webnovel

Dijodohkan

Bab 5

Lima tahun kemudian.

Aku baru saja pulang dari pasar, kedua tanganku penuh dengan belanjaan mingguan. Ibu menyambutku di depan pintu kemudian mengambil belanjaan yang kubawa.

Kami pun menuju ke dapur. Aku mengambil segelas air kemudian duduk di kursi santai yang ada di dapur.

"Tadi aku ketemu sama Mbah Wiryo, Bu. Dia kirim salam, Minggu depan mau menikahkan cucunya. Tadinya mau ke sini, tapi karena sudah bertemu denganku, dia hanya intip salam saja. Soalnya masih harus berkeliling ke tempat lain, katanya," beritahuku pada Ibu yang sedang sibuk membongkar belanjaan yang aku bawa tadi.

"Hmm." Ibu hanya menggumam saja.

Aku mengernyitkan dahi mendengar gumaman Ibu. Gak bisanya dia seperti itu. Biasanya ada saja yang ditanyakan jika aku pulang dari pasar.

Sejak aku kembali ke kampung lima tahun yang lalu, aku bekerja di perkebunan teh pak Dayat, salah satu orang terkaya di kampungku.

"Bu," panggilku dengan ragu.

Ibu menoleh sebentar lalu kembali asyik dengan kegiatannya tadi.

"Ibu kenapa? Apa ibu sakit?" tanyaku dengan khawatir.

Ibu menghentikan kegiatannya lalu ikut duduk di kursi di depanku.

"Kamu kapan menikah, Nduk? Ibu malu setiap hari disindir sama tetangga," kata Ibu dengan wajah sedih.

Sekarang aku tahu mengapa dia hanya berdiam diri saja sejak tadi. Ternyata dia habis dibully tetangga julid dekat rumahku. Masalah aku yang belum menikah sampai sekarang yang selalu jadi bahan ejekan mereka.

Terkadang aku merasa heran dengan pola pikir tetangga di sekitar rumahku ini. Apa hanya karena aku belum menikah di usia tiga puluh tahun ini yang membuat mereka resah.

Aku saja yang menjalani santai saja. Kenapa mereka yang jadi heboh dan ikut risau jadinya?

"Ibu gak usah mendengar ucapan mereka! Ngapain juga ikut campur hidup aku?" kataku kemudian dengan ketus.

Ibu tampak menghela napas panjang lalu melihat padaku dengan tatapan sedih.

"Ibu ingin menimang cucu dari kamu, Nduk," ucapnya lirih.

Kalau sudah begitu, aku tak bisa bicara lagi. Aku pun berdiri lalu berlutut di depan ibu.

"Aku juga inginnya cepat menikah, Bu, tapi mau gimana lagi. Jodohku belum ada," kataku pada akhirnya.

Ibu mengelus pucuk kepalaku dengan lembut kemudian tersenyum bijak. Ibuku pasti mengerti kalau sudah katakan kalau jodohku belum ketemu.

Mau gimana lagi, memang seperti itu keadaannya.

"Ya, sudahlah. Kita masak saja, yuk!" ajakku kemudian.

Kami pun meneruskan aktivitas kembali tanpa mengungkit masalah tadi. Biarlah semuanya berjalan seperti adanya, aku yakin jika jodohku pasti ada. Hanya saja saat ini dia sedang tersesat di hati orang lain.

_____

Keesokan harinya, aku bekerja seperti biasa di perkebunan teh milik Pak Dayat. Bersama para ibu di kelompokku, kami bekerja dengan giat. Sambil sesekali bercanda serta bersenda gurau.

Para ibu di kelompokku ini semuanya baik hati. Mereka paham akan situasinya, sehingga tak pernah ada pertanyaan atau sindiran yang menyakiti hatiku. Namun, lain lagi dengan para ibu di kelompok sebelah.

Mereka kerap melontarkan sindiran yang aku tahu ditujukan padaku, tapi aku pura-pura tak tahu saja. Bagiku omongan mereka seperti gonggongan anjing yang tak perlu aku dengarkan.

"Eh, kamu sudah dapat undangan Mbah Wiryo belum?"

Seorang ibu di kelompok sebelah bertanya pada rekannya. Aku yang berisi tak jauh dari mereka masih bisa mendengar dengan jelas suara mereka berdua.

