webnovel

Ungkapan Cinta Arga

Selesai makan, aku langsung menuju ke kamar untuk beristirahat dan sekadar tidur-tidur ayam. Niatnya sih seperti itu tadinya. Tapi, rupanya aku tertidur sungguhan. Untung saja aku sudah memasang alarm di telepon genggam. Jadi, tidak sampai kebablasan.

Sudah pukul tiga sore. Aku segera berlari ke kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke mal. Aku memilih kaos berwarna putih dengan tulisan 'Los Angeles' kecil di bagian dada dan celana katun warna abu-abu gelap. Aku memang bukan penggemar bahan jeans. Aku merasa risih kalau mengenakan celana jeans karena tidak terbiasa dan mungkin memang tidak akan pernah bisa. Aku lebih suka mengenakan pakaian dengan bahan yang ringan.

Tak ada salahnya menyemprotkan body spray. Kapan hari aku lihat iklan di televisi, para gadis langsung jatuh cinta karena keharuman pewangi ini. Hope that it will happen to me too. Cukup Melia saja, yang lainnya tidak usah.

"Bu, Arga berangkat dulu, ya. Doakan lancar." Aku pamit sambil meraih tangan Ibu, lalu menciumnya.

"Iya, hati-hati, Ga. Semoga sukses, ya." Ibu menjawab sambil tertawa kecil. Ah, pasti dia menertawakan tingkah konyol anaknya ini.

"Amin." Aku menjawab Ibu sambil memajukan bibir.

Aku bergegas naik ke atas jok motor dan meluncur ke Ambara Plaza dengan hati berdebar. Untung saja hari ini tidak hujan walau terlihat sedikit mendung. Berasa sendu, tetapi semoga saja akan menjadi hari yang cerah bagiku nanti.

Tiba di Ambara Plaza, setengah berlari aku menuju lantai paling atas dari mal ini. Jangan sampai Melia datang duluan dan menungguku di sana. Setiba di depan area bioskop, aku melihat ke sekeliling. Tidak ada bayangan Melia di sana. Hanya ada beberapa orang saja di lobi bioskop. Fiuh, syukurlah, kataku di dalam hati sambil mengatur napas yang sedikit terengah-engah.

Setelah napas kembali normal, aku mengambil telepon genggam dari saku celana. Ya, aku harus menelepon Melia dan memastikan apakah dia jadi nonton atau tidak. Kalau jadi, dia sudah sampai mana? Karena aku lihat jadwal film yang akan kami tonton di layar besar di belakang kasir, film itu akan dimulai pukul 16.05. Sebentar lagi.

"Ya, Ga. Gue lima menit lagi nyampe mal. Lo udah nyampe, ya?" Suara gadis pujaanku di seberang sana terdengar seperti bisikan mesra di telinga.

"Halo! Ga!" Gadis itu sedikit berteriak.

"Eh, iya, sori. Aku sudah di bioskop, Mel. Kamu mau minum apa, biar aku beliin," jawabku gugup.

"Loh, kan gue yang traktir lo. Tunggu gue nyampe aja, Ga," cegah Melia.

"Nggak papa, Mel. Kamu traktir tiket, aku bayarin minum sama camilan kita." Aku masih berusaha untuk beradu argumen. Malu dong kalau seorang lelaki tidak keluar uang sepeser pun di kencan pertamanya. Apa kata dunia?

"Nggak. Pokoknya kalo lo sampe beli sesuatu, gue balik pulang. Kita nggak jadi nonton!" Suara gadis itu terdengar serius. Dia tidak main-main.

"Oke. Aku tunggu aja kalau gitu, Mel," jawabku, kemudian menutup panggilan telepon. Daripada nanti dia marah dan membatalkan acara kencan kami, lebih baik aku turuti saja kemauan dia. Aku berusaha untuk menekan egoku, demi Melia.

Benar saja. Sekitar delapan menit kemudian, aku melihat sesosok gadis yang bahkan dari kejauhan dan gelap gulita pun aku pasti masih bisa mengenali. Melia mengenakan kaos putih, sama sepertiku, dipadu dengan celana monyet pendek dari bahan jeans. Dia terlihat sangat gaul, lucu, sekaligus imut. Rambut Melia yang sedikit ikal, dia biarkan jatuh tergerai. Dia tersenyum ketika melihatku.

"Hai, Ga. Sori ya, lama nunggu." Melia tiba di depanku.

"Baru lima menit, kok. Mau nonton sekarang atau mau makan dulu baru nonton?" tanyaku menawarkan.

"Film yang kita mau tonton baru mulai, sih. Mau masuk aja meskipun terlambat atau gimana?" tanyaku lagi.

"Wah, nggak seru, Ga, kalau datang terlambat. Coba kita lihat film yang lain dulu, deh. Bagus apa nggak." Melia memegang pergelangan tanganku, lalu menariknya dengan santai. Dia tidak tahu kalau apa yang telah dia lakukan itu membuat tubuhku panas dingin dan mata berkunang-kunang. Aku serasa mau pingsan.

