2 Gadis Pujaan

Dua bulan setelah tragedi penolakan itu, aku mencoba lagi untuk menyatakan perasaanku kepada Melia. Namun, kali ini aku ingin mengatakannya secara langsung. Tidak melalui surat seperti yang pertama dulu. Aku tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Siapa tahu, dengan mengutarakannya secara langsung kepada Melia, akan terbuka peluang yang lebih lebar agar cintaku bisa diterima oleh gadis itu.

"Mel, nanti pulang sekolah, nonton bioskop, yuk," ajakku pagi itu. "Gimana?"

"Serius lo mau ngajak gue nonton, Ga?" tanya Melia dengan tatapan tidak percaya atas apa yang dia dengar barusan.

"Iya, aku serius. Ya, itu juga kalau kamunya mau sih, Mel," jawabku dengan ringan.

"Ya, udah. Tapi, gue yang traktir ya, Ga. Soalnya, selama ini lo udah bantu gue banyak soal pelajaran yang gue nggak ngerti. Anggap aja itu sebagai ucapan terima kasih dari gue ke lo. Itu syarat dari gue, kalau lo emang mau nonton sama gue. Gimana?" Gadis itu mengacungkan jari kelingkingnya.

Duh, masa cowok dibayarin sama cewek, sih? Lagian, kan aku mau nembak dia, kataku di dalam hati. Tapi, ya sudahlah. Lebih baik aku setuju daripada batal kencan.

"Ya udah, deh. Tapi, beneran nih kamu nggak papa? Aku yang ngajak, tapi aku juga yang ditraktir," kataku sambil mengaitkan kelingking ke Melia.

"Woles aja sih, Ga. Jam empat sore aja ya di Ambara Mall. Jangan pulang sekolah langsung. Nggak enak. Gue mau ganti baju dulu, mandi. Biar nggak gerah dan lusuh," ucap Melia sambil tersenyum.

Ah, iya. Gadis cantik seperti Melia ini, mana mau main ke mal dengan penampilan lusuh, kucel, dan keringetan. Dia pasti akan merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti itu. Aku harusnya bisa lebih mengerti dia. Dia kan bukan aku, yang cuek-cuek saja dengan dandanan serta penampilan.

"Asiaaap!" jawabku dengan penuh semangat sambil membuat gerakan hormat seperti yang biasa dilakukan oleh para tentara. Aku kan memang mau maju perang. Perang memperjuangkan cinta. Semoga saja aku bisa menang dalam peperangan kali ini.

Akhirnya, kataku dalam hati. Bisa juga kencan sama Melia. Aku tersipu-sipu dan kembali ke bangkuku sendiri.

Hari ini pikiranku entah ke mana. Pelajaran yang disampaikan oleh guru seolah hanya deretan kata tanpa makna saja. Semua hanyalah barisan bunyi tanpa arti. Tak satu pun yang bisa aku mengerti. Di pikiranku hanya ada acara kencan dengan Melia sore nanti. Belum juga pulang sekolah, tetapi aku sudah tak sabar menanti pukul empat sore nanti. Cinta terkadang mampu menyabarkan seseorang. Namun dalam kasusku, cinta malah membuatku jadi tidak sabaran.

Detik demi detik, aku lalui dengan gelisah. Menit demi menit, makin membuat hatiku resah. Hingga akhirnya, yang aku tunggu-tunggu datang juga. Tepat pukul satu siang, bel sekolah berbunyi. Semua murid bergegas untuk meninggalkan ruang kelas. Beberapa dari mereka langsung menuju ke kantin dengan langkah terburu-buru karena sudah sangat kelaparan. Ada juga yang tergesa-gesa untuk segera makan siang karena ada jadwal les, sementara yang lain ... mungkin sama sepertiku, punya agenda nongkrong dan kegiatan santai lainnya sepulang sekolah. Bahkan, mungkin ada yang sama persis denganku, sedang berusaha mengejar cinta.

Aku hanya ingin segera pulang dan beristirahat, supaya nanti bisa fresh saat berkencan dengan Melia. Kencan? Ah, aku jadi tersenyum sendiri memikirkan kata itu. Ini belum layak disebut kencan sebenarnya. Kan, status kami hanya teman biasa saja. Namun, sudah awal yang baik, kok. Menurutku ....

