webnovel

Kecelakaan

Bab 4

Waktu terus berjalan, kehamilanku juga semakin membesar. Jika tak ada aral melintang, dua bulan lagi aku akan melahirkan. Lalu operasi keperawanan dan selesai. Tugasku sebagai pabrik anak untuk Pak Arfan dan Bu Mia akan berakhir.

Tak sabar rasanya menanti saat itu tiba, aku sudah rindu sekali dengan kedua orang tuaku. Mereka juga sama, setiap menghubungiku mereka selalu bertanya kapan aku akan pulang.

"Kamu baik-baik saja di sana kan, Nduk?" tanya ibuku saat telponan kami yang terakhir.

"Alhamdulillah, Bu. Aku baik kok. Ibu jangan khawatir. Aku pasti akan pulang," jawabku.

"Syukurlah, soalnya ibu khawatir. Ayah kamu sering mimpi buruk tentang kamu. Katanya, wajah kamu dilempar kotoran manusia oleh orang tak dikenal."

Deg!

Kata-kata ibu membuatku terdiam. Apakah akan terjadi sesuatu di luar kendaliku? Mimpi itu, kalau tidak salah artinya aku akan malu di depan orang. Rasanya tidak mungkin, rencana yang disusun oleh Pak Arfan sudah cukup sempurna.

"Bilang sama Ayah, jangan selalu risau, Bu. Itu hanya bunga tidur saja," kataku meyakinkan Ibu.

"Heem, Ibu juga berharap seperti itu, Nduk. Yang penting kamu jangan macam-macam di sana. Jaga diri dan sikap kamu," pesan ibu.

"Iya, Bu," jawabku dengan suara tercekat.

Aku merasa sangat sedih karena telah membohongi orang yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Namun, aku juga terpaksa melakukannya. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar.

Sebelum mengakhiri panggilan, beliau kembali menasihatiku yang hanya bisa dijawab dengan anggukan saja.

Selesai bertelepon, aku merasa haus dan kebetulan air minum di kamarku sudah habis. Kulihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Dengan malas, aku pun beranjak turun dan berjalan keluar dari kamar.

Suasana di ruang tengah sudah gelap gulita. Hanya ada cahaya dari kamarku yang menerangi jalanku menuju ke dapur. Aku pun segera melangkah ke dapur, tenggorokanku sudah sangat kering.

"Ah, segar sekali," gumamku saat segelas air putih telah berpindah ke dalam perutku.

Kuiisi kembali gelas tadi dan membawanya ke dalam kamar untuk stok jika nanti merasa haus lagi.

"Kamu itu hanya cemburu, Ma. Mana mungkin aku suka dengan Intan."

Langkahku terhenti saat mendengar lamat-lamat suara Pak Arfan dari ruang kerjanya.

"Dia sedang berbincang dengan siapa?" tanyaku di dalam hati.

Perlahan aku melangkah mendekati ruangan kerja Pak Arfan yang terletak di dekat tangga menuju ke lantai dua.

"Mama gak suka, ya, Pa. Kalau Papa suka perhatian sama Intan!"

Kali ini terdengar suara Bu Mia yang sepertinya sedang marah. Aku berhenti di depan pintu ruangan kerja Pak Arfan.

Sepertinya mereka sedang membicarakan aku, karena tadi Bu Mia sempat menyebut namaku. Apa Bu Mia cemburu karena sore tadi Pak Arfan membantu mengambilkan ponselku yang terjatuh di lantai.

Aku gak bisa mengambilnya karena perutku ini menghalangi aktifitasku.

"Mama itu salah sangka. Papa hanya membantu mengambilkan ponsel Intan yang jatuh, Ma. Perutnya kan sudah besar, jadi dia susah untuk menunduk."

Pak Arfan terdengar membela dirinya, karena memang itu yang terjadi sebenarnya.

"Pokonya Mama gak mau hal itu terulang lagi. Biar saja dia melakukan kegiatannya sendiri. Jangan terlalu dimanja. Sebentar lagi juga dia harus segera pergi dari sini. Kalau anak itu sudah lahir, Mama mau kita pergi menjauh. Ke luar negeri kalau perlu, jadi si Intan itu gak bisa melihat anaknya lagi!" seru Bu Mia masih dengan nada tinggi.