Melia melepaskan cekalan tangannya di pergelanganku, lalu mulai mengamati daftar film dan jam tayangnya di layar besar di belakang kasir. Gadis itu tampak menggemaskan ketika dia mengerucutkan bibirnya.

"Nggak ada film lain yang bagus, Ga. Kita ngobrol sambil makan aja, yuk. Gimana?" tanya Melia yang mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Ya, udah. Yuk," jawabku sambil mengangguk. Buatku, apa pun, ke mana pun, itu tidak jadi masalah ... selagi denganmu, Mel.

Melia mengajakku ke food court yang masih berada di lantai yang sama dengan bioskop tadi. Aku mengikuti saja langkah gadis itu. Makan di counter mana pun, terserah dia saja.

"Duh, ramai banget di sini, Ga. Turun aja, yuk," ajak Melia dan lagi-lagi dia menarik pergelangan tanganku. Entah dia sadar atau tidak ketika melakukan itu, yang jelas ... aku suka.

Melia ternyata memilih untuk makan sambil berbincang di Starbug, kafe kekinian yang memang asyik untuk tempat nongkrong anak muda. Kupindai sekeliling, tempat itu cukup padat pengunjung. Tidak jauh beda dengan di food court tadi sebetulnya. Tapi, mungkin Melia memang lebih nyaman di sini.

Penampilan para pengunjung di Starbug ini terlihat modis dan gaul. Sangat berbeda denganku yang tampil biasa-biasa saja. Namun, aku tidak pernah merasa minder dengan semua itu. Biasa saja.

Aku memesan green tea latte favoritku dan Melia lebih memilih hot chocolate yang manis seperti dirinya. Sementara untuk camilan, kami memesan barbeque potato chips beserta seafood pizza berukuran kecil. Aku rasa, itu saja sudah cukup mengenyangkan. Lagi pula, bukan makanan atau minumannya yang penting saat ini, tetapi berbincang dengan Melia.

Setelah dia membayar semua pesanan, kami menuju ke sebuah meja yang memang hanya memiliki dua buah kursi, seolah memang sudah disiapkan untuk kami berdua. Tidak juga, sih. Untuk dua orang pelanggan maksudnya.

"Untung aja masih ada tempat, nggak penuh, Ga. Tempat ini biasanya susah banget buat dapet tempat duduk loh," kata Melia sembari menarik kursi di hadapanku.

"Berarti kita beruntung, Mel. Diridhoi Tuhan," jawabku sambil duduk.

"Diridhoi. Bahasa lo, Ga. Ustaz banget." Gadis itu tertawa. Aku tidak tahu apa yang dia tertawakan. Bukankah yang aku katakan tadi tidak salah?

"Beneran nggak papa, kita nggak jadi nonton?" Melia kembali bertanya tentang batalnya rencana kami untuk nonton bioskop.

"Nggak papalah, Mel. Buat apa juga kita nonton, kalau nggak ada film yang sesuai dengan selera kita. Lain kali kan masih bisa," jawabku dengan nada santai.

Ya, bagiku memang tidak masalah, Mel. Justru kalau sore ini kita tidak jadi nonton, malah lebih asyik sepertinya. Aku bisa memandang wajah cantik kamu seperti sekarang ini, dari jarak dekat. Tanpa sadar, aku tersenyum sendiri.

"Lo ngapain senyum-senyum sendiri, Ga? Masih waras, kan?" Gadis itu tertawa melihatku senyum-senyum sendiri tanpa sebab.

"Hehe. Aku merasa senang aja, Mel, bisa keluar sama kamu," jawabku sambil tersipu.

Tak berapa lama berbincang santai, pesanan kami pun datang. Kami terus mengobrol sembari menikmati satu loyang kecil pizza. Memang, Melia lebih banyak bercerita dan aku menjadi pendengar setia. Aku lebih suka mendengarkan dia bercerita sambil melihat bibirnya yang terus bergerak seperti menari. Aku sudah cukup puas dengan menikmati karya Tuhan yang pasti butuh waktu sedikit lebih lama dibandingkan dengan makhluk lain saat proses penciptaannya. Seperti lirik sebuah lagu, God must have spent a little more time on you. Tuhan terlampau indah ketika menciptakan Melia.

Hampir dua jam kami makan sambil berbincang, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk ke acara inti, yaitu ungkapan cinta.

"Mel, maaf, ya. Dulu aku pernah kirim satu lembar kertas buat kamu. Ingat, kan? Aku tahu sih, kamu nolak aku pas itu. Mmmhh, kalau sekarang ... aku nembak kamu lagi, apa masih kamu tolak, Mel? Aku beneran suka sama kamu, Mel," kataku dengan nekat. "Menemukan kamu, pasti bukan sebuah kebetulan bagiku. Mencintai kamu, juga pasti bukan sebuah kecelakaan untukku. Memiliki kamu, bukan hanya sebuah keinginan buatku, tetapi impian dan harapan."