webnovel

Mengungkap Sejarah Amarta

Hutan Altaraz dipenuhi oleh pepohonan yang menjulang tinggi ke langit, dengan dedaunan yang berkilau. Terpancarnya cahaya matahari di siang hari seakan berhasil tembus melalui celah-celah pada ranting pepohonan, menciptakan bayang-bayang ajaib di permukaan tanah yang ditumbuhi lumut dan bebatuan.

Dalam hutan Altaraz, terdapat beberapa makhluk fantastis hingga monster yang hanya ada dalam imajinasi setiap orang. Burung-burung yang berwarna cerah mengepakkan sayapnya mengelilingi rindangnya pepohonan di hutan rimba.

Terlihatnya kupu-kupu raksasa dengan sayap berkilauan terbang bebas di antara bunga-bunga yang bermekaran dengan warna-warni yang menakjubkan.

Nirwana yang duduk di atas pelana hanya dapat mengedarkan pandangan mata guna menyaksikan keindahan alam di sekitarnya, sementara sosok gadis di belakangnya melingkarkan kedua lengan pada perut pemuda tersebut.

"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang kulihat ini nyata," Nirwana bergumam lirih.

"Biasa saja," sahut Helena sinis.

Jalur setapak yang terbentuk di antara semak-semak mendominasi pepohonan tua yang mengarah pada benteng pertahanan Amarta. Dalam perjalanan mereka, terdapatlah air terjun yang mengalir di sebelah utara, serta suara gemericik yang menenangkan dan kelembapan hutan belantara.

Sekumpulan prajurit kerajaan berjalan dengan formasi barisan yang kokoh. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi oleh bebatuan, serta sinar matahari yang menyelinap di antara ranting pohon yang rindang. Derap suara langkah terdengar mendominasi alam di sekitarnya.

Malam itu rombongan Helena telah berhasil menempuh perjalanan panjang menuju benteng pertahanan Amarta. Semua prajurit terlihat sibuk berjaga di atas dinding batu yang mengelilingi bangunan tua, sementara sepasang remaja terlihat menjejakkan langkah di koridor tengah.

Derit pintu kayu menyentak kesigapan sepasang yang berjaga, hingga daun pintu itu pun terbuka di bagian tengah. Seorang pemuda dalam balutan jas hitamnya berjalan memasuki ruangan tempat pemimpin itu singgah guna menyampaikan peristiwa yang terjadi di pemukiman desa.

Seorang pria paruh baya menyambut kedatangan mereka. Lelaki itu bernamakan Steven, seorang pemimpin pasukan altileri yang menjaga perbatasan wilayah di semenanjung utara kawasan Amarta.

Rambut pendek tercukur rapi dengan kumis tipis yang menawan, menambahkan ketampanan yang tak biasa bagi seorang pemimpin pasukan. Kapten Steven terlihat mengenakan kemeja sutra hijau dengan jaket doublet, serta celana cokelat ketat hose.

Lelaki itu duduk dengan santai, bersandar pada punggung kursi yang elegan. Matanya terfokus pada dua sosok yang duduk di hadapannya. Nirwana, seorang pahlawan yang legendaris, dan Tiara-seorang gadis dengan aura yang mempesona.

Waktu berlalu, dan suasana menjadi lebih hening saat Nirwana mulai membagikan pengalaman mengerikan yang dialami oleh penduduk desa Altaraz. Kapten Steven yang duduk berhadapan dengannya terlihat tenang, namun matanya penuh dengan rasa simpati ketika pemuda itu menceritakan kisah penderitaan yang tak terlupakan.

Kapten Steven menarik nafas cukup dalam sebelum tersenyum kepada sosok pemuda di hadapannya. "Nirwana, aku sangat terkesan dengan keberanian dan ketabahanmu dalam menghadapi penderitaan yang tak terlupakan ini. Kau telah berhasil melewati banyak hal yang sulit, dan aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya perjuanganmu di sana."

"Terima kasih, Kapten. Memang tidak mudah bagi saya untuk mengalahkan naga, tetapi saya tidak ingin melihat penduduk desa menderita. Itulah sebabnya saya merasa bertanggung jawab untuk melindungi mereka dari ancaman makhluk tersebut."

Kapten Steven mengangguk setuju. "Kau adalah pemuda yang luar biasa, Nirwana. Tidak semua orang memiliki keberanian dan tekad sepertimu. Kau bahkan telah membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada fisik, tetapi juga pada hati dan semangat yang tak tergoyahkan."