"Sudah, katanya dia mau menikahkan cucunya yang masih berumur dua puluh tahun, ya?" Rekannya menyambut pertanyaan ibu tadi.

Hatiku mendadak tak enak, aku tahu kalau setelah ini pasti mereka akan menyindir keadaanku.

"Wah, masih muda sudah menikah saja ya. Kasihan banget yang sudah menuju gua belum laku juga," sahut ibu tadi.

Benar, kan? Tebakanku tak pernah meleset. Aku pun segera bergeser ke posisi yang jauh dari mereka berdua. Kulihat mereka melirikku sambil saling mengikuti lembaga temannya.

Biarkan saja, aku tak akan ambil pusing omongan mereka. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku dengan tekun sampai tiba waktunya pulang.

Setelah mengerjakan hasil petikan hati itu, aku pun bersiap untuk pulang. Saat aku keluar dari area perkebunan, tak sengaja aku bertemu dengan Pak Dayat dan istrinya.

Aku sedang mengendarai sepeda sambil melamun saat itu. Hampor saja sepeda yang kunaiki menyenggol mobil mereka Pak Dayat yang juga akan keluar dari area perkebunan. Aku pun segera turun dan meminta maaf pada Pak Dayat dan istrinya.

"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," kataku sambil menunduk.

"Tidak apa, Nduk. Siapa nama kamu?" tanya Bu Dayat.

"Saya Intan, Bu. Sekali lagi saya minta maaf," jawabku masih sambil menunduk.

"Ah, tak apa. Lagi pula gak kena, kan?" Kali ini Pak Dayat yang bicara.

"I-iya, Pak. Terima kasih kalau begitu. Saya pamit, sudah sore," pamitku.

"Hmm, kami juga pamit, ya. Mau menjemput anak di terminal," jawab Bu Dayat.

Aku pun menepikan sepedaku, agar mobil Pak Dayat bisa lewat. Setelah mereka berlalu, aku kembali mendayung sepeda menuju ke rumah.

Dua hari kemudian, aku baru saja kembali dari masjid setelah menunaikan salat Isya bersama Ratih, gadis kecil sebelah rumah.

"Kok rumah Mbak Intan ramai begitu, ada tamu, sepertinya," kata Ratih sambil menunjuk ke rumahku.

Memang benar, rumahku kelihatan ramai. Sepertinya ada tamu jauh, karena aku melihat ada mobil terparkir di halaman rumah. Namun, sepertinya aku mengenal mobil itu, tapi di mana, ya?

"Mungkin tamu Ayah sama Ibu, kakak masuk dulu, ya," pamitku pada Ratih.

Ratih mengangguk kemudian bergegas berjalan menuju ke rumahnya yang berada setelah rumahku.

Aku sendiri melangkah ke dalam ruang dengan ragu. Hatiku mendadak tak enak, pasti akan ada kejadian setelah ini. Suasana di dalam ruang ramai oleh obrolan orang tuaku dengan tamunya.

"Assalamualaikum," salamku seperti biasa jika masuk ke dalam rumah.

Sontak percakapan mereka terhenti dan kini pandangan mereka tertuju padaku.

"Waalaikumsalam, ayo masuk, Nduk. Ini ada tamu ingin bertemu dengan kamu," jawab ibuku.

Aku pun melangkah masuk dan terkejut melihat tamu yang menungguku. Ternyata Pak Dayat bersama istrinya. Juga ada seorang pria seumuranku yang hanya duduk di kursi sudut sambil memandangku dengan tajam.

"Pak Dayat, ada apa, Pak. Apa saya melakukan kesalahan?" tanyaku takut.

Pak Dayat dan istrinya tertawa kemudian mengajakku ikut duduk bersama mereka.

"Gak ada, Nduk. Kami hanya ingin bersilaturahmi saja kok, oh, ya. Perkenalkan, ini Gupta, anak kami yang baru pulang dari tugas belajar di luar negeri," jawab Pak Dayat sembari mengenalkan pria yang sejak tadi hanya diam saja.

Pria bernama Gupta tadi pun berdiri lalu menyalamiku, tetap tanpa senyum. Berbeda jauh dengan Pak Dayat dan istrinya yang murah senyum.

Bersambung