webnovel

Kecemburuan

Arany berjalan ke tempat apartemennya berada. Di sampingnya, berjalan seorang pria muda yang baru saja dia kenal beberapa saat yang lalu, Adit, yang juga sedang membawakan setengah barang belanjaannya.

Meskipun dia tidak banyak berbicara dan bersikap agak canggung dengannya, tapi Arany merasa bahwa dia adalah orang yang sangat baik dan tidak memiliki niat jahat kepadanya. Awalnya Arany berpikir bahwa Adit memiliki motif tersembunyi saat dia ingin membantunya membawakan barang belanjaannya. Akan tetapi, setelah mencoba berbicara dengannya, tak butuh waktu lama bagi Arany untuk menyadari bahwa Adit memang adalah orang yang baik.

Dia selalu mencoba menggunakan bahasa yang sopan dan memilih kata-kata yang tidak akan menyinggung perasaan Arany. Tapi karena cara bicaranya itulah yang membuat dirinya agak terasa canggung saat mereka berbincang, belum lagi dia hanya berbicara saat Arany menanyakan sesuatu padanya.

Arany menatap wajah dari Adit. Pemuda itu memiliki wajah yang cukup tampan. Jika harus dibandingkan dengan Raya, Arany merasa bahwa Adit memiliki wajah yang lebih tampan dari padanya. Mungkin hal itu karena dia mengenakan kacamata yang membuat Adit nampak lebih pintar dari pada Raya. Sejujurnya Arany lebih menyukai tipe lelaki yang menggunakan otaknya dari pada ototnya.

Saat berjalan bersama Adit, tanpa terasa Arany sudah sampai di depan gedung apartemen miliknya. Aranya berhenti tepat di depan pintu masuk gedung tersebut.

"Kurasa cukup sampai di sini saja!"

"Apa kau baik-baik saja? Aku bisa mengantarmu sampai ke pintu kamarmu?"

"Hnn.. Tidak usah! Cukup sampai di sini saja! Lagi pula, kalau kau sampai di depan kamarku, Aku takut tercipta rumor yang tidak baik di antara tetangga!"

Arany menggelengkan kepalanya saat Adit menawarkan untuk membawa barangnya sampai ke pintu kamarnya. Arany merasa tidak enak, jika harus terus meminta bantuannya, belum lagi dia juga tidak ingin Adit bertemu dengan Ayahnya yang mungkin saja sudah berada di dalam apartemennya saat ini. Ayahnya memiliki jam kerja yang tak tentu, terkadang dia akan pulang cepat, tapi terkadang dia tidak akan pulang sama sekali.

Arany memang merasa tidak enak dengan Adit yang telah membantunya, tapi dia tidak bisa membalasnya dengan menyajikan sesuatu di apartemennya.

"Begitukah... kalau begitu, Aku pergi dulu!"

Setelah menaruh barang belanjaan yang dia bawa, Adit segera berbalik dan berniat pergi dari sana, tapi Arany segera menghentikannya.

"Tunggu, Adit!"

"Ada apa?"

Adit kembali berbalik ke arahnya. Arany segera mengambil kantong berlanjaan yang berisi kue, lalu memberikannya pada Adit.

"Ini, sebagai ucapan terima kasihku!"

"Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja! Aku sudah merepotkanmu, jadi ini adalah hal yang wajar untuk dilakukan!"

Adit menerima kantong yang berisi kue tersebut. Dia tidak mengecek apa isi dari kantong tersebut dan hanya menentengnya dengan salah satu tangannya.

Saat Adit ingin kembali berbalik, Arany menghentikannya kembali.

"Tunggu dulu!"

"Apa lagi?"

Mungkin karena Arany terus menghentikannya yang ingin segera pulang, Adit saat ini nampak sedikit terganggu. Meski begitu, Arany nampak menghiraukan hal tersebut.

"Anu... jika boleh... apakah Aku boleh meminta nomor teleponmu?"

Arany meminta nomor telepon Adit dengan malu-malu dan wajah yang agak memerah. Ini adalah pertama kalinya dia meminta nomor telepon dari lawan jenisnya demi kepentingan pribadi dan bukan untuk urusan kerja, jadi dia sedikit gugup.

"Maaf, Aku tidak memiliki smartphone atau alat komunikasi lainnya!"

Sayangnya, Adit tidak memiliki alat komunikasi apapun. Dia bahkan menepuk semua kantong yang ada di pakaiannya untuk menunjukan bahwa dirinya memang tidak memiliki atau menyembunyikan alat komunikasi apapun saat ini.

"Begitukah...."

Meskipun rasanya agak aneh, jika pria muda seperti Adit tidak memiliki smartphone, tapi Arany tidak bisa melakukan apapun, jika dia memang tidak memilikinya.

"Maaf, Aku meminta sesuatu yang mengganggu!"

"Tidak masalah!"

"Sekali lagi, maaf.... dan terima kasih telah membantuku... Aku tertolong!"

Arany memberikan senyum kecil pada Adit yang hanya dibalas oleh anggukan dari pria muda itu. Saat Adit berjalan menjauh darinya, Arany mengangkat tangannya sedikit, lalu melambaikannya dengan pelan ke arah Adit berjalan.

