webnovel

Aku Pergi Untuk Kembali

Suasana di ruangan tengah membawa Helena kembali ke masa lalu yang glamor dan misterius. Cahaya temaram, furnitur mewah, dan dekorasi klasik menciptakan atmosfer yang istimewa serta memikat siapa saja yang berada di dalamnya.

Sosok gadis bersurai emas tersebut nampak duduk bersandar di suatu sofa, mengamati keindahan ruangan yang cukup megah bak di dalam istana. Langit-langit yang tinggi memberikan kesan yang megah dan mengagumkan, sementara cahaya temaram dari lampu gantung di tengah ruangan menyoroti keindahan furnitur mewah yang mengelilingi mereka.

Sofa empuk dan nyaman tersusun dengan rapi di sekitar ruangan tersebut, disertai dengan bantal-bantal berwarna-warni yang menambahkan sentuhan hangat dan kenyamanan. Segelintir orang terlihat duduk bersantai di sofa tersebut, menikmati kemewahan ruangan yang mereka tempati.

Di sisi lain ruangan, sosok gadis kecil yang duduk berdekatan dengan Tiara terlihat mengedarkan pandangan mata, menatap dinding ruangan yang dihiasi oleh lukisan-lukisan berbingkai emas. Ekspresi kekaguman dan rasa ingin tahu terpancar jelas dari wajahnya, menambahkan nuansa keajaiban dan misteri dalam suasana ruangan yang penuh dengan kemegahan.

"Tuan Nirwana, saya sangat tertarik untuk menggali sejarah kehidupan Anda sebelum terjebak di dalam portal dimensi alam yang berbeda. Bisakah Anda berbagi sedikit cerita tentang pengalaman Anda di sana?"

"Aku hanyalah seorang penulis. Tidak ada bakat atau kehebatan khusus yang aku miliki, kecuali kemampuan untuk menuangkan cerita menjadi narasi yang memikat."

Helena terdiam sejenak, menyelidiki dengan seksama sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangan kiri Nirwana.

"Lantas apa yang ada di pergelangan tanganmu itu? Bisakah kau menjelaskan kepada kami mengenai alat tersebut?" tanya Helena, tertarik pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kiri Nirwana.

"Namanya adalah arloji, aku selalu mengenakan benda ini untuk melihat waktu," jawab Nirwana.

"Baik. Sekarang mari kita menuju ke topik pembicaraan yang sebenarnya," Helena mengangguk pelan. Namun tatapannya sempat teralihkan pada Tiara yang nampak memperhatikan bunga pada vas di atas meja. Sementara Alice cenderung menyandarkan kepalanya pada bahu Nirwana dengan manja.

"Anda adalah seorang pahlawan yang rela bertaruh nyawa demi kepentingan hidup orang lain. Seseorang yang memiliki tekad kuat dengan kewibawaan yang tepat. Saya berkeinginan untuk mengajak Anda pergi bersama kami untuk bertemu dengan Kapten Steven di pos pertahanan Amarta. Bagaimana?" sambungnya.

"Soal itu ... aku memikirkannya ...." ucap Nirwana dengan nada ragu.

Mendengar ucapan Helena, Alice seakan terkejut dan bangkit dari tempat duduknya. Gadis kecil itu tiba-tiba berdiri dan mendengus kesal terhadap Helena.

"Tidak boleh! Kakak Nirwana tidak boleh pergi meninggalkan kami," protes Alice dengan nada yang penuh kekhawatiran.

Tiara menoleh ke arah Alice, mencoba menenangkan gadis kecil tersebut. "Alice, tenanglah. Tidak akan terjadi sesuatu pada Kakak Nirwana ..."

Namun, sebelum Tiara bisa melanjutkan, Alice terus berbicara dengan suara yang bergetar, "Tapi—"

"Kami hanya menginginkan informasi yang dapat beliau sampaikan kepada Kapten Steven di pos pertahanan. Sebab, Tuan Nirwana adalah dalang di balik kematian sang naga. Oleh karena itu, aku ingin menyampaikan fakta kepada beliau dengan narasumber dan sejumlah saksi mata, agar laporan yang kami terima dapat tersampaikan ke Baginda Raja di istana," ujar Helena dengan tegas.

"Nirwana akan tetap tinggal, apa pun alasannya," tambah Tiara sambil tersenyum mendengar perkataan Helena.

Helena, yang tak mampu meredam emosinya, bangkit dari sofa dengan tiba-tiba. Kedua tangannya yang penuh dengan kekuatan seketika menggebrak meja.

BRAACK!!

