webnovel

The Little Finger

"Kenapa bisa ada tangan kecil imut seperti ini di dunia orang dewasa?" gumamnya pelan.

"Eh apa? Apa Senior?"

"Tidak, tidak." Tian melepaskan tangan Maya.

"Karena aku kecil dan pendek orang-orang sering meremehkanku, menganggapku lemah dan target yang enteng," Maya menunduk sedih, ia mengingat kembali pengalaman-pengalaman di masa lalu saat dia diejek beberapa temannya sendiri. "Tapi tidak apa-apa. Memang kenyataannya kan aku kecil, hehe"

Maya kembali mengengeh, Tian menatapnya, entah apa yang ada di pikirannya.

"Kalau begitu…jika ada barang yang perlu kau angkat di kamarmu, panggil saja aku," kata Tian. Ia lalu menunduk sedikit dan membisik di telinga Maya. "Tapi jangan sampai member lain dan anggota klub tahu kita tetanggaan, ya."

"Oke," Maya balas membisikinya. Ia mengengeh sementara senior masih berwajah datar seperti biasa.

***

"Kau tadi berbincang apa dengan Maya? Sepertinya menyenangkan, aku melihatmu tersenyum tadi?" tanya Rimba. Keduanya duduk di kursi penonton sembari minum air.

"Ha? Aku? Tersenyum? Kapan?" Tian mengalihkan pandangan.

"Kukira tipemu yang seperti Ella."

"Memang Ella seperti apa?"

"Dia kan model, jadi…"

"Apa kau baru saja body shaming pada juniormu sendiri?"

"Ha? Kau tahu kan maksudku bukan itu."

"Aku tahu, aku paham."

"Kenapa kau tidak bisa bercanda sih. Cih!"

Rimba berdiri meninggalkan Tian. Ia menuju ke tengah lapangan dan memberi aba-aba untuk berkumpul. Latihan hari ini cukup, para anggota sudah kelelahan. Jam juga sudah menunjukkan waktunya pulang. Setelah Rimba menutup latihan hari ini mereka bubar.

Maya kembali ke basecamp untuk mengambil tas dan bajunya. Ia mengganti baju olahraganya dengan pakaian biasa. Dilihatnya jadwal di memonya. Meskipun agak capek, ia masih harus bekerja paruh waktu. Pekerjaan barunya dimulai malam ini. Ia tersenyum bersemangat di depan loker.

"May, ke kafe yuk," Ella menghampirinya.

"Maaf Ella, aku harus kerja malam ini. Aku ambil pekerjaan paruh waktu," tolak Maya dengan halus.

"Ah sayang sekali, padahal ada kafe yang baru buka. Katanya sih rame di sana. Tapi tidak apa-apa deh. Meskipun ada banyak yang ingin kutanyakan padamu."

"Ada apa? Apa yang ingin kau tanyakan? Apa kerja kelompok?"

"Tidak, bukan itu kok. Ya sudah lain kali saja. Bye bye." Ella meninggalkan Maya.

Maya merasa gerak-gerik Ella ada yang aneh. Ia lalu menyadari sesuatu.

"Ah iya! Ella kan berpacaran dengan Jeffry. Apa dia khawatir aku masih ada hubungan dengannya? Aku harus segera meluruskannya. Tapi aku harus bekerja malam ini." Maya garuk-garuk kepala.

Di luar basecamp Olla melihat Jeffry tengah menunggunya di depan. Ia memeluk Ella, beberapa mahasiswa yang lewat memperhatikan keduanya. Salah satunya adalah senior Rimba.

"Aku paham kenapa Tian tidak mendekati model itu," ia menggeleng. "Kasihan sekali temanku. Lagipula tidak ada alasan juga Ella tidak punya pacar."

Sementara itu Maya tengah berjalan keluar gerbang. Dilihatnya memo di ponselnya. Ia mencatat gaji yang akan ia terima beberapa bulan ke depan, ditambah insentif lain, pengeluarannya, dan catatan hutangnya.

"Sepertinya aku tidak bisa hanya mengandalkan pekerjaan ini," keluhnya. Karena terus memperhatikan ponselnya, Maya tidak menyadari ia hampir menabrak orang di depannya, namun sesaat kemudian lengannya ditarik ke samping. Maya terkejut.

"Jangan lihat ponsel terus."

"Nico?"

Nioco merangkul bahu Maya yang kecil dengan santai. "Ayo mampir ke kafe. Kenalanku baru saja buka kafe yang unik. Aku akan mentraktirmu."

"Ah… kenapa hari ini banyak yang mengajakku ke kafe, sih," Maya sebenarnya juga ingin ikut. "Tidak bisa. Aku ada kerja setelah ini."

"Sudah dapat pekerjaan baru? Wah jangan lupa tagihan, ya. Haha."

Maya mendecih mendengar Nico.

Tiba-tiba keduanya tidak sengaja berpapasan dengan Tian. Mereka bertiga membeku sesaat, namun Tian nampak biasa saja.

"Kebetulan sekali. Kau ada waktu hari ini?" tanyanya.

