Aku bingung harus bagaimana, aku mau panik namun aku tidak bisa. Aku mau menjerit aku sudah tidak kuat. Aku hanya bisa menangis.
Meratapi kenangan Ibuku yang membelaiku dengan irama kasih sayang. Menyelami kenangan Ayahku yang selalu memberikan nasehat yang bisa membuka hatiku.
Pikiranku tergelimang pada Ayah dan Ibuku. Haruskah aku pergi sekarang. Aku tidak kuat menghadapi ini.
Aku mencoba meyakinkan ini adalah mimpi namun ini kenyataan. Aku harus bagaimana ya Allah?
Aku semakin merapatkan pelukanku sementara ada tangan yang aku rasakan mengelus punggungku. Aku yakin itu tangan-tangan sahabatku.
"Fana, bilang. Ada apa? Kamu kenapa bisa menangis sampai kayak gini?"
Aku semakin terisak kuat. Entahlah hijabku sudah murat-marit tidak karuan. Tidak rapi seperti awal tadi. Air mataku sudah mengalir sangat deras. Hingga membasahi bahu Naina.
"Rumahku terbakar ...."
Naina melepas pelukan secara paksa. Lalu memegang ke dua pipiku sambil mengusap air mataku yang tersisah.
"Tenang, sabar. Ayah Ibumu tidak apa-apa kan? Ayo kita pergi ke rumah kamu."
Naina memelukku. Sementara Shafa aku lihat berlari menuju lantai bawah. Aku yakin, dia pasti mecari Rey.
"Fana, yang tabah ya. Kami tetap bersama kamu kok. Ayo bangun, kita harus cepat-cepat menuju rumah kamu."
***
"Ayah, Ibu ...."
Aku menjerit sekuat-kuatnya. Melihat ambulance yang membawa Ayah dan Ibuku pergi dalam keadaan luka bakar dan tidak sadarkan diri.
"Fana, ayo cepat. Kita harus ke Rumah Sakit Purnama sekarang!"
Aku di ajak berdiri oleh Shafa dengan Fani. Sementara Naina dan Aurel berada di belakang kami.
Sesekali aku melirik belakangku. Di sana nampak para pemadam kebakaran bergegas untuk memadamkan kobaran api yang masih menyalah tiada henti.
Hatiku membeku sakit, pikiranku sudah kacau dengan keadaan Ayah Ibuku yang dilarikan Rumah Sakit Purnama ditambah lagi kondisi rumahku yang terlihat semakin jelas berubah menjadi warna hitam keabuan.
Kaca-kaca lantai atas hingga lantai bawah pecah semua. Tirai-tirai terbakar dengan hebatnya. Dalam setiap celah yang terlihat hanyalah kemarahan api yang merajarela.
"Fana ... ayo!"
Arul menjemput kami. Sementara Rey sudah siap menjalankan mobil tinggal kami yang harus mulai menumpang.
"Kenapa rumah sebesar itu bisa terbakar?"
Aku mendengar suara para tetanggaku yang mulai menanyakan bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Aku memang menghirau, namun telingaku sudah terlanjur mendengar.
"Rumah itu terbakar karena ada kebocoran gas elpigi maka meledaklah gas itu dan api seketika menyebar."
Aku berhenti dan memperhatikan tanya jawab dari Ibu-ibu yang di sana kekepoan tinggi.
"Yang tabah Fana."
***
Tiba di rumah sakit. Aku berlari meninggalkan sahabat dan dua temanku.
Aku menuju ke ruang UGD yang sebentar lagi mau ditutup.
Aku berlari sekencang mungkin, namun ternyata UGD sudah tertutup ketika tiba di sana.
Aku melihat lampu merah mulai yang berada di atas ruang UGD itu menyalah.
Ayah Ibuku baik-baik sajakah? Resahku bertandang bersama derai air mata.
Ingatan-ingatan kenangan itu melesat ke mana-mana. Menari-nari di benakku tanpa henti.
Kecupan Ibuku, suapan Ibuku, senyum Ayahku kemudian suara lagu sholawat Ayahku.
"Fana ...."
Empat sahabatku itu menghampiriku. Iya, dua temanku itu juga.
Mereka rela tidak pulang demi aku. Biar bisa ada di sisiku. Aku memang harus bersyukur bisa memiliki mereka. Aku harus bisa yang namanya tegar. Berdoa kalau ini adalah ujian yang seperti nabi Ayyub, yang di mana ujian itu memang silih berganti. Namun akan berakhir dengan kehendak Allah.
