4 Cinta Mati

Melia menundukkan kepala. Aku tidak bisa menebak, apa yang ada di dalam pikiran dia sekarang. Dia menunduk karena malu? Dia menunduk karena marah?

"Ga, lo tahu nggak, kenapa sampai sekarang gue ini belum punya pacar? Karena seisi sekolah kita itu, belum ada yang menurut gue pantas buat dijadiin pacar. Apalagi lo! Gue itu butuh cowok yang nggak cuma handsome, tapi juga mapan. Gue nggak mau ya naik motor, kepanasan, kehujanan, kena debu. Apalagi motor butut kayak punya lo itu. Lo tahu nggak, berapa biaya perawatan muka gue? Harganya bisa jadi jauh lebih mahal daripada motor butut lo itu.

Masih untung gue ini mau temenan sama lo, Ga. Jadi temen gue aja sebetulnya lo itu nggak pantes. Tahu, nggak? Udah, deh. Mulai hari ini, gue nggak kenal sama lo lagi. Jangan pernah lo nyapa-nyapa gue lagi. Paham lo?" Melia menuding wajahku, lalu pergi begitu saja meninggalkan aku yang tertegun dengan semua cecaran kalimat pedasnya.

Aku tidak menyangka kalau Melia akan semarah itu. Namun setidaknya, hari ini diriku paham, seperti apa kriteria pria idaman dia. Aku akan bekerja keras supaya bisa menjadi pria mapan yang layak untuk bersama Melia. Just wait for me, Melia. Tunggu aku. Aku pasti akan jadi pria yang sukses, membanggakan, dan tidak akan membuat kamu malu untuk jadi pacarku. Tunggu saja. Ketika aku sudah meraih itu semua, aku pasti akan menemui kamu dan menyatakan cinta ... lagi.

Hujan bisa sembunyikan tangisku. Petir sanggup sembunyikan lukaku. Guntur juga mampu sembunyikan teriakku. Namun, hujan, petir, dan guntur, tak akan kuasa menyembunyikan cintaku untukmu, Mel.

***

Semenjak tragedi penolakan itu, hubungan antara Arga dan Melia memang seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Keduanya saling menghindar dan memilih untuk berada dalam jarak aman. Mereka seperti dua kutub magnet yang tidak akan pernah bisa berdekatan, apalagi sampai bertemu.

"Arga Eka Putra, tolong ke ruang guru sekarang. Bawa tas dan semua barang-barang kamu, ya," seru Pak Mukidi, guru BK di sekolah Arga, dari depan pintu kelas. Seketika, teman-teman satu kelas melihat ke arah Arga yang juga memasang tampang kebingungan. Dia terkenal sebagai siswa teladan, tidak mungkin kalau dia sampai dipanggil ke ruang guru karena punya masalah.

Perasaan Arga tiba-tiba jadi tidak enak. Kenapa harus membawa tas dan semua barang? Namun, dia menuruti titah sang guru. Dia bergegas mengemasi buku dan barang-barang lainnya. Dengan sedikit berlari, Arga menuju ke ruang guru, menyusul langkah Pak Mukidi.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Arga yang penasaran sambil mencoba untuk mengatur napas.

"Arga, kamu pulang sekarang, ya. Bu Arum itu ibu kamu, kan? Beliau baru saja menelepon ke sekolah. Kamu diminta untuk pulang sekarang juga," jawab Pak Mukidi dengan wajah sedih.

Aneh, pikir Arga. Biasanya, guru satu ini selalu ceria. Bahkan, sebagai seorang guru, beliau jarang sekali terlihat berbicara dengan mimik serius seperti sekarang ini. Perasaan Arga makin tidak keruan.

Apakah terjadi sesuatu dengan Ibu? Arga bertanya-tanya di dalam hati.

"Kalau begitu, Arga permisi dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum!" kata Arga sembari mencium tangan Melia. Ups, tangan Pak Mukidi maksudnya.