Maya sontak melepas lengan Nico yang bergelantungan di bahunya. Tian juga datar seperti biasa, kali ini lebih datar.

"Senior Tian, ada perlu apa?" Maya berusaha menjaga sikap.

"Siapa dia?" tanya Nico.

"Dia seniorku di klub."

Mendadak Nico menegakkan tubuhnya. Meletakkan telapak tangannya di dalam saku celana. Ia mengangkat dagunya seolah-olah sedang photoshoot sembari menatap Tian. Begitu juga Tian yang menatapnya dengan wajah dingin dan kak. Mereka berdua saling bertatapan aneh.

Maya yang menyadarinya agak bingung sejenak. Apa pria tinggi sering menatap satu sama lain dengan intens begini? Gumam Maya dalam hati.

"Teman-teman di klub akan ke kafe malam ini. Tentu saja bukan hanya kau dan aku. Apa kau mau ikut?" tanya Tian.

"Dan ada satu orang lagi yang mengajakku ke kafe hari ini, huh…" Maya menghela napas panjang.

"Kau sibuk?" tanya Tian lagi.

"Dia akan pergi denganku," sahut Nico tiba-tiba.

"Eh? Aku tidak bilang begitu!" Maya menoleh. Ia melihat Nico dengan sebal.

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu." Tian melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Ha? Cuma itu doang? Apa dia robot?"

"Senior Tian memang seperti itu. Dia sangat kaku dan wajahnya selalu datar. Yah meskipun kadang-kadang juga bisa marah dan membentak sih," Maya teringat dengan kejadian malam itu di minimarket.

"Berarti aku tidak perlu khawatir, kan?"

"Khawatir?"

"Bukan, bukan." Nico menutup mulutnya. Hampir saja ia keceplosan.

"Kenapa? Ayo bilang! Jangan bohong kau! Dasar tiang listrik, sini kau!" Maya mengunci lehernya dan meninju kepalanya. Tentu saja itu candaan.

"Stop stop, ampun."

Keduanya bercanda dan tertawa lebar. Tanpa mereka ketahui Tian memperhatikan mereka yang sangat dekat satu sama lain. Ada sedikit perasaan tidak nyaman di hatinya, tapi ia tidak tahu kenapa dan tidak ingin menelusurinya lebih lanjut.

***

"Selamat malam, Bos," sapa Maya pada bos barunya

Bos barunya adalah laki-laki yang tempo hari mewawancarainya. Ia kira dia adalah pegawai tetap di sana karena masih sangat muda. Maya tak mengira dia adalah pemiliknya, padahal ia berbicara agak santai, ia sedikit tak nyaman. Dia terlihat bijaksana dan keren. Memulai bisnis di usia muda begini, benar-benar tidak terbayang di mata Maya. Pasti sangat berat.

"Aku adalah owner dari 'Cafe Punch' ini, panggil saja, Nando. Kalian adalah pegawai pertamaku, jadi aku sengaja memilih kalian yang masih muda dan memiliki antusias tinggi. Sebelumnya terima kasih telah datang kemari sebelumnya." Ia adalah orang yang ramah, supel sekaligus pekerja keras.

"Bos terlalu melebih-lebihkan. Kami kemari karena butuh pekerjaan kok," sahut Maya.

"Meskipun begitu. Kuharap kita bisa berjuang bersama-sama. Kemajuan kafe ini ada di tangan kalian. Oh ya, jangan panggil aku bos, ya. Kak Nando saja tidak apa-apa. Biar seperti senior di kampus."

Sebenarnya tadi pagi Nando sudah memperkenalkan diri, tapi ia memperkenalkan diri lagi untuk pegawai yang baru masuk di shift malam. Ada 3 orang pegawai. Mereka juga memperkenalkan diri mereka satu persatu

Setelah perkenalan mereka mulai bekerja. Ada 2 barista dan 2 pramusaji, salah satunya adalah Maya, sebagai pramusaji. Barista berada di bagian meja sekaligus kasir. Salah satu barista itu datang terlambat.

Setelah Kak Nando keluar untuk menyambut pelanggan, cuma ada Maya dan Nagita di dalam. Nagita lebih tua beberapa tahun dari Maya. Keduanya cepat akrab. Mereka berdua mulai bekerja, sembari menunggu pelanggan keduanya merapikan furniture, mengelap meja, membenahi kursi. Sedangkan satu barista bernama Hari berada di luar bersama Kak Nando.

Tiba-tiba dari pintu belakang (pintu karyawan) datang seorang pria tinggi yang memakai masker hitam dan topi hitam. Maya kebetulan sedang menata dessert di etalase kaca, ia berdiri di bagian dalam. Pria itu lewat di belakangnya sembari membuka topinya. Maya penasaran dan menatapnya. Ia berdiri di depan meja bagian untuk meracik kopi, yang berada di samping etalase kue.

"Apakah dia juga barista?" batin Maya.

Pria itu berdiri di samping Maya lalu membuka maskernya.

"Dia kan pria yang bercahaya itu!"