webnovel

Perdebatan Nirwana & Tiara

Di dalam sebuah kamar yang redup cahaya, hanya cahaya lilin yang menyala, seorang pemuda mengenakan kemeja putih terbaring di atas ranjangnya. Dengan tatapan yang terarah ke langit-langit, pemuda itu merenungi dengan dalam akan sejarah yang baru saja diungkapkan oleh seseorang bernama William.

Dalam keheningan malam yang sunyi, pemuda itu terpaku dalam lamunannya, memandang kehampaan kegelapan malam sambil teringat kembali pada cerita yang pernah ia tulis sebelumnya.

Dalam kebingungannya, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Mengapa cerita sejarah tentang Amarta begitu mirip dengan yang pernah aku tulis dalam novelku? Dan mengapa nama-nama seperti William, Helena, dan Kapten Steven terasa begitu akrab bagiku, seolah-olah aku telah mengenal mereka sebelumnya."

Setelah bangkit dari ranjangnya, pemuda itu melangkah menuju jendela untuk menatap keindahan alam di luar. Cahaya rembulan yang redup menerangi langit, diselingi oleh gemerlap bintang-bintang, sementara angin lembut mengusap wajahnya.

Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan pada pintu yang membuyarkan lamunannya. Pemuda itu berbalik dan bertanya, "Ada orang di sana?"

Suara lembut seorang perempuan menjawab dari balik pintu, "Tiara."

Nirwana menghela nafas lalu mengizinkan Tiara untuk masuk dengan berkata, "Silakan masuk."

Pintu kayu pun terbuka perlahan, memperlihatkan sosok gadis berambut pendek dengan model rambut wolf cut yang modis, mengalir dengan keriting lembut yang memberikan kesan liar namun tetap elegan. Tiara mengenakan gaun panjang yang melambai anggun saat ia memasuki kamar dengan langkah malu-malu, lalu duduk di atas ranjang dengan sikap penuh kehalusan.

"Nirwana, tanpa sengaja aku telah mendengarkan sejarah tentang Amarta yang telah disampaikan oleh William," ucap Tiara dengan suara lembut, sambil menatap lantai dengan ekspresi menyesal yang jelas terpancar dari wajahnya. "Aku sarankan agar kau tidak terlalu percaya dengan informasi yang datang dari orang-orang Ignea."

Nirwana mengerutkan alisnya, gerakan alisnya menunjukkan ketidakpercayaan dan kebingungan yang mendalam. "Mengapa begitu?"

"Karena kita tidak pernah tahu dengan pasti kebenaran di balik cerita itu," jawab Tiara dengan suara rendah, ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.

Nirwana menarik nafas panjang, ekspresi wajahnya mencerminkan keraguan dan kebingungan yang mendalam. "Entahlah."

"Dalam hatiku, ada firasat buruk terkait dengan hal ini. Aku khawatir kau akan dianggap sebagai mata-mata dari negara Akatsuki," ucap Tiara dengan suara lirih, menampilkan ekspresi wajahnya penuh dengan kegelisahan.

Dalam ruangan yang redup, Tiara berdiri tegak dengan ekspresi wajahnya yang penuh dengan kegelisahan, matanya memancarkan ketegangan yang mendalam. Suaranya lirih saat ia menuturkan firasat buruk yang menghantuinya, membuat udara terasa semakin tegang di sekeliling mereka. Sementara itu, Nirwana duduk dengan tenang, namun sorot matanya yang tajam dan gerakan tangannya yang halus mengungkapkan kekhawatiran yang sama yang dirasakan oleh Tiara.

Pemuda itu, dengan sikap tegap, memusatkan perhatiannya sepenuhnya pada ucapan Tiara. Punggungnya yang bersentuhan dengan dinding kamar yang dingin menegaskan kehadiran fisiknya, sementara sorot matanya yang tajam mencerminkan ketegangan yang sama yang dirasakan oleh Tiara. Suasana ruangan terasa hening, hanya terdengar desiran angin lembut yang masuk melalui celah jendela, menambahkan nuansa misterius pada pertemuan mereka yang penuh ketegangan.

"Aku dapat memahami apa yang telah kau sampaikan. Namun, alangkah baiknya apabila kita tetap tenang dan bersikap biasa saja," ucap Nirwana dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, mencoba membawa kedamaian dalam situasi yang tegang.

Tiara sontak mengerutkan alisnya, ekspresi wajahnya mencerminkan keraguan yang mendalam. "Nirwana, jika mereka adalah orang baik, lantas mengapa Helena memukul kita di mansion Altaraz?" Suaranya terdengar penuh dengan emosi, mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaan yang menghantuinya.

Nirwana menjawab dengan suara yang lembut, "Tiara, percayalah, semua itu hanyalah kesalahpahaman belaka, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang telah kau sampaikan."

Sementara di dalam ruangan yang redup, sinar lilin memancarkan cahaya temaram yang memperlihatkan seorang pria yang tengah sibuk menggoreskan tinta pena pada kertasnya. Di hadapannya, seorang gadis dalam balutan zirah baja berdiri dengan sikap yang tegap, menanti dengan penuh kesetiaan datangnya suatu perintah.

"Helena..."

Gadis itu sontak menegakkan tubuhnya dengan gagah. "Siap, Kapten!" suaranya bergema di ruangan yang hening.