Inikah yang dinamakan sakit hati? Luka terdalam yang aku lihat adalah melihat Ayah Ibuku dengan luka-luka bakar di bawa lari ke rumah sakit ini dengan nada ambulance yang meramaikan jalanan.
"Shafa. Kenapa ini bisa terjadi."
Aku terisak dalam pelukan Shafa.
Tiga sahabatku terpaku menghadap ke arahku. Dan entahlah Rey sama Arul berada di mana. Mataku malas memperhatikan tempat sekelilingku.
"Cup-cup, sabar Fana. Insyaallah baik-baik saja kok orang tuamu. Kamu tidak perlu cemas seperti ini."
"Bagaimana tidak cemas, Shafa. Aku melihat orang tuaku seperti tadi sangat membuat aku terpukul. Aku sangat takut terjadi hal buruk Shafa."
Tangisku semakin meledak. Shafa hanya bisa mengelus pungunggku dengan tangan kananya.
"Sudah Fana, jangan menagis terus. Kamu doa yang banyak."
***
Lampu berwarna merah itu akhirnya sudah mati. Ya Allah bagaimana keadaan Ayah Ibuku?
"Pak, bagaimana Ayah dengan Ibu saya?"
Aku seketika berdiri dari tempat dudukku.
Menghadap ke dokter seperti orang yang tidak waras dan lebih tepatnya seperti orang yang stress berat.
Tentunya air mataku sudah berlinang amat banyak dan bahkan air mata yang sempat keringpun terbanjiri oleh air mata baru.
Bahkan hijabku sudah murat-marit tidak tertata berbeda jauh dengan aku yang semula berangkat untuk belajar kelompok tadi.
"Maafkan kami, kami sudah berusaha. Namun Allah sudah berkehendak lain."
Deg.
Hatiku terasa goyah seketika. Salah dengarkah aku?
Aku berharap dokter yang ada di depanku ini mengatakan kabar yang membuat aku tenang.
Namun apa yang saat ini aku dengar, apakah kebenaran? Tidak. Jangan pernah. Tolong jangan katakan itu.
"Maksud dokter itu apa?"
Hatiku gelisah penuh taburan kebimbangan.
Di sini aku merasa sangatlah tidak percaya apa yang dikatakan dokter. Untuk itu aku meyakinkan diri untuk menanyakan maksud dokter kembali.
Ya Tuhan, apakah ini mimpi? Tolonglah jangan sampai terjadi apa-apa dengan Ayah Ibuku.
"Ayah dan Ibu kamu sudah meninggal dunia. Maafkan kami, kami sudah berusaha. Namun Allah berkehendak lain."
Sudah. Tolong hentikan mimpi ini.
Aku ingin membenturkan kepalaku di dinding. Namun tidak, aku tidak akan melakukan itu.
Aku meremas ujung hijabku. Lalu memegang ke dua telingaku yang seperti tiada mau diberikan jawaban yang lainnya lagi.
Apa ini kenyataan?
Mimpi apa ini? Ayo, bangun Fana. Jangan di mimpimu.
Aku mencubit lengan kiriku dengan cubitan yang sakit dan aku merasakannya. Ini nyata. Ya Allah, kenapa ini kenyataan.
"Shafa ... aku tidak punya orang tua lagi Shafa ...."
Aku menangis dan memeluk Shafa. Aku ingin memukul punggungnya untuk pelampiasan. Namun aku tidak bisa melakukannya. Aku sudah lemah. Aku ingin menangis. Aku ingin menghampiti langsung Ayah Ibuku.
"Sabar Fana ... sabar ...."
Semua sahabatku mendekat dan mereka ada yang mengelus punggungku, ada yang menghapus air mataku. Ada juga yang menatapku dengan pandangan kalut. Ada juga yang memelukku semakin erat yaitu Shafa.
Aku samar-samar memperhatikan Rey dengan Arul. Mereka terpaku dalam diam nan tak bisa apa-apa. Sementara tangisku tidak akan aku tahu kapan akan berhentinya.
Kenangan Ayah Ibuku berkali-kali lewat dan sepertinya kenangan itu ingin mendekapku.
Kenapa aku tidak ikut saja dengan Ayah Ibuku? Aku ingin bersama Ayah Ibuku. Mengapa semua terasa begitu cepat.
Ayah Ibu, aku tidak cukup dewasa untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Aku masoh membuatuhkan kalian berdua.
***
Di mana ini?
Ruangan dingin tertutup berchat hijau pupus dengan langit-langit putih bercampur keemasan, seketika terlihat di mataku yang sedikit merabun.
Bukan rabun, apakah aku habis pingsan?