Arga tidak banyak bertanya lagi. Dia ingin segera tiba di rumah dan mengetahui jawabannya sendiri. Dia segera berlari ke arah tempat parkir motor dan melaju dengan cepat menuju ke rumahnya. Sekilas, Arga melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Pukul 11.14. Syukurlah, hari ini adalah hari Selasa. Jalanan di kota Yogya tidak terlalu padat di hari biasa seperti sekarang ini. Tidak sampai tiga puluh menit, pasti sudah bisa tiba di rumah. Lain halnya kalau hari Sabtu dan Minggu. Kendaraan wisatawan akan memenuhi jalanan.

Tiba di ujung gang, Arga melihat kerumunan warga. Semua orang terlihat sibuk dengan mimik muka berduka.

Pasti telah terjadi sesuatu, pikir Arga.

Karena warga memadati gang tersebut, Arga memutuskan untuk memarkir motor di mulut gang. Ketika itulah, seseorang menepuk bahunya.

"Ga, yang sabar, ya," kata salah satu tetangga Arga.

"Ada apa ini, Pak Jumari?" tanya Arga yang mulai tidak sabar. Terlihat Pak Jumari menghela napas panjang.

"Ayahmu baru saja meninggal karena kecelakaan, Ga. Ayo, segera mandikan, lalu kita makamkan," lanjut Pak Jumari.

Tubuh Arga serasa ditimbun dengan pasir satu truk setelah mendengar jawaban dari mulut Pak Jumari. Hampir saja dia terjatuh, kalau saja pria paruh baya itu tidak dengan sigap menahan tubuh Arga.

"Sabar, Ga. Sabar. Istighfar. Yang ikhlas, Ga. Kasihan ayahmu kalau kamunya nggak ikhlas." Pak Jumari berusaha untuk menenangkan Arga.

Setelah kekuatan tubuh dirasa pulih, Arga segera berlari menuju ke rumahnya. Tampak tubuh terbaring berselimut kain jarik dan Arum yang sedang bersimpuh, menangis dengan wajah pucat di samping tubuh tersebut. Arga mendekati wanita itu, lalu merangkul dan membiarkan sang ibu terisak di dadanya.

"Kita harus kuat, Bu. Kita harus kuat. Relakan Ayah. Tuhan sayang sama Ayah, Bu." Arga tidak hanya sedang menguatkan Arum, tetapi juga menguatkan dirinya sendiri.

Pak Putra meninggal karena terburu-buru menghindari sebuah lubang besar yang menyebabkan motornya oleng dan terjatuh. Nasib sial, beliau lupa mengaitkan tali helm. Pelindung kepala itu lepas sehingga kepalanya membentur aspal dengan keras dan terluka parah.

Setelah jenazah dimakamkan, secara perlahan tetangga mulai menghilang, pulang ke rumah mereka masing-masing. Arga, adik, dan ibunya masih termenung. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada sesuatu yang hilang di dalam hati. Walau sang ayah bukan seseorang yang selalu terlihat ceria, tetapi kelembutan dan kenyamanan yang beliau hadirkan, terasa sekali di rumah ini. Kini, sosok itu telah tiada.

Arga menyadari satu hal, bahwa sekarang dialah kepala keluarga sebagai pengganti sang ayah. Dia harus bisa melindungi, juga merawat Arum dan adiknya. Sudah menjadi tanggung jawab dia sebagai anak tertua, terlebih lagi dia seorang laki-laki.

Selama beberapa hari, suasana muram masih menyelimuti keluarga Arga. Perlahan, akhirnya mereka mulai terbiasa. Waktu telah mampu meredam rasa kehilangan dan mengubahnya menjadi ... mengikhlaskan.

Sepeninggal sang ayah, kehidupan keluarga Arga masih berlanjut sebagaimana biasa. Arga teringat akan pesan sang almarhum untuk terus berjuang mendapatkan cinta.

Arga akan berjuang, Yah. Terima kasih atas semangatnya, tekad Arga di dalam hatinya.

Beberapa kali Arga mencoba untuk menyapa dan berbincang dengan Melia. Namun, sepertinya gadis ini tidak main-main dengan ucapan dia waktu itu. Melia bersikap seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Arga, bahkan menganggap kalau pemuda itu tidak ada sama sekali di dunia ini.

