webnovel

Program Yang Berhasil

Part 3

Seperti janji Pak Arfan, keesokan harinya aku sudah bisa mengambil uang sebanyak yang aku inginkan. Namun, aku tak mau serakah, aku hanya meminta sesuai biaya yang diperlukan untuk operasi Ayah dan ditambah sedikit untuk keperluan ibuku selama masa penyembuhan ayah nantinya.

"Alhamdulillah, sekarang ayahku bisa segera dioperasi," ucapku dalam hati.

Kugenggam dengan erat plastik hitam berisi uang puluhan juta yang baru saja kuterima dari bendahara kantor. Ku memang snwgaj meminta uang cash karena di kampung tak ada ATM seperti di kota. Kalaupun ada, letaknya jauh dari di ibukota kabupaten yang jaraknya sangat jauh dari rumahku.

Aku pun pulang ke kampung untuk mengantarkan uang tersebut dan ayah pun segera dioperasi.

Setelah Ayah selesai dioperasi, aku pun pamit pada kedua orang tuaku. Pada mereka aku berbohong kalau tidak akan pulang selama setahun ini karena akan di kirim tugas belajar di luar negeri.

Itu semua kulakukan atas saran Bu Mia. Karena dia tak ingin kedua orang tuaku tahu akan apa yang terjadi padaku. Bagiku itu masuk akal juga, lagipula setelah melahirkan nanti, keperawanan ku akan segera dipulihkan dengan operasi juga. Jadi, tak ada seorang pun yang tahu akan kehamilanku nanti, selain kami bertiga tentunya.

"Baik sekali bos Tempat kamu bekerja itu, Nduk. Mau memilih kamu untuk tugas belajar di luar negeri. Ibu sama ayah sangat bangga mendengarnya," ucap Ibu saat mengantarku kepergian ku di stasiun kereta api.

Hatiku terasa sakit sekaligus sedih mendengar kata-kata ibuku.

"Maafkan anakmu ini, Bu. Sudah membohongi kalian semua, tapi aku terpaksa. Semuanya kulakukan agar ayahku segera sembuh," batinku.

"Kamu, kok, malah bengong toh, Nduk," kata Ibu lagi.

Aku tersenyum dan berkata kalau aku sedang memikirkan bagaimana nanti hidup di negeri orang. Ibu memberiku semangat agar tetap kuat dan bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Tak lama kereta api yang kutunggu pun tiba. Aku pun berpamitan pada ibuku, tak lupa aku meminta doa padanya agar aku diberi kekuatan selama jauh dari mereka.

Kereta pun segera melaju meninggalkan Ibu dan semua kenangan akan kampung halaman yang tak mungkin akan dilupakan.

______

"Kamu jangan jauh-jauh dari kami, ya, Intan! Nanti kamu tersesat, lagi pula kamu gak bisa bahasa Inggris, kan? Gimana kamu mau bertanya pada orang sekitar kamu, nanti."

Aku hanya bisa tersenyum mendengar semua kata-kata Bu Mia. Memang gak salah, aku tak bisa berbahasa Inggris. Jadi lebih baik kututupi saja pesannya tadi.

Kami sedang berada di ruang sakit yang cukup terkenal di Singapura untuk menjalani program bayi tabung seperti rencana mereka semula.

Bu Mia tak mau kalau sampai Pak Arfan meniduriku harga bisa hamil. Itu sama saja dengan zina. Sementara kalau harus menikah siri itu sangat merepotkan kata Bu Mia. Jadi jalan satu-satunya, aku akan hamil melalui proses bayi tabung.

Proses yang aku sendiri tak tahu bagaimana cara kerjanya. Aku hanya menuruti dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh dokter yanga dan di ruang sakit tersebut.

Setelah proses itu selesai, kami tak langsung pulang. Pak Arfan dan Bu Mia mengajakku tinggal di sebuah hotel yang sangat mewah. Tentu saja aku menginap di sebelah kamar mereka berdua.

Aku sangat menikmati liburan di kota Singapura, meskipun Bu Mia kerap kali mengingatkan aku untuk banyak beristirahat dan tidak boleh terlalu capek.

Aku gak mau melewatkan kesempatan untuk mengelilingi kota Singapura yang terkenal dengan surga belanjanya kaum hawa itu. Meskipun aku hanya lihat-lihat saja, tapi terkadang Bu Mia membelikan aku berbagai barang branded yang selama ini cuma aku lihat di televisi atau Instag**m beberapa artis ternama saja.

Lumayanlah untuk simpanan jika kelak aku sudah selesai dengan tugasku yang satu itu. Hamil untuk Pak Arfan dan Bu Mia.

Satu bulan kemudian.

Di suatu pagi, aku terbangun dengan rasa mual di perutku. Sambil berjalan terhuyung-huyung aku melangkah tergesa ke kamar mandi. Sampai di sana, aku memuntahkan semua isi perutku agar rasa mual itu hilang.

Tubuhku terasa lemas dan tak bertenaga. Aku panik, apa lagi kepalaku rasanya pusing dan pandanganku pun mulai berkunang-kunang. Segera saja aku menghubungi Bu Mia, tapi baru saja panggilanku diterima, kesabaranku mendadak menghilang.

Pandanganku menggelap, masih sempat aku mendengar teriakan Bu Mia memanggil namaku. Lalu semuanya gelap.

Saat aku membuka mata kembali, keadaan di sekelilingku berubah. Sepertinya, aku sedang berada di dalam ruangan di rumah sakit.

"Kamu sudah sadar, Intan. Syukurlah, saya senang sekali!" seru Bu Mia dengan bahagia.

Dia memelukku sambil mengucapkan terima kasih terus menerus. Tentu saja aku jadi bingung dengan sikap Bu Mia padaku. Apa yang sudah kuperbuat sehingga dia begitu gembiranya.

Aku masih dalam mode bingung dan tak paham dengan kebahagiaan Bu Mia, saat seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan. Beliau langsung memeriksaku, kemudian berbinvang dengan Pak Arfan dan Bu Mia.

Aku hanya memandang mereka dengan bingung, karena aku tak mengerti sama sekali dengan apa yang mereka bicarakan.

Setelah selesai berbincang, Bu Mia mengatakan kalau aku sudah berhasil hamil. Mendengarnya, spontan aku meraba perutku yang masih rata.

Benarkah aku sudah hamil? