa seperti Olla. Karena ia cukup sibuk, biasanya memang ada yang menghubunginya setiap saat.

"Halo." Olla mengangkat teleponnya. Ia hanya manggut-manggut dan mendengarkan. Setelah itu ia mengakhirinya dengan cepat.

"Dasar orang sibuk. Pasti rapat lagi," ujar Tian.

"Aduh aku lupa ada pertemuan dengan mahasiswa baru di Fakultas Bisnis. Kau main sana sama Maya. Aku harus pergi, nih."

"Kau tidak lihat aku sibuk?"

Olla melirik layar ponsel Tian. "Mabar? Dasar tidak berguna," ia mendecih.

"Apa kita istirahat dulu, Kak?" tanya Maya yang menghampiri mereka berdua.

"Anu…begini, May. Aku baru ingat ada jadwal lain dan harus pergi. Maafkan aku Maya."

"Tidak apa-apa, deh. Kalau begitu kau cepatlah kesana, Kak sebelum terlambat."

"Aku benar-benar minta maaf. Aku pergi dulu ya." Olla berlari meninggalkan lapangan.

Maya menaruh raket di troli, ia juga membawanya ke sudut lapangan agar tidak mengganggu. Sesekali diliriknya Tian, namun seniornya yang satu itu sibuk main game di ponselnya, padahal memakai baju olahraga.

Tian melirik Maya yang jongkok di sudut lapangan, ia melihatnya merapikan raket-raket di troli. Dari belakang Maya benar-benar terlihat kecil dan chibi. Tapi saat bermain tadi, gerakannya cukup bagus, permainannya juga lumayan, otot tangannya kuat saat bermain. Ia lalu melihat Ella. Anak itu agak kesulitan melihat arah datanganya shuttlekok, Rimba berkali-kali membantunya untuk fokus. Tian mematikan ponselnya dan menaruhnya di tas kecil miliknya. Ia menghampiri Maya.

"Kau main dengan siapa?" tanya Tian

Maya sedikit kaget, namun dia meneruskan merapikan raket-raket itu. "Entahlah. Dengan siapa saja tidak masalah," ia tersenyum simpul.

"Kalau begitu kau berpasangan denganku sore ini."

"Senor yakin mau main denganku?"

"Kenapa? Kau tidak percaya diri karena aku terlalu tinggi?"

"Sepertinya kau meremehkanku," canda Maya, ia masih tidak melihat Tian dan membereskan raket.

Tiba-tiba Tian memegang pergelangan tangannya hingga juniornya itu terkejut. Maya sendiri sekarang tidak terlalu heran mendapati wajah Tian yang kaku. Biasanya dia memang berekspresi seperti itu setiap saat.

"Berhenti merapikan raket. Ayo main serius," kata Tian. Ia baru melepaskan tangan Maya beberapa saat kemudian.

"Main serius? Bukannya kita masih bermain dasar-dasarnya, ya?"

"Tadi aku memperhatikan cara bermainmu. Sepertinya kau cukup mahir."

"Baiklah kalau begitu." Maya tersenyum lebar.

"Sepertinya kau akan kewalahan. Tinggi badan kita beda jauh. Siap-siap."

"Benarkah?" Maya memegang puncak kepalanya, lalu berdiri di samping Tian sembari mengukurnya dengan telapak tangan. "Setidaknya kau tidak lebih tinggi dari Kak Rimba," Maya mengengeh.

"Ehem! Aku ini 180, cuma berjarak 5 senti dari Rimba." Tian agak kesal.

Maya menahan tawanya. Tian menyadari Maya yang mengoloknya.

"Ada apa dengan si chibi ini, sih? Dari tadi senyum terus seperti itu. Bikin kesel saja," batin Tian. Mendadak ia mengingat majalah yang mengulas tentang gadis pendek milik Dion.

'Gadis pendek adalah gadis yang ceria dan mudah tertawa karena hal-hal kecil. Dia bertingkah imut dan manis tanpa kalian sadari. Dan pesonanya semakin lama menjadi semakin unik, membuatmu semakin tertarik mesi kau mengelak. Jari-jarinya yang kecil akan ia gunakan untuk menutupi mulutnya saat tertawa lebar. Benar-benar jari yang sayang jika tidak kau genggam. Tangan termungil lucu yang membuat dirimu perlahan jatuh hati.'

"Senior wajahmu lucu sekali, haha." Maya tertawa kecil sembari menutup mulutnya.

Tian tidak percaya gadis di hadapannya ini bertingkah persis seperti yang ada di majalah laknat itu. Itu bahkan bukan panduan. Siapa sih yang iseng nulis begituan? Tian terpana melihat Maya.

"Apa tidak berat memegang raket?" tanya Tian tiba-tiba.

Maya sadar Tian melihat jari-jarinya. Ia lalu mengangkat telapak tangannya dan menunjukkannya pada seniornya yang tinggi itu. Sepertinya dia penasaran.

"Apa karena tanganku kecil?"

"Telapak tanganmu tidak sakit?"

"Pasti enak memiliki telapak tangan yang besar dan lebar sepertimu. Beruntung sekali orang yang tinggi," bahu Maya turun, ia sedikit iri.

Tian melihatnya menunduk sembari melihat telapak tangan putihnya yang kecil. Tiba-tiba ia meraih tangan mungil itu dan menaruhnya di atas punggung telapak tangan miliknya.