Suasana ruangan langsung terasa tegang dengan suara gebrakan meja yang menggema.

"Apa yang membuatmu yakin bahwa lelaki ini akan tetap tinggal, hah?!" Helena menatap tajam Tiara yang berdiri di depannya. Tatapannya penuh dengan ketajaman dan intensitas, seolah tengah menembus jiwa orang yang berada di hadapannya. "Memangnya kenapa?!"

"Aku tidak peduli!" bentak Helena, nafasnya pun terengah-engah, mengisyaratkan betapa dalamnya keangkuhan yang tercipta dalam dirinya.

Nirwana terlihat tenang saat duduk di sofa, tatapannya penuh perhatian mengamati situasi yang sedang terjadi di hadapannya. Wajahnya terlihat serius, seakan sedang memahami Tiara yang tengah bersitegang dengan Helena.

"Hentikan!" Pada akhirnya, pemuda itu angkat suara setelah beranjak bangkit dari sofa. "Biarkan aku yang memilih kapan harus pergi dan tinggal."

Seketika, suasana hening yang mempesona melingkupi ruangan tengah. Tiga orang terlihat duduk di sekitar meja, terpaku dalam kebisuan yang penuh arti. Sementara itu, semilir angin sore mulai berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, membawa keharuman dan kelembutan yang menyejukkan hati mereka yang hadir dalam ruangan itu.

Pintu mansion tua terbuka perlahan, mengungkapkan sosok pemuda gagah dalam zirah baja yang melangkah dengan mantap menuju ke ruangan tengah. Derap suara langkahnya berhasil menarik perhatian segelintir orang yang berada di dalamnya.

Helena seketika menatap ke arah pintu. Suara langkah yang familiar membuat hatinya berdebar kencang. "William?" bisiknya dengan suara terguncang.

"Sebelumnya aku minta maaf jika kedatanganku telah mengejutkan kalian semua," Pemuda itu seketika berhenti di hadapan Helena, memperlihatkan sikap hormat dan kesetiaan yang melekat pada dirinya. "Helena, aku rasa kita harus kembali untuk menyampaikan informasi penting mengenai kematian naga pada Kapten Steven."

Dengan gerakan tiba-tiba, Helena segera bangkit dari sofa dengan wajah yang penuh kemarahan. "Tidak tanpa Nirwana!"

"Kita tidak memiliki wewenang untuk mengajak siapa pun agar dapat ikut bersama kita, Helena."

"William! Tanpa Nirwana yang berperan sebagai dalang atas kematian naga, juga saksi mata yang dapat mengentalkan informasi kita, lantas bagaimana caramu untuk meyakinkan Kapten Steven?!"

William hanya dapat menundukkan kepala dengan penuh kebingungan. Matanya terlihat kosong, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan di hadapan sosok gadis di hadapannya.

Dalam suasana yang tegang, Nirwana bangkit dari sofa dengan cepat untuk menenangkan situasi yang semakin memanas. Dengan suara yang lembut, dia berkata, "Aku akan ikut."

Wajah Tiara semakin pucat saat mendengar suara Nirwana yang mengganggu pendengarannya. Dengan nada khawatir, dia berkata, "Tapi Nirwana..."

Nirwana menoleh ke arahnya. "Kau akan ikut bersamaku, Tiara."

"Bagaimana denganku?" Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang sejak tadi diam di sofa bangkit berdiri.

Pertanyaan gadis kecil itu menarik perhatian orang-orang di dalam ruangan. Setelah berbalik, Nirwana melihat gadis kecil itu menatapnya penuh dengan perhatian.

"Alice... kau akan tetap tinggal," ucap Nirwana dengan penuh hormat, sambil membungkukkan tubuhnya di hadapan gadis kecil itu. "Kau harus tetap berada di desa ini, karena ibumu sangat membutuhkanmu, sayang."

Tapi aku tidak ingin melihatmu pergi... aku tidak ingin kehilangan sosok pahlawan yang telah menyelamatkan hidupku sebelumnya." Air mata perlahan mengalir di pipi gadis kecil itu.

"Percayalah, Alice. Aku pasti akan kembali dan bertemu denganmu lagi."

"Kau bohong... hiks! Kau pasti berbohong!"

Nirwana menggeleng pelan, kemudian mengusap bekas air mata yang mengalir pada pipi gadis kecil tersebut. "Kau tidak perlu khawatir tentang kepergianku, Alice. Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi. Dan pada saat itu aku akan menjagamu seperti seorang kakak yang senantiasa ada untuk melindungi adiknya."

"Kau berjanji..."

"Tentu, Alice. Percayalah padaku."