webnovel

Mata Panda

"Aku sudah gila! Gila! Gila! Kenapa aku mneyuruhnya membayarku tadi? Apa aku ini pria? Kenapa aku bersikap memalukan di depan junior baru? Harga diriku benar-benar jatuh." teriak Tian di dalam kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang sembari menabok kepalanya sendiri frustasi.

Tian terus teringat peristiwa kemarin malam saat berada di depan minimarket. Paginya saat keluar bersiap untuk pergi ke kampus, ia tak sengaja melihat Maya juga keluar dari kamarnya. Juniornya itu pun menyapanya.

"Senior. Selamat pagi," kata Maya ramah tanpa beban.

"Oh iya. Selamat pagi juga," sapanya balik.

Maya berjalan lurus dan mendahului Tian yang masih berdiri mengunci pintu.

"Maya!" panggil Tian.

Maya berhenti dan menunggu langkah Tian menyamainya.

"Itu…apa kau bilang pada teman-temanmu kalau kita sebelahan?"

"Apa itu hal yang cukup penting untuk kuberitahukan pada orang lain?"

"Eh?"

"Aku sudah menebak kau akan bertanya begini. Jangan khawatir, mungkin aku cuma tinggal satu atau dua semester di sini. Biasanya aku sering pindah-pindah. Jadi bukan urusan orang lain juga aku tetanggaan dengan siapa." Maya kembali melangkah.

"Anu Maya…aku mau minta maaf dengan benar."

"Untuk apa?"

"Semuanya. Aku ingin memperbaiki first impression yang buruk. Aku tidak bermaksud mengolokmu saat di klub, aku juga tidak bermaksud marah saat kau menawarkan untuk membelikan sesuatu, aku juga tidak tahu kenapa marah-marah lagi kemarin malam di minimarket."

"Tidak apa-apa, Senior. Itu sudah berlalu. Aku juga berterima kasih kemarin sudah datang menyelamatkanku meskipun kau bilang tidak sengaja lewat."

Kemarin malam saat Maya bertanya kenapa dirinya bisa ada di sekitar minimarket. Tian menjawab seadanya karena dia tidak mungkin bilang bahwa ia keracunan majalah aneh yang diselipkan Dion di rak bukunya.

"Kau mau ke kampus?" tanya Tian.

"Tidak. Aku tidak ada kelas hari ini."

"Kenapa kau berpakaian rapi?"

"Aku ada urusan," Maya melirik ke arah samping. Tian paham bahwa Maya tidak ingin memberitahukan hal personalnya.

Mereka kemudian berpisah di lantai bawah.

"Tidak kusangka Senior yang dingin dan kaku itu bisa merasa bersalah. Sudahlah, aku juga tidak akan menganggap ini masalah serius. Beberapa hari lagi ada rapat junior klub. Pasti tidak nyaman kalau ada anggota yang bersikap dingin satu sama lain," gumam Maya saat melihat Tian berjalan beda arah dengannya.

Lagipula Maya tidak punya waktu untuk berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Mana ada waktu untuk memberitahukan kalau dia tinggal bersebelahan dengan senior tampan dari klub olahraga. Maya menyadarkan dirinya sendiri, bahwa hidupnya sudah sulit dengan segala hutang yang ditanggungnya. Kemarin saat bertemu kembali dengan mantannya, Jeffry dan bertengkar cukup serius, ia mulai mengerti kenapa dirinya diolok-olok.

"Aku harus mencari job part time baru," keluh Maya. "Memangnya aku ada waktu untuk pacaran dan hang out? Aku pasti sudah gila jika melakukannya dalam keadaan miskin begini."

Maya memeriksa list di memo ponselnya dan melihat daftar tempat mana saja yang akan dia datangi untuk melamar kerja. Dia bahkan tidak tidur semalaman demi membuat list job part time di dekat-dekat apartemen dan kampusnya. Agar hemat uang di perjalanan.

***

"Saya mohon maaf. Posisi tersebut sudah ada yang mengisnya," ujar pegawai bank sembari menyodorkan kembali surat lamaran yang diajukan Maya.

"Secepat itu?" batin Maya.

Ia berdiri di depan pintu dan sekilas menatap gedung bank itu yang sangat besar dan tinggi. Pilar-pilarnya hampir menabrak langit. Padahal menjadi trainee di bank sebagai OB gajinya lumayan tinggi. Ia mencarinya kemarin mereka sedang membutuhkan asisten administrasi untuk membantu di tim marketing. Maya kalah cepat dengan orang lain.

"Part time? Kemarin sempat ada tapi sekarang sudah diisi. Maafkan kami ya, Nak," kata pemilik restoran China yang dengan sopan menolak.

Maya keluar dari sana dengan kecewa namun tentu saja ia tidak menyerah. Masih ada banyak tempat yang harus ia datangi selain restoran dan bank itu. Setelah mengunjungi belasan tempat, banyak posisi yang sudah diambil orang lain atau malah tidak ada posisi yang menerima. Hingga akhirnya Maya sampai di kafe yang tak jauh dari kampusnya.

"Kami sangat membutuhkan orang. Tapi untuk shift malam, bagaimana? Apa kau mau?" kata pelayan di kafe.

