webnovel

Kengerian Yang Tercipta

Helena dan rombongan prajuritnya melangkah melalui jalan setapak yang dipenuhi dengan berbagai jenis batuan alami saat mereka memasuki pemukiman desa.

Helena merasa ngeri melihat pemandangan di depannya yang menusuk hati. Teriakan histeris dan tangisan bergabung menjadi harmoni menyedihkan yang mengisi udara.

"Demi apa ini semua terjadi..." Helena berkata dengan nada hampa, matanya menatap kehancuran di sekelilingnya.

Dalam keheningan, geram dan kesedihan bergema dalam hati Helena saat ia memaksa dirinya menjadi saksi dari kehancuran yang terjadi di depan matanya.

Helena mengangkat sedikit dagunya, matanya menatap kosong ke langit biru yang membentang di atasnya. Angin pagi melambai, mendorong dedaunan kering saling berdesakan, menciptakan suara gemerisik yang mengisi udara.

Helena merasa bahwa bukan hanya dirinya yang merasakan kegelisahan, tetapi juga William yang berada di sisinya. Sebagai seorang kesatria yang bertugas untuk melindungi negara, Helena tahu bahwa saatnya untuk keluar dari balik dinding besar Ignea dan melihat langsung penderitaan rakyat di luar sana.

"Sepertinya makhluk itu telah merusak banyak rumah penduduk desa," kata William sambil memandang sekeliling, mengamati warga lokal yang sibuk membersihkan puing-puing di seberang jalan.

Helena terhenti sejenak saat matanya tertarik pada bangunan tua yang menjulang tinggi. Dinding gedung didominasi oleh warna putih, dengan ukiran rumit yang teratur di setiap sudutnya.

Suara geram dalam hati Helena kembali terdengar saat ia memperhatikan gedung putih dengan empat pilar kokoh yang mendukung bagian depannya. Melangkah melalui puing-puing rumah yang hancur, Helena akhirnya berdiri di depan pintu utama gedung tersebut.

Namun, geram dalam hatinya lenyap saat Helena merasakan sentuhan tangan di pundaknya, memaksanya untuk berbalik. Di hadapannya, seorang pemuda berzirah lengkap dengan ekspresi cemas menatapnya.

"Helena, apakah kau baik-baik saja?" tanya pemuda itu dengan khawatir.

Helena menekuk lengan, menyentuh pelipis sebelah kanan dengan ujung jari. "Entahlah, William, semuanya terasa sulit untuk dijelaskan. Seperti ada suara yang memanggilku ke tempat ini."

William menghela nafas. "Aku ikut prihatin mendengarnya. Semoga kau baik-baik saja, Helena."

"Tentu," jawab Helena singkat.

Tak lama kemudian, derit pintu kayu membuat Helena dan William terkejut. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita berdiri di ruang utama. William mengernyitkan alis saat wanita itu pergi meninggalkan mereka.

Mansion tua Altaraz menjulang tinggi dibandingkan rumah warga sekitarnya, dengan dua lantai yang menunjukkan bahwa bangunan itu buatan manusia sebelum pemukiman desa elf dibangun.

Ketika Helena dan William memasuki ruang tengah, Helena berhenti mengetuk sepatunya. William, mengikuti langkahnya, melihat Helena memperhatikan pintu kamar yang terbuka sedikit.

"Ada sesuatu, Helena? Kau terlihat tertarik pada sesuatu," tanya William.

Helena, dalam zirah lengkapnya, menunjuk ke arah kamar. "Firasatku memberitahuku ada sesuatu yang tak beres di sana."

"Kau melihat apa-apa?" tanya William sekali lagi.

Helena menegaskan, "Entahlah, tapi aku akan memeriksanya." Tanpa ragu, dia meninggalkan William dan menuju ke kamar.

Di dalam kamar dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela berlapis kaca, seorang pemuda duduk di atas ranjang dengan punggung dan kepala bersandar pada dinding. Seorang gadis elf duduk di sampingnya, menyandarkan pelipisnya pada dada sang pemuda dengan penuh kasih sayang. Tubuh gadis itu tertutupi selimut putih tipis, menampilkan kehangatan dalam adegan yang tenang.

Setelah perjalanan panjang yang mereka lalui bersama, akhirnya saat berpisah pun tiba. "Penyakit itu telah merenggutnya dariku, dan meninggalkan bekas luka dalam hatiku," ucap pemuda itu dengan mata berkaca-kaca, mengingat kembali kenangan yang tak pernah pudar.

"Yang terjadi adalah bagian dari kisah lama yang tak perlu disesali. Aku yakin bahwa kau mampu melalui segala pahitnya kehidupan ini, Nirwana," sahut Tiara dengan lembut.