Setelah sosok Adit sudah tidak terlihat oleh pandangannya, Arany mulai mengangkut semua belanjaannya sendirian. Memang agak merepotkan, tapi dia berhasil membawa semua belanjaan itu ke pintu masuk apartemen miliknya.

Saat dirinya memasuki apartemennya, dirinya langsung disambut oleh Raya yang tengah menyilangkan kedua tangannya dan menampilkan ekspresi wajah yang menakutkan. Melihat pria muda itu, Arany segera menurunkan barang belanjaan dan memasang wajah yang tak kalah menakutkannya dengan pria muda itu.

Perasaan senang yang dia rasakan langsung sirna begitu saja saat dirinya melihat wajah menyebalkan dari pria tersebut. Padahal waktu mereka pertama kali bertemu, dia tidak semenyebalkan ini.

"Siapa lelaki yang bersamamu beberapa saat yang lalu?!"

Raya bertanya dengan nada menginterogasi pada Aranya. Cara bicara dari pria itu sekarang telah memperburuk suasana hati Arany yang sudah buruk sejak beberapa detik yang lalu.

Ayahnya memilih kamar apartemen dengan lokasi yang dapat membuatnya dengan mudah mengawasi siapa saja yang masuk dari pintu depan atau hanya sekedar lewat, kau hanya perlu teropong dan kau bisa melihat mereka dengan sangat jelas, tapi karena mata Raya sudah terlatih, sepertinya dia bisa melihat Arany dan Adit dengan jelas, meski dari kejauhan, jadi dia pasti bisa melihat Arany dan Adit saat mereka berjalan menuju gedung apartemen. Benar-benar kemampuan yang sangat merepotkan di situasi seperti ini.

"Memangnya apa urusanmu?!"

"Apa urusanku!? Apa kau lupa bahwa Aku adalah tunanganmu!?"

"Sejak kapan kau menjadi tunanganku!? Aku tidak pernah setuju sekalipun untuk bertunangan denganmu dan kita juga tidak pernah melakukan upacara pertunangan! Jadi Aku bukanlah tunanganmu! Itu hanya keinginan dari pria tua itu!"

"Dan pria tua itu adalah Ayahmu! Bukankah seharusnya kau menghormati keinginan Ayahmu!?"

"Sama sekali tidak! Dia memang adalah Ayah kandungku dan Aku memang memanggilnya dengan panggilan Ayah, tapi Aku tidak pernah merasa bahwa dia adalah Ayahku yang sesungguhnya!"

Arany sadar bahwa apa yang baru saja dia katakan adalah sesuatu yang tidak baik, tapi dirinya memang tidak bisa merasakan bahwa Jagt adalah Ayahnya. Dia hanya seperti pria tua yang kebetulan memiliki hubungan darah dengannya. Arany tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah dari Jagt, tidak sekarang, tidak saat dia masih kecil.

Raya menatap tajam pada Arany yang juga dibalas oleh Arany dengan tatapan tajamnya. Mereka saling melotot selama beberapa detik.

"Jawab pertanyaanku! Siapa lelaki yang baru saja kau temui itu?!"

"Aku tidak memiliki kewajiban untuk memberitahumu!"

"Tentu saja ada! Meskipun kau menyangkal bahwa Pak Jagt adalah Ayahmu, tapi hal itu tidak merubah kenyataan bahwa kalian adalah Ayah dan anak... dan Pak Jagt sudah mempercayakanmu padaku, jadi Aku memiliki kewajiban untuk menjaga keamananmu!"

"Aku bukan anak kecil! Jadi Aku tidak memerlukan penjagaanmu!"

"Apa kau tahu bahwa di daerah sini dicurigai menjadi tempat persembunyian dari mahluk yang berbahaya! Kami sudah menemukan jejak rekamannya dari salah satu CCTV yang berada di kota! Dia bisa saja menyerangmu saat kau sendirian bersama orang yang tidak dapat dipercaya!"

"Mahluk berbahaya yang sedang kalian cari itu, anak-anak, kan?"

"Ya, tapi dia bukan anak-anak biasa! Dia bisa berubah menjadi monster yang sangat berbahaya dan ganas!"

"Apa kau benar-bener berpikir bahwa dia akan menyerangku dan orang lain!?"

"Ya, tentu saja!"

"Lalu apakah kau sudah menerima kabar bahwa ada orang yang diserang olehnya?!"

"Itu hanya masalah waktu! Sebelum dia akhirnya menunjukan sifat aslinya!"

"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu!? Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kau tidak pernah ingin mencoba mengerti orang-orang seperti mereka!?"

"Karena hal itu tidaklah berguna! Mereka semua sama saja! Mereka adalah mahluk buas yang tidak akan pernah bisa hidup bersama dengan manusia!"

"Apakah isi kepalamu telah dipenuhi oleh perkataan Ayahku?!"

"Jika benar, maka tinggalkan Aku sendiri! Aku tidak ingin berdekatan dengan orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan Ayahku! Cukup Ayahku yang memiliki pemikiran kejam seperti itu!"

