webnovel

Cinta Pandangan Pertama

Cahaya terang sinar mentari membelah tirai merah, menerobos ke dalam kamar klasik yang terbungkus keheningan pagi. Di ruangan yang dipenuhi aroma masa lalu dari bangunan tua, seorang pemuda terbaring lemas di atas ranjangnya. Tubuhnya sebagian tertutup oleh selimut biru bercorak merah yang melambai lembut, sementara matanya perlahan terbuka, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan hampa.

"Naga! Naga itu-" Teriakan terputus pemuda bernama Nirwana, bangkit dari ranjangnya dengan napas tersengal. Matanya melirik sekeliling, hanya menemukan tirai merah yang menutup jendela berlapis kaca. "Di mana aku ... apa yang terjadi dengan naga itu?"

Pintu terbuka perlahan, mengeluarkan suara decitan yang halus. Seorang wanita muda berbalut tunik biru memasuki ruangan dengan hati-hati, membawa nampan di depan dadanya.

Sementara itu, pemuda itu masih terbaring lemah di atas ranjangnya, memperhatikan wanita tersebut yang dengan lembut menyingkap tirai merah dengan satu tangan, membiarkan sinar mentari pagi memancar masuk dan memberikan sentuhan hangat alami ke dalam ruangan.

"Nyonya, apakah naga itu telah mati? Bagaimana keadaan Tiara? Aku sangat cemas tentangnya," ucap Nirwana dengan nada khawatir.

Wanita itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, lalu perlahan meninggalkan ruangan. Sementara itu, sebuah lengan muncul di atas ranjang, semakin mendekat hingga menyentuh punggung tangan Nirwana yang terlipat di atas dadanya.

Nirwana tersentak kaget saat merasakan sentuhan di punggung tangannya. Saat ia berbalik, ia melihat seorang gadis elf duduk di kursi dekat ranjangnya.

"Aku di sini, Nirwana..." Suara lembut Tiara memecah keheningan, dengan tubuhnya sedikit tertekuk sehingga pelipis kanannya bersentuhan dengan dada pemuda itu. "Kau tak perlu khawatirkan aku, sebab seharusnya aku yang mencemaskanmu, Nirwana."

Nirwana tergagap kaget. "Ti-Tiara, sejak kapan kau ada di sini?" ucapnya dengan suara terbata.

Tiara masih menopang pelipisnya di dada Nirwana, sementara jemari lentiknya mengelus lembut punggung tangan pemuda itu dengan penuh kelembutan. Senyum manis tak pernah lepas dari bibir mungilnya yang berwarna merah.

"Ramalan kuno menyatakan bahwa sang Dewa akan mengirim seorang kesatria untuk menyelamatkan warga desa dari malapetaka..." Tiara terhenti sejenak, merasakan detak jantung Nirwana yang semakin cepat. "Tuan Nirwana, jasamu akan selalu kami kenang sepanjang masa."

Dengan matanya yang terpaku menatap langit-langit kamar, Nirwana terus mengelus kepala Tiara dengan penuh kasih sayang. "Aku melakukan semua itu bukan semata untuk negara, melainkan untuk melindungimu, Tiara."

******

Pagi itu menjadi hari pertama musim dingin, dengan butiran salju kecil turun lembut dari langit. Di Desa Altaras-sebuah pemukiman elf gunung di pegunungan Alpine semenanjung utara kawasan Amarta-beberapa elf laki-laki sibuk memikul beban kayu di pundak mereka, membersihkan reruntuhan rumah warga yang hancur.

Cahaya mentari tampak redup di pagi hari, tertutup oleh awan putih dan salju yang memenuhi udara dingin di semenanjung utara kawasan Amarta.

Seorang gadis berkulit pucat terlihat mengenakan pakaian putih yang dilapisi zirah besi. Rambut kuning keemasannya panjang hingga pinggang, dikepang setengah di bagian atas. Dia adalah Helena Christopher, seorang gadis berusia tujuh belas tahun dari keturunan bangsawan, yang mendedikasikan hidupnya sebagai seorang kesatria untuk negara.

Helena memperlambat langkah kudanya, memberi kesempatan kepada William dan barisan prajuritnya untuk menyusul dari belakang. William, dengan tubuh jangkungnya, terlihat gagah dalam zirah besi yang dihiasi lambang Phoenix yang melingkari tubuhnya. Dengan rambut cokelat pendek dan mata biru langit, pemuda itu memancarkan pesona yang memukau, meskipun Helena tidak terpengaruh olehnya, meski mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Pasangan kesatria dan gadis elf itu, bersama rombongan prajurit, melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sunyi, dikelilingi oleh pepohonan rimbun yang menjulang di sebelah mereka. Saat mata William menangkap asap kelabu yang mengepul tinggi ke langit, mereka tahu bahwa pemukiman warga di semenanjung utara, kawasan Amarta, semakin dekat dengan setiap langkah mereka.

Dalam keheningan perjalanan, pikiran Helena berusaha mencari inspirasi dari tempat yang mereka datangi.

"Akhirnya hampir sampai," ucap Helena dengan lega setelah menarik nafas. Dia membalikkan tubuhnya, matanya yang biru memperhatikan William dan segelintir prajurit yang mengikuti dari belakang. "William, kita harus segera mencari makhluk itu."