"Saya percaya bahwa kita semua memiliki kekuatan di dalam diri kita, Kapten," pemuda itu lantas menoleh pada sosok gadis yang duduk bersebelahan dengannya dan berkata.

"Terkadang kita hanya perlu meyakini dan menggali lebih dalam untuk menemukannya." Nirwana tersenyum rendah sembari menoleh pada Tiara yang duduk di sampingnya. "Dan tanpa Tiara, saya hanyalah manusia biasa yang tak kan pernah bisa mengalahkan naga."

Kapten Steven tersenyum samar, merasa kagum dengan keberanian Nirwana dan Tiara yang berhasil melindungi desa dari ancaman naga. Ekspresi terpancar dari wajahnya, mencerminkan rasa terharu dan penghargaan yang mendalam terhadap kedua pahlawan desa tersebut. Suasana hening kembali tercipta, angin sepoi-sepoi berbisik lembut di telinga mereka, menyiratkan kedamaian setelah pertempuran sengit yang baru saja berlalu.

Tiba-tiba, dalam keheningan malam yang sunyi, Kapten Steven dengan lembut memanggil William, pelayan setia mereka, untuk mengantar tamu khusus yang datang pada malam itu ke kamarnya. Cahaya gemerlap lilin menyinari lorong menuju kamar tamu, menciptakan jejak cahaya yang mengundang dan misterius. Suara langkah kaki William yang halus terdengar di lantai marmer istana, menciptakan dentingan yang lembut namun pasti, menyatu dengan udara malam yang sejuk dan tenang.

"Tuan Nirwana, saya merasa kagum dengan keberanian Anda sebagai seorang pahlawan," ucap William ramah sambil menyunggingkan senyuman tulus.

Pemuda itu memicingkan mata, sehingga terlihat sedikit kerutan pada dahinya yang menunjukkan ekspresi kebingungan. "Berhentilah memanggilku Tuan, aku bukan Tuanmu," ujarnya dengan suara lembut namun tegas.

William terkekeh ringan, menunjukkan rasa malu atas kesalahpahaman tersebut. "Ahaha... Maafkan aku, Tuan. Istilah 'Tuan' adalah suatu penghormatan yang biasa kami ucapkan kepada semua pria. Dan 'Nona' untuk para wanita," jelasnya sambil mencoba menjelaskan dengan sopan.

"Oh, iya ... Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepadamu, William," ucap Nirwana dengan wajah penuh keingintahuan.

William sedikit terkejut dan mengangkat alisnya. "Apa itu?"

"Ceritakan padaku tentang asal mula terbentuknya kerajaan Amarta, serta apa itu Ignea," pinta Nirwana dengan penuh ketertarikan.

"Ada dua kota yang berkembang pesat pada periode Atlantica, yaitu Aster dan Kyotama. Bangsa Aster adalah orang-orang barat yang gila berperang dan suka menaklukan daerah-daerah di sekitarnya. Pertama, mereka menaklukan Arkadia, sebuah perdesaan yang dihuni oleh para Orc, dan dengan demikian menjadikan warga Atlantica berkuasa di sana. Pemimpin mereka yang bernama Howard menerapkan sistem two kingdom, dengan dua Raja yang saling berbagi kekuasaan, dan akhirnya terciptalah kota baru yang bernama Kyotama. Sementara Kyotama sendiri terdiri dari sekumpulan imigran dari timur, yang telah lama menduduki Amarta, yakni Aster."

Nirwana berhenti sejenak di depan pintu sebelum membukanya, matanya penuh dengan rasa ingin tahu. "Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

"Pada akhir abad ke-2 SM, muncul pemerintahan baru yang bangkit. Penduduk Aster di bawah kepemimpinan Raja Howard berhasil menggulingkan kekuasaan kekaisaran Kyotama di negeri ini. Seorang kaisar bernama Kaito akhirnya harus mengakui kekalahan perang dan berjanji untuk segera meninggalkan kekuasaannya di Atlantica. Raja Howard kemudian berupaya untuk menggabungkan dua negara yang sebelumnya terpisah menjadi satu, yang kita kenal sebagai Amarta," jelas William sambil merenungkan sejarah yang diceritakan.

"Nah, Amarta adalah Atlantica pada zamannya?"

William mengangguk perlahan. "Ya, tepat sekali."

"Lalu, bagaimana nasib sang kaisar yang terusir tersebut?"

"Beliau kemudian mendirikan kerajaan baru di pulau seberang dan berjanji untuk merebut kembali tanah yang telah dijanjikan oleh para Dewa."

"Jadi, Amarta?" tanya Nirwana.

"Ya, Tuan," jawab William dengan hormat.