Tekad Arga tetap bulat. Sekali Melia, tetap Melia. Prinsip konyol Arga yang sering membuat Arum tertawa. Entah harus kasihan, bangga, terharu, atau sedih melihat kegigihan anak sulungnya itu mencintai gadis pujaan hatinya. Arum tidak tega untuk melemahkan impian serta semangat Arga. Mau tidak mau, dia selalu menguatkan dan menyemangati. Begitu pun ketika kenaikan kelas, Arga pulang dengan wajah lesu.

"Kenapa, Ga? Ada masalah?" tanya Arum yang melihat wajah kusut anak sulungnya itu.

"Arga pisah kelas sama Melia, Bu," jawab Arga sambil menunduk sedih.

"Ya ampun, Ga. Ibu pikir ada apa. Masih satu sekolah, kan? Masih bisa ketemu, kan?" Arum menggelengkan kepala dengan wajah heran melihat anaknya satu itu yang diperbudak oleh cinta.

Arga tidak menjawab. Dia melangkah dengan murung menuju ke kamarnya. Beruntung, di kelas tiga Arga kembali satu kelas dengan satu-satunya gadis yang dia cintai. Hal ini membuat dia lebih bersemangat untuk belajar walau hubungan mereka masih tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, dingin seperti es serut.

Tiga tahun masa SMA dihabiskan Arga untuk mengukir prestasi baik akademik maupun non akademik. Berbagai kejuaraan dia ikuti untuk menambah daftar penghargaan yang berhasil dia raih. Dia berpikir kalau semua itu akan memudahkan dirinya untuk mendapatkan beasiswa dan diterima di kampus yang ternama.

Di acara wisuda kelulusan SMA, Arga berhasil mendapatkan predikat siswa terbaik. Hari terakhir berada di sekolah, tidak disia-siakan oleh Arga. Dia memberanikan diri untuk mendekati Melia setelah sekian puluh purnama telah berlalu.

"Hai, Mel. Boleh minta foto bareng buat kenang-kenangan? Please," pinta Arga dengan tampang memelas.

Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan. Senyumnya masih sama seperti biasa, teramat manis.

Oh, God. Please, jangan sampai aku kena diabetes karena melihat senyuman Melia, ucap Arga di dalam hati. Kemudian, mereka melakukan swafoto berdua. Keduanya memang tampak serasi. Tampan dan cantik.

"Terima kasih ya, Mel. Oh, ya, kamu jadi lanjut kuliah di mana, Mel?" tanya Arga berbasa-basi, mumpung ada kesempatan untuk bicara dengan Melia.

"Rencana sih di UI, Ga. Semoga saja bisa lolos tes. Gue kan gak sepinter lo. Gue memang pengen stay di Jakarta sih nantinya," jawab Melia.

"Gue bosen di kota kecil seperti ini," imbuh gadis itu lagi.

Arga sendiri sudah diterima dengan jalur prestasi dan memperoleh beasiswa penuh di Jurusan Akuntansi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Kampus ini cukup terkenal dan masih satu kota dengan tempa Arga tinggal. Tidak mungkin bagi Arga untuk kuliah di luar kota. Selain tidak tega kalau harus meninggalkan ibu serta adiknya, juga karena faktor biaya yang pasti tidak murah.

"Semoga lolos ya, Mel. Semangat!" Arya mengangkat kepalan tangan kanannya.

"Thanks, Ga." Gadis itu tersenyum lagi, membuat keberanian Arga bangkit kembali seperti mumi yang sudah lama tertidur.

"Sama-sama. Mel. Aku akan berusaha untuk menjadi pria yang mapan dan sukses seperti keinginan kamu. Tunggu aku! Aku pasti akan temui kamu lagi setelah semua itu tercapai." Arga segera pergi setelah mengucapkan kalimat itu dengan menahan gemuruh di dadanya.

Melia hanya mengernyitkan dahi setelah mendengar perkataan Arga barusan.

Dasar, orang sinting, rutuk gadis itu di dalam hati.

avataravatar
Next chapter