"Maksudmu naga?" tanya William, memandang sekeliling dengan cepat. "Ayo lah... Mengapa Kapten Steven harus mengorbankan nyawa kita hanya untuk seekor naga."

"Ehem!" suara Linda membuyarkan percakapan mereka.

William mengangkat kepala, matanya menatap langit biru yang terhampar di atasnya. "Menjadi petani terdengar lebih menarik dan aman daripada bergabung dengan akademi militer Amarta yang membawa risiko kehilangan nyawa setiap saat," pikirnya.

Helena menghela nafas, merasakan kekecewaan dalam hatinya. Linda, di sisi lain, terlihat tidak tertarik saat melihat William dengan ekspresi kosong. "Mengeluh tidak akan mengubah nasibmu, Tuan," ucapnya.

William menoleh ke arah Linda. "Oh, benarkah? Dan bagaimana jika aku menjadi santapan naga? Aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan Komandan Leona yang cantik," ucapnya sambil tersenyum.

"Meskipun aku tidak mengenalnya, dia bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta. Jadi, lepaskanlah harapan yang tidak realistis," celetuk Linda.

"Huh! Komandan Leona hanya fokus pada tugasnya. Selain itu, pencapaianku dalam mengalahkan lima orc menunjukkan bahwa aku mampu menghadapi naga dengan mudah," ucap William bangga sambil menepuk dada kirinya. "Mengalahkan naga hanya akan menambah prestasiku."

"Bermimpilah selama kau punya kemampuan untuk mewujudkannya," kata Linda dengan nada rendah, sambil tersenyum sinis yang tak terbantahkan.

"Kalimatmu terlihat seakan meremehkan kesatria Amarta. Kau hanyalah bangsa elf yang memiliki derajat rendah di kalangan manusia pada umumnya!" ujar William dengan nada sungut, menanggapi ucapan Linda.

"Gadis elf itu menoleh dengan kerutan pada dahinya. "Setidaknya kami masih memiliki bangsa manusia yang tidak pernah membedakan ras, seperti Nirwana," ucapnya dengan tegas, menanggapi pernyataan William.

"Siapa itu Nirwana? Dan mengapa kalian memperbolehkan bangsa manusia menduduki pemukiman elf?" tanya Helena dengan rasa ingin tahu yang tajam, merespons dialog sebelumnya.

Pandangan Linda menatap lurus ke depan sembari berkata, "Beliau adalah seseorang yang tidak memandang rendah bangsa kami. Meski aku tidak mengenalnya, tapi aku tahu bahwa kelak ia akan menjadi pahlawan yang mampu mengharumkan nama bangsa," ucapnya dengan keyakinan yang kuat, mengekspresikan harapannya pada masa depan.

"Di lihat dari namanya, sepertinya ia bukan dari Ignea. Namanya terlihat asing..." ujar William sambil menebak-nebak, merespons dengan rasa penasaran.

"Tentu. Menurut informasi yang aku dapatkan dari Tiara dan sejumlah penduduk desa, kilauan cahaya putih telah melempar tubuh pemuda di hutan yang bertepatan tak jauh dari pemukiman desa. Tiara berusaha untuk menolongnya, dan kini mereka berdua tengah berjuang untuk melawan naga di desa kami," cerita Linda dengan penuh perhatian.

Helena menghelakan nafas panjangnya, kemudian berkata, "Jika memang cerita itu benar, maka cepat atau lambat kita akan segera bertemu dengannya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Nirwana mampu untuk menghadapi kemarahan naga yang tengah memporak-porandakan desa Altaraz?"

Suasana hening kembali tercipta kala derap suara langkah sepatu kuda menghentak di dasar tanah. Gadis elf tersebut hanya dapat menundukkan kepala.

"Entahlah. Namun aku dapat merasakan tekad yang kuat dalam dirinya untuk melindungi Tiara, beserta sejumlah warga desa. Aku sama sekali tidak mengenalnya, tetapi ia adalah sosok pemuda yang bijaksana dan peduli pada sesama," tuturnya dengan penuh keyakinan, menggambarkan penghargaannya terhadap sosok pemuda tersebut.

William menoleh pada Helena. "Nona..."

Gadis itu sontak mengalihkan pasangannya dan berkata, "William, alasan kita ditugaskan di perbatasan negara adalah, untuk melindungi bangsa elf yang tersisa. Aku tidak ingin melihat mereka memerangi kita sebagai bangsa manusia yang tidak terhormat. Apakah kau mengerti maksudku?"

"Maafkan aku," ucap William dengan penuh penyesalan.

"Kapten Steven tidak pernah mendidik kita untuk memandang rendah bangsa lain. Kita adalah prajurit yang mengabdi pada negara, dan sudah sepatutnya bagi kita untuk merangkul mereka semua. Kalimatmu adalah sampah, jika sampai Tuan Putri Elsa mendengarnya, maka kepalamu yang akan menjadi taruhannya."

Pemuda itu menghela nafas. "Helena, aku hanya membela diri."

"Pembelaan yang salah. Lagi pula, bangsa elf pernah membantu kita untuk memerangi negara Akatsuki dari timur. Jika kita melihat sejarah, justru mereka dan bangsa siluman adalah pasukan yang rela mati di garis depan hanya untuk mempertahankan kejayaan Amarta."

"Tapi-"

"William, aku harap kau bisa bersikap dewasa."

"Aku mengerti, Helena."