"Inilah sebabnya aku tak ingin kehilanganmu juga, Tiara. Aku telah kehilangan Megumi, dan aku tak ingin kehilanganmu," ucap Nirwana sambil membelai rambut Tiara dengan penuh kasih sayang. Meskipun Tiara memejamkan matanya, dia merasakan hangatnya cinta dalam setiap sentuhan lembut.

"Karena itulah aku berjuang agar kau tetap hidup, meskipun aku harus menghadapi bahaya yang mengancam nyawaku," lanjut Nirwana dengan penuh tekad.

"Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasakan aura yang berbeda dari dirimu. Dan setelah kau menyelamatkanku dari bahaya semburan api makhluk buas itu, aku sadar bahwa kau adalah cinta pertama dan terakhirku," ucap Tiara sambil meraba dada Nirwana dengan penuh kasih dalam suasana asmara yang memenuhi keduanya.

Nirwana teringat akan kenangan lama yang tak pernah pudar, membiarkan pemuda itu terhanyut dalam lamunan masa lalu yang masih membekas dalam pikirannya.

.::Flashback::.

Wilayah utara kota Kyotama terdiri dari semenanjung berbukit yang membentang ke samudra Jepang. Salah satu bagian dari wilayah ini adalah pantai yang indah dengan pasir putih, dikelilingi oleh perbukitan yang luas.

"Suatu hari nanti, kau akan menyadari bahwa kenangan indah yang kita bagi bersama adalah hadiah terbaik yang tak ternilai," ucap Megumi sambil melihat ke arah pantai yang mempesona dari atas bukit. "Seorang temanku pernah berkata bahwa keluarga adalah harta yang tak ternilai. Aku merasa bahwa kau adalah bagian dari keluargaku."

"Namun, mengapa kau berpikir begitu, padahal aku bukan keluargamu?" tanya lawan bicara Megumi.

"Kemurahan hatimu membuatku teringat pada seseorang. Dia adalah seorang pria yang selalu hadir untuk adik perempuannya dengan penuh kasih dan kepedulian," lanjut Megumi sambil menghela nafas. Setelah sejenak termenung, ia melihat pepohonan cemara dan burung-burung yang berkicau di atasnya. "Namanya Kyosuke Nakamura, temanku dari masa SMA. Dia adalah orang yang baik."

"Lalu, apa hubungannya denganmu?" tanya lawan bicara Megumi.

"Tidak ada hubungan," ucap Megumi sambil menoleh, tersenyum manis pada pemuda yang berdiri di sisinya. "Kau mungkin pendiam, tapi memiliki jiwa yang penuh kasih. Bagiku, kau mirip dengannya."

Nirwana tersenyum lebar. Dengan satu tangan di belakang kepala, ia menggaruk rambutnya pelan. "Wow, kau selalu punya cara unik. Aku jadi malu."

"Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan, dan aku harap suatu hari kau akan mengerti betapa pentingnya kepedulian," ucap Megumi dengan tulus.

"Megumi..." gumam Nirwana pelan.

"Iya, Nirwana-san?" jawab Megumi dengan lembut.

"Apa yang membuatku istimewa di matamu?" tanya Nirwana dengan rasa penasaran yang mendalam.

"Kau selalu memperhatikanku, melengkapi setiap kekurangan dalam hidupku. Itulah mengapa hatiku terpaut padamu," jawab Megumi dengan tulus.

Nirwana tersenyum penuh cinta, matanya bersinar saat tangannya menyentuh lembut pipi Megumi. Dengan penuh kehangatan, ia terus memandang wajah cantik Megumi.

"Megumi, kau adalah cintaku yang pertama. Aku berharap agar kebaikan hatimu selalu menyertai setiap langkahku. Bersama kita melengkapi kekurangan dalam hidup, menjalin cinta yang abadi hingga akhir hayatku. Aku mencintaimu, Megumi," ucap Nirwana penuh kasih.

Gadis itu dengan lembut menyentuh pergelangan tangan Nirwana, membiarkan keduanya saling bertatap mata saat senja mulai turun.

"Kau akan selalu berada di hatiku, Megumi. Aku berjanji untuk selalu menerimamu apa adanya," sambung Nirwana dengan penuh kehangatan.

**********

Di luar ruangan, ketukan sepatu dan langkah-langkah di lantai keramik klasik mengiringi percakapan di dalam. Helena, yang berdiri di belakang pintu, diam-diam mendengarkan perbincangan mereka tanpa suara. Namun, tanpa sengaja, ia mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Nirwana terkejut melihat kedua kesatria yang berada di kamarnya. Gadis elf di sampingnya segera menutupi dirinya dengan selimut.

"Siapa kalian?!" seru Nirwana sambil mengacungkan telunjuknya.

"Maaf, Tuan. Teman saya tanpa sengaja masuk ke kamar ini," ucap William sambil menahan tawa, sambil menggaruk kepala.

Helena menghela nafas panjang. "Sikap polos yang berlebihan. Sangat memalukan."