"Sampai ketemu nanti ya, Mel." Aku menyempatkan diri untuk menghampiri meja Melia dan mengingatkan dia akan janji kencan kami nanti sore. Sebetulnya, itu untuk meyakinkan diriku sendiri sih kalau semua ini memang bukan mimpi. Ini kenyataan, Bro!

"Oke," jawab singkat gadis berambut panjang dengan warna hitam legam itu sambil mengurai senyum manisnya untukku.

Ah, semoga saja senyum manis itu hanya untuk aku. Tidak untuk pemuda yang lainnya. Melia langsung berdiri dan mengajak teman-temannya untuk pulang. Mereka memandang penuh selidik ke arah kami. Pasti mereka penasaran dengan apa maksud ucapanku tadi. Ya, tadi ketika kami berdua bicara soal nonton bareng, memang teman-teman Melia belum ada yang datang.

"Eh, Mel, kalian mau ke mana, sih? Mau kencan?" tanya Freya, sahabat Melia sambil berbisik-bisik. Aku masih bisa mendengar bisikan Freya karena jarak kami memang belum terlalu jauh. Aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan setelah itu.

Rombongan Melia pergi ke arah tempat parkir di bagian depan sekolah. Ya, di sana adalah area khusus mobil untuk para guru dan siswa yang orang tuanya kaya. Sementara aku, cukup ke tempat parkir motor dan sepeda biasa yang ada di sisi samping sekolah. Aku memacu sepeda motor bututku secepat mungkin. Motor tua warisan dari Ayah. Lumayanlah daripada naik angkutan umum, lebih capek dan lama. Dengan motor tua berwarna merah ini, tak sampai setengah jam perjalanan, aku pasti sudah tiba di rumah.

"Assalamu'alaikum," seruku setiba di depan rumah.

"Wa'alaikumsalam. Tumben, ceria banget, Ga." Seperti biasa, Ibu selalu menyambut kedatanganku begitu mendengar deru motor di depan rumah. Sudah jadi kebiasaan dari dulu.

"Ah, biasa saja kok, Bu. Tiap hari Arga kan selalu ceria." Aku mencoba untuk berkilah. Malu rasanya kalau harus bilang bahwa hari ini aku akan berkencan dengan Melia.

"Arga mau makan, terus rebahan, Bu. Sudah lapar banget ini," kataku setelah mencium punggung tangan Ibu.

"Ya, sudah. Sana, buruan makan. Pas banget, lho. Ibu masak sayur bayam sama pepes tahu kesukaan kamu. Tapi, nggak ada udangnya lho, Ga. Tadi Ibu kehabisan di tukang sayur. Jadi, ya cuman tahu saja isinya. Mau Ibu ganti sama daging lain kok rasanya kurang sreg," jawab Ibu sambil mengikuti langkahku dari belakang.

"Nggak papa, Bu. Tahu doang juga sudah enak, kok. Masakan Ibu kan nggak ada tandingannya di dunia ini." Aku meletakkan tas di sofa ruang keluarga, lalu buru-buru duduk menghadap ke meja makan.

Keluarga kami ini punya tradisi manja. Setiap kali makan, selalu Ibu yang akan mengambilkan nasi, sayur, dan semua lauk pauknya. Jadi, Ibu adalah orang yang paling hafal dengan porsi kami masing-masing. Bukannya kami ini pemalas, tetapi Ibu sendiri yang memang suka melakukan hal itu untuk kami. Wajah Ibu selalu terlihat bahagia ketika melayani kami di meja makan. Ya, sama seperti yang sekarang dia sedang lakukan.

"Oh ya, Bu. Nanti sore, Arga pergi sama teman sekitar jam empat, ya," kataku sambil menunggu Ibu selesai menyiapkan santap siangku.

"Iya. Ibu izinkan. Sama Melia, kan?" tanya Ibu sambil meletakkan piring yang sudah lengkap isinya dan segelas air putih di hadapanku.

"Kok, bisa tahu, Bu? Kan, Arga belum cerita apa-apa." Aku heran, kenapa Ibu bisa menebak dengan sangat tepat, ya?

"Tahu dong, Ga. Kamu itu kan belum pernah seceria ini kalau pulang sekolah. Teman mana yang bisa membuat kamu tersenyum semringah seperti ini kalau bukan Melia," jawab Ibu sambil tersenyum, membuatku menunduk malu. Aku memang beberapa kali menceritakan soal Melia pada Ayah dan Ibu. Ya, hanya sebatas kekagumanku saja. Tidak lebih.

avataravatar
Next chapter