Arany mencoba pergi dari hadapan Raya, tapi pria itu segera memegang bahu Arany dan menyudutkannya ke dinding.

"Apa yang kau lakukan!?"

Tentu saja Arany mencoba memberontak, tapi tenaga yang dimiliki oleh Raya sangat besar. Dia tidak bisa lepas dari cengkramannya.

"Memangnya apa salahnya dengan pemikiran seperti itu?! Jika kau naif, kau mungkin akan kehilangan nyawamu!"

"Lalu apa hubungannya denganmu, jika Aku kehilangan nyawaku!"

"Itu karena Aku khawatir denganmu!"

"A-apa!"

Arany nampak sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Raya sampai dia berhenti memberontak dari cengkramannya.

"Apa katamu!?"

"Aku khawatir padamu! Apakah Aku tidak boleh khawatir padamu!?"

Arany tidak menjawab pertanyaan Raya. Dia hanya terdiam sambil menundukan kepalanya.

"Jadi katakan padaku! Siapa lelaki itu?! Apa hubunganmu dengan dirinya?!"

"Itu tidak ada hubungannya denganmu, kan....?"

Kali ini Aranya menjawab pertanyaan Raya dengan suara pelan sambil memalingkan wajahnya. Entah kenapa, dia tidak bisa memandang wajah Raya saat ini.

"Tentu saja ada! Sudah kukatakan, Aku khawatir denganmu!"

"Apakah kau khawatir denganku ada hubungan dengan dirinya? Apa kau cemburu dengannya!?"

"Ya, Aku cemburu dengannya! Jadi Aku ingin tahu siapa dia!"

Arany kembali terkejut. Matanya melebar saat dia secara refleks melihat ke wajah Raya yang menatapnya dengan sangat serius.

"Bisakah kau mengatakan siapa lelaki itu?!"

Arany menatap lantai di bawah kakinya, lalu menjawab Raya dengan suara yang pelan.

"Dia hanya orang yang kebetulan kutemui di jalan! Kami tidak memiliki hubungan apapun! Dia hanya membantuku membawa barang belanjaanku!"

Raya kemudian menatap barang belanjaan yang dibawa oleh Arany. Jumlahnya memang terlalu banyak untuk dibawa oleh satu orang. Jadi mungkin Arany memang tidaklah berbohong.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak menghubungiku!? Aku juga bisa membantumu membawa barang belanjaanmu!"

Arany tidak menjawab pertanyaan Raya. Dia tidak pernah sekalipun berpikir untuk meminta bantuan pada siapapun. Bahkan satu-satunya alasan kenapa dia meminta bantuan pada Adit, itu karena pria muda itu duluan yang menawarkan bantuannya pada Arany.

Arany sudah terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendirian. Dia tidak pernah meminta bantuan pada orang lain untuk urusan pribadinya, bahkan sekalipun dia tidak pernah. Jadi meminta bantuan pada Raya tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya.

"Aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk meminta bantuanmu..."

Arany mengatakan isi pikirannya dengan suara pelan. Meski begitu, Raya dapat mendengarnya dengan jelas dan hal tersebut membuat perasaannya sangat sakit. Hal itu membuktikan bahwa Raya memang mencintai Arany.

"Arany, tolong tatap mataku!"

Arany dengan perlahan mencoba menatap mata Raya, setelah pria itu menyuruhnya melakukan hal tersebut.

"Apa?"

"Arany, Aku mencintaimu!"

"A-apa!"

"Aku mencintaimu!"

Saat Raya mengulang kembali perkataannya, dia mulai mendekatkan wajahnya pada Arany.

Bertepatan saat itu, Raya sedikit melemaskan cengkramannya pada bahu Arany, jadi dia bisa membebaskan diri dari cengkraman Raya.

Plak!

Arany menampar wajah Raya dengan sangat keras, sebelum pria itu dapat menciumnya.

Arany dibuat terkejut berkali-kali dengan aksi Raya, tapi sayangnya itu tidak dalam hal positif.

"Apa yang coba kau lakukan!?"

Arany bertanya dengan nada marah.

Raya tidak menjawab pertanyaan Arany. Dia hanya terdiam sambil menundukan kepalanya. Dia kemudian dengan perlahan menyetuh pipinya yang telah ditampar oleh Arany. Dia sendiri tak habis pikir tentang apa yang coba dia lakukan. Kenapa dia tiba-tiba ingin mencium Arany?

Arany kemudian pergi meninggalkan Raya sendirian. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Sementara itu, Raya kemudian terjatuh dengan kedua lututnya menyentuh tanah. Dia masih memegangi pipinya dengan pandangan yang tidak percaya.

Saat ini bukan hanya pipinya yang terasa sakit, tapi juga hatinya terasa sangat sakit. Air mata tanpa disadari telah jatuh dari kedua matanya. Meskipun Arany tidak mengatakan apapun tentang penyataan cintanya, tapi tamparan itu sudah menjawab semuanya dengan jelas. Arany baru saja menolak pernyataan cintanya secara tidak langsung.

Ini adalah pertama kalinya Raya mengalami patah hati.