"Aku telah mendapat laporan bahwasannya kau telah melakukan penganiayaan terhadap Nirwana dan Tiara di mansion tua. Apa itu benar?" Suara sang Kapten terdengar tegas namun penuh otoritas.

Helena tertunduk lesu, ekspresi wajahnya dipenuhi dengan penyesalan yang dalam. "Itu benar, Kapten."

"Lantas apa yang membuatmu berpikir bahwa Nirwana bukanlah dalang dibalik terbunuhnya sang naga? Seharusnya kau dapat menerima laporan itu dengan baik, bukannya menghakimi orang yang tidak bersalah." Suara Steven terdengar seperti gemuruh angin malam yang menggetarkan hati.

"Saya menyesal telah melakukannya," desah Helena dengan suara gemetar.

"Keangkuhanmu adalah titik lemahmu, Helena. Sebagai seorang kesatria, kau dituntut untuk mengabdi pada negara, dengan cara merangkul seluruh warga guna melindunginya." Kalimat Steven terdengar seperti petir yang menyambar, penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan.

"Saya minta maaf, Kapten," ucap Helena dengan suara yang penuh penyesalan namun penuh tekad untuk memperbaiki kesalahannya.

Lelaki itu kemudian menyerahkan gulungan surat dengan pita merah pada Helena. "Serahkan surat ini pada Baginda Raja."

"Dengan hormat, Kapten," jawab Helena sambil mengangguk rendah, ekspresi wajahnya mencerminkan tekad untuk memperbaiki kesalahannya dan menebus dosa yang telah dilakukannya. Suasana ruangan terasa tegang namun penuh dengan aura kebijaksanaan dan keadilan yang menguasai setiap sudutnya.

Dalam keheningan malam yang dingin, Gadis berzirah baja segers melangkah perlahan meninggalkan ruangan sang Kapten setelah menerima gulungan surat misterius. Langkahnya ringan namun penuh keputusan, mencerminkan kekuatan dan keberanian yang terpancar dari sosoknya. Sementara itu, di luar pindok udara yang redup, Kapten Steven berdiri di dekat jendela dengan tatapan yang penuh makna, seolah merenungkan masa depan yang tak terduga.

Di ruangan yang berbeda, Tiara, dengan mengerutkan bibirnya, menatap sinar rembulan yang memancar ke dalam ruangan. Tangan-tangannya terlipat di depan dada, menunjukkan keteguhan hati dan keputusannya yang teguh. Di belakangnya, seorang pemuda melepas jas hitamnya dengan gerakan halus, menunjukkan ketenangan dan kelembutan dalam tindakannya.

"Apa kau marah, Tiara?" tanya Nirwana dengan suara penuh kekhawatiran. Matanya menatap punggung Tiara, mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya.

Nirwana merasakan kerutan di dahinya saat mendengar pertanyaan Tiara. Dengan penuh kebijaksanaan, ia menjawab, "Jika seekor anjing setia pada majikannya, maka prajurit pun harus mengabdi pada negaranya. Itu adalah kewajiban yang tak terelakkan, meskipun terkadang sulit dipahami."

Tiara menoleh dengan ekspresi kekesalan yang jelas terpancar dari wajahnya. "Kau sama egoisnya dengan kesatria itu, Nirwana. Kau hanya memikirkan kepentinganmu sendiri tanpa melihat dampaknya pada orang lain."

Nirwana tersentak namun tetap tenang. "Aku tidak seperti yang kau bayangkan, Tiara. Aku hanya berusaha menjalankan kewajiban dan keyakinanku."

"Seharusnya kau tetap tinggal, tanpa harus terpengaruh oleh ajakan mereka. Desa kita membutuhkanmu lebih dari kesatria Amarta," ujar Tiara dengan nada penuh kepedihan.

Nirwana menatap Tiara dengan penuh penyesalan. "Tiara, aku harap suatu hari kau akan mengerti... Aku tidak bisa membiarkan kebenaran terenggut tanpa melakukan apapun."

Dalam keheningan yang terasa semakin berat, Nirwana menatap Tiara dengan ekspresi penuh penyesalan. "Tiara, aku harap suatu hari kau akan mengerti... Aku tidak bisa membiarkan kebenaran terenggut tanpa melakukan apapun."

Tiara menatap Nirwana dengan tajam, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya. "Lantas apa alasanmu untuk menanyakan sejarah tentang Amarta, hingga kepergianmu ke Ignea. Mungkin kau dapat menjelaskannya kepadaku, karena kau begitu misterius, Nirwana."

Nirwana sontak membuang muka sebelum kembali menatap punggung Tiara. "Aku pernah menulis suatu cerita yang berjudul 'IMPERIAL ARMS: Evolution Of The Ring'. Dalam kisah yang berjalan, aku telah menciptakan suatu negeri yang bernama Amarta, beserta pertempuran yang terjadi di dalamnya."

"Lalu apa hubungannya dengan Helena?" tanya Tiara, mencoba menggali lebih dalam.

"Ada kaitannya," jawab Nirwana, suaranya penuh dengan keraguan. "Aku yang telah menciptakan karakter seperti Helena, William, dan Kapten Steven. Dan yang membuatku heran adalah, mengapa visual mereka begitu mirip dengan para tokoh yang telah aku gambarkan dalam cerita tersebut," lanjutnya dengan nada penuh pertanyaan.