Ya, Allah! Jadi itu maksud Bu Mia sebenarnya. Ternyata perhatian baiknya padaku selama ini karena dia hanya ingin anak yang ada di dalam perutku ini saja. Setelah itu, mereka akan membawanya jauh dari aku.

Padahal aku juga tak mungkin membawa anakku nanti, orang-orang tahunya aku belum menikah jadi tak mungkin kalau aku membawa bayiku.

"Mama, Intan juga gak akan mungkin membawa anaknya. Dia belum emniakh, dia juga mau hamil karena kita paksa, kan?" kata Pak Arfan membelaku.

"Halah, Pa. Apa kamu gak tahu bagaimana pikiran orang miskin macam Intan itu. Dia pasti akan mencari cara agar bisa terus mendapatkan uang dari kita. Mama cuma gak mau, kalau nanti dia dikit-dikit minta uang sama kita!"

Aku semakin sedih mendengar kata-kata Bu Mia. Dia menganggap aku akan memanfaatkannya anakku nanti untuk memeras mereka. Sungguh kejam tuduhan Bu Mia padaku.

Apa dia tak tahu kalau aku mau, waktu kemarin Pak Arfan menyerahkan kebebasan untuk meminta uang padanya, aku hanya meminta seperlunya saja.

"Itu gak akan terjadi, Ma. Yakinlah," bujuk Pak Arfan.

"Tidak! Pokoknya Mama mau Intan menjauh dari kehidupan kita nanti. Titik. Kali perlu dia mati saja, jadi nanti tidak akan ada yang datang menuntut anak kita lagi selalu dia sudah dewasa!"

Deg!

Kepalaku seketika merasa pusing mendengar doa Bu Mia untukku. Dia hanya ingin bayi ini. Bahkan dia mendoakan aku untuk mati aja.

"Ma jangan begitu doanya, gak baik," bujuk Pak Arfan lagi.

"Sudahlah, Pa. Mama gak mau membahas hal ini lagi. Mama mau tidur?"

Aku pun berbalik mendengar langkah kaki Bu Mia menuju ke pintu. Kemudian aku melangkah tergesa dalam kegelapan ruang tengah. Aku tak melihat ada genangan air di dekat lemari hias.

Aku pun terpeleset dan lalu jatuh tertelungkup. Perutku terhempas ke lantai lalu rasa sakit mulai kurasakan di sekitar perutku.

"Aduh!" keluhku tanpa bisa berdiri sendiri.

Aku merasa sesuatu yang basah mengalir dari pangkal pahaku. Rasa sakit semakin menjalar membuat perutku terasa kram.

"Intan, kami kenapa?"

Aku mendengar langkah tergopoh dari Bu Mia. Dia berteriak memanggil suaminya dengan histeris.

"Papa! Intan jatuh ini, darahnya banyak sekali. Cepat, Pa!" serunya dengan cemas.

Darah? Aku berdarah? Tiba-tiba lampu ruang tengah pun hidup dan aku pun jadi bisa melihat daster yang kukenal sudah berubah warna menjadi warna merah di bagian bawah.

Aku Arfan dengan sigap mengangkat dan membawaku ke dalam mobil. Kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke ruang sakit.

Bu Mia memangku kepalaku sambil menyuruhku untuk kuat. Aku hanya bisa meringis menahan sakit tanpa bisa menjawab.

Perjalanan menuju ke rumah sakit kali ini sangat lama kurasakan. Padahal biasanya hanya memerlukan waktu setengah jam saja.

Rasanya sudah berabad lamanya barulah kami sampai ke rumah sakit. Aku segera dibawa ke IGD oleh dokter yang berjaga. Setelah dilakukan pemeriksaan, mereka memutuskan untuk melakukan operasi karena aku sudah kehabisan tenaga dan darah.

Bayi yang dikandung harus segera dikeluarkan karena sudah kehilangan banyak darah. Entahlah, aku hanya bisa pasrah mendengar penjelasan dokter pada Bu Mia dan Pak Arfan

Bersambung.