"Benarkah? Saya bersedia." Maya sumringah. Tidak sia-sia dia membuat list dari aplikasi pencari lowongan kerja.

"Tapi banyak laki-laki yang biasanya nongkrong sampai tengah malam. Apa kau tidak keberatan. Maksudku kau perempuan, mungkin tidak nyaman."

"Iya tidak apa-apa."

"Tapi tenang saja. Biasanya ada dua sampai empat orang yang shift malam. Jadi kau tidak sendirian."

"Oh begitu ya. Kalau begitu saya bersedia. Kapan wawancaranya?"

Maya akhirnya mengambil job tersebut seketika hari itu juga. Kafe bernama "Cafe Punch" itu tergolong baru dan membutuhkan karyawan. Ternyata tempat itu cukup populer akhir-akhir ini.

Ia melihat jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi sore, namun dia bahkan belum makan siang. Dipegangnya perutnya yang keroncongan. Jika ia mendapat pekerjaan baru tidak sampai sore, ia ingin mampir ke perpustakaan kampus dulu. Tugas mahasiswa baru bukan main-main, padahal sepertinya baru kemarin dia ospek. Tidak mungkin juga dia ambil bersih tugas tim. Dia pasti akan dikeluarkan jika cuma numpang nama.

"Padahal aku harus mencari referensi untuk mengerjakan tugas," Maya menunduk lesu. Ia sudah berjalan kesana kemari panas-panasan. Tidak terasa hari sudah sore.

"Maya!"

Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat seseorang memanggil namanya dan melambai padanya. Maya memastikan apa ia mengenalnya atau tidak. Matanya menyipit dan mencermatinya. Mendadak ia terkejut bukan main.

"Bukankah itu…ah sial! Apa aku harus lari?"

Maya menutupi wajahnya dengan tas dan berjalan berlawanan arah. Berharap semoga orang itu mengaggapnya salah orang. Tetapi rencananya gagal, orang itu mendadak menyergapnya dari depan. Maya hampir limbung.

"Kena kau!" laki-laki itu merangkul bahunya dan menggoyang-goyangkannya dengan semangat. "Kau mau lari huh, haha"

Maya melepas rangkulannya dan melempar tangannya.

"Woy Tiang Lampu Jalan! Apa begini caramu hidup?"

"Memangnya kau tahu bagaimana seorang Nico hidup?" ujar pria bernama Nico itu dengan melipatkan kedua tangannya didada.

Namanya Nico, senior satu ini adalah anak orang kaya yang keluarganya lumayan berpengaruh di univeristas dimana Maya menimba ilmu di sana. Perawakannya yang tinggi membuat gadis-gadis di kampus tergila-gila padanya. Meski begitu Maya tahu ia tak sempat pacaran, karena ia hanya akan setia pada kekasihnya di perpustakaan, yaitu Buku. Mungkin mereka akan dikira pacaran padahal mereka sama sekali tak ada hubungan seperti itu. Nico dan Maya lebih seperti kakak adik, keduanya sudah berteman sejak sekolah. Meskipun sekarang ini Maya miskin, Nico selalu ada di sampingnya. Untuk apa? Tentu saja untuk menagih hutang.

"Setelah melihat wajah tampanku ini, apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?" goda Nico sembari mencolek dagu Maya.

"A...apa maksudmu," Maya mengalihkan pandangannya ke sudut lain.

"Kenapa tiba-tiba temanku yang satu ini jadi gugup, ya?"

"Eh...sepertinya ponselku berbunyi. Aku sedang sibuk akhir-akhir ini," Maya beralasan dengan mengambil posel ditasnya yang sama sekali tak berdering.

"Menyerah saja. Bisa apa kau dengan akting bodohmu itu? Dasar gadis konyol," oloknya

Maya memanyunkan bibir. Ia memohon dengan manis di hadapan Nico meminta waktu lagi untuk melunasi semuanya.

"Aku baru saja dipecat dari pekerjaanku," keluh Maya.

"Sekalipun tidak dipecat, kau akan tetap mencari alasan lain untuk menghindariku. Aku sudah hafal kebiasaanmu."

"Kau itu kan kaya. Kenapa selalu menarik hutang yang tak seberapa dariku, sih? Aku heran. Lagipula sebentar lagi juga kau lulus."

"Iya adik kecilku," Nico mengusap pelan rambut kecoklatan Maya dengan lembut. "Kakak seniormu ini sebentar lagi akan lulus. Jadi kupastikan kau akan merindukanku saat aku pergi nanti."

"Kau selalu saja mengatakan itu. Aku malah berharap kau cepat lulus, supaya kau lupa dengan hutangku," Maya tertawa jahat.

"Dasar adik durhaka. Lama-lama aku bisa murka lho," ujar Nico. "Ya sudah aku pergi dulu, aku masih ada kelas. Percuma saja disini, aku tak akan mendapatkan sepeserpun," candanya.

"Kau ada kelas sore?" tanya Maya.

"Begitulah."

"Atau…pergi kencan buta lagi?"

Nico terdiam.

Mereka berdua saling bertatapan lama. Maya melihat sorot mata Nico yang berubah sayu.

"Itu…"