webnovel

Kenyataan Pada Pahitnya Kehidupan

Helena melangkah dengan hati-hati keluar dari kamar Nirwana, merasa lega setelah berhasil meninggalkan ruangan tersebut. Di sisinya, seorang pemuda yang anggun berjalan mengimbangi langkahnya dengan penuh keanggunan.

Saat sekelebat bayangan misterius melintas di udara, Helena tiba-tiba merasa terhenti dan terdiam di ruangan tengah. William, yang selama ini setia menemani Helena, juga ikut berhenti dan bertanya dengan penuh perhatian, "Ada apa, Helena? Mengapa kau berhenti?"

Helena kemudian fokus kembali pada mansion tua yang megah, dengan empat pilar kokoh yang menopang ruangan tengah itu. Lukisan-lukisan kuno, sofa yang elegan, dan vas bunga yang indah terpampang di atas meja, semuanya seolah-olah menguasai ruangan ini, menciptakan aura misteri dan keanggunan yang memikat.

Helena, enggan untuk menjawab pertanyaan dari temannya, hanya bisa memalingkan pandangannya ke arah jendela yang terbuat dari kaca berlapis. Meskipun ruangan tengah terasa sunyi tanpa hembusan angin yang masuk melalui jendela, Helena merasakan kehadiran aura yang kuat dan berbeda di sekelilingnya.

"Bayangan itu..." Helena berbicara hampir pada dirinya sendiri sambil menatap hampa ke arah pemuda yang berdiri di depannya. "Suara itu... mengapa selalu menghantui setiap langkahku..."

Ketika jemari hangat William menyentuh bahunya, Helena sedikit terkejut namun kemudian merasa tenang. William menganggukkan kepala dengan penuh pengertian dan berkata, "Kau akan baik-baik saja, anggaplah apa yang kau lihat hanya sebagai mimpi belaka."

"Terima kasih, William," ucap Helena dengan penuh rasa syukur.

Seorang lelaki gagah berani dengan sebilah pedang tergantung di pinggangnya memasuki ruangan tengah dengan langkah mantap. Suara ketukan keras dari sepatunya menarik perhatian Helena dan William, membuat keduanya memalingkan pandangan untuk melihat kedatangan sang prajurit.

Prajurit itu, yang mendekati pasangan kesatria tersebut, dengan gagah berani membungkukkan tubuhnya sebagai tanda penghormatan kepada Helena, mengakui keberadaan gadis itu yang memiliki gelar kesatria.

"Lapor, Nona Helena," ucap sang prajurit dengan penuh rasa hormat.

Helena, dengan kerutan kecil di dahinya yang menunjukkan rasa penasaran yang dalam, bertanya dengan suara datar, "Katakan, apa yang ingin kau laporkan?" Suaranya tenang namun penuh keputusan.

"Prajurit telah menemukan bangkai naga tanpa kepala yang tergeletak dekat pemukiman warga, Nona Helena," laporan itu disampaikan dengan tegas.

Ekspresi kaget terpancar jelas dari wajah Helena saat menerima berita tersebut, bola matanya melebar tanpa disengaja. "Tidak mungkin..." gumam lirih Helena, terdengar oleh William yang berada di sisinya.

William, dengan sorot mata tajam, menatap prajurit yang memberikan laporan tersebut. Dengan tegas, ia bertanya, "Siapakah dalang di balik kematian sang naga?"

Prajurit itu terdiam, menunjukkan ketidaktahuannya dengan sedikit gelengan kepala. Saat pintu perlahan terbuka, muncul seorang pemuda berpakaian kemeja putih yang memasuki ruangan.

Pemuda itu dengan mantap mengungkapkan, "Aku yang membunuh naga itu," suaranya mengiringi langkahnya menuju Helena, William, dan prajurit yang berdiri di depan mereka.

William spontan tertawa saat mendengar pengakuan tersebut, namun pemuda berambut cepak itu hanya menggelengkan kepala dengan rasa heran. "Berhentilah bermimpi, Tuan," ucapnya dengan nada menegur.

Nirwana, dengan sorot sendu di matanya, melihat pemuda yang sedang tertawa kepadanya. Meskipun demikian, ia hanya mampu menghadirkan senyum tipis sebagai tanggapannya.

"Jika aku berada di posisimu, apa yang akan kau lakukan ketika makhluk itu menghancurkan desa dan menelan banyak korban jiwa?" tanya Nirwana, menantang pemuda tersebut.

William terdiam sejenak, berusaha memasuki peran tokoh yang terlibat dalam insiden serangan tersebut. Ia mengakui kebingungannya dalam menghadapi makhluk itu. Di satu sisi, ia merasa tanggung jawab untuk melindungi warga desa dari ancaman yang mematikan.

"Dengan jujur, aku sedikit bingung," ucap William.

"Naga Aster adalah makhluk mitologi yang menakutkan bagi manusia. Jika aku harus memilih, aku lebih memilih pergi daripada harus mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan mereka." Sambungnya.

"Naga Aster adalah makhluk yang sangat ditakuti dan jika itu yang diajarkan oleh Amarta, maka mungkin lebih bijaksana untuk menghindar daripada menghadapi bahaya langsung," tambah Helena dengan penuh pertimbangan.

William menggeleng samar kepalanya. "Terkadang kita harus mengorbankan orang lain untuk menempuh jalan kehidupan yang lebih baik."

"Dan apakah kau akan membiarkan mereka menderita karena kobaran api yang melanda?" desak Nirwana, menantang William.

William terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab ketidakpastiannya.

"Jiwa patriot sejati adalah mereka yang mampu mengangkat martabat bangsa, bukan hanya menyaksikan penderitaan dan air mata, bahkan hingga kematian," lanjut Nirwana sambil tersenyum setelah duduk di sofa yang ada di ruangan tengah. "Seorang kesatria dinilai dari keberaniannya untuk melindungi yang lemah, bukan sekadar keahlian berpedang atau kegagahan fisik."

"Kau benar," William membalas, menyesali kata-katanya sebelumnya. "Aku mengakui kesalahan atas perkataan yang telah terucap. Maafkan aku."

Helena menatap William yang tampak sedih dengan kulit pucat yang semakin memudar. Ia sedikit bingung melihat perubahan pada rekannya, lalu perlahan menyentuh bahu William yang dilindungi lapis baja, sambil berkata, "Aku akan menunggumu di luar. Kita harus membuktikan kebenaran dari apa yang telah diucapkannya."

Saat Helena meninggalkan ruangan tengah, William spontan mengulurkan tangan dan memanggil, "Helena, tunggu!"

Helena menghela nafas dan menjawab, "Kita harus kembali ke basecamp sebelum matahari terbenam, dan melaporkan semua ini kepada Kapten Steven mengenai keadaan desa yang menimpa bangsa elfen."

William mengangguk mengerti, "Baik, aku mengerti." Mereka berdua kemudian bersiap untuk kembali ke basecamp dan melaporkan situasi yang mereka hadapi kepada Kapten Steven.

Pandangan William teralihkan pada jendela berlapis kaca sebelum menatap kembali punggung Helena yang beranjak pergi meninggalkan ruangan tengah. Sementara seorang prajurit dengan pedang di pinggangnya berjalan membelakangi gadis itu hingga sampai pada pintu utama. Kemudian, sorot mata William beralih pada Nirwana yang masih duduk di sofa.

"Tuan, siapakah sebenarnya dirimu? Apakah kau berasal dari negeri Amarta?" William bertanya, membuat Nirwana menggeleng.

"Tidak. Aku bahkan tidak tahu apa itu Amarta," jawab Nirwana.

Perkataan itu menimbulkan kecurigaan, sehingga William bertanya lagi, "Jika bukan dari Amarta, lalu dari mana asalmu?"

Dengan satu lengan terbalut kain putih yang menekuk di atas pahanya, jari-jari Nirwana menyentuh pelipisnya. "Sulit bagiku menjelaskannya. Aku berasal dari dimensi alam yang berbeda."

"Apa?!" terkejut William. "Lalu-apa tujuanmu datang ke kawasan Amarta?"

"Aku tidak tahu..." Nirwana berdiri dari sofa dan berjalan ke arah lukisan di dinding ruangan. "Ketika itu... aku sedang di perpustakaan dan tanpa sengaja menemukan sebuah buku di meja. Aku membacanya, lalu buku itu memancarkan aura dan cahaya yang menyilaukan. Ketika aku sadar, aku sudah berada di desa Altaraz."

"Ba-bagaimana mungkin?!" terbelalak William, matanya membulat sesaat.

Nirwana menoleh dengan sedikit senyuman. "Entahlah, semuanya terjadi begitu cepat sehingga sulit bagiku untuk menjelaskannya. Tapi itulah kenyataannya."

Langkah kaki yang terdengar kembali mengalihkan perhatian orang-orang di ruangan tengah. Seorang gadis remaja berkulit pucat dengan telinga runcing melangkah dari kamar Nirwana dengan anggun seperti seorang putri. Gadis itu bernama Tiara.

William mengerutkan dahi saat gadis itu mendekati Nirwana. Mata hijau Tiara melirik William sambil sedikit mengepalkan tangan di pahanya.

"Kenapa kau masih di sini, Tuan William?" tanya Tiara, memalingkan wajahnya untuk menghindari kontak mata yang terlalu lama. "Temanmu sudah pergi, kenapa kau tidak ikut pergi?"

"Kau mengusirku?" ucap William sambil menggaruk belakang kepala, alisnya sedikit terangkat dan senyum hambar terpancar di wajahnya.

"Tentu saja," jawab gadis itu dengan sedikit kerutan di bibirnya. "Aku tidak suka dengan kelalaianmu sebagai seorang kesatria. Kau bahkan mengintip saat kami sedang bersama. Apa maksudmu dengan itu?"

William merasa bingung dan akhirnya hanya bisa menelan ludah serta menghela nafas panjang.

"Pelakunya Helena, tapi mengapa aku yang disalahkan?" ucap William, mencoba mengelak dari kenyataan.

"Aku tahu bahwa manusia sering merendahkan bangsa elf. Kami sering dijadikan budak hawa nafsu dan ditinggalkan," kata Tiara dengan pahit.

"Aku memang manusia, tapi aku tidak seburuk itu. Berhentilah menyindirku, Tiara," sahut Nirwana.

William tertawa lebar, menunjuk ke arah Nirwana.

Nirwana menatap tajam, menunjukkan sedikit kerutan di dahinya. "Jangan berpura-pura! Kau sama seperti manusia di luar sana."

"Ah, itu adalah kenikmatan dunia, kenapa tidak?" kata William sambil tertawa.

"Dasar payah!" ucap Tiara sambil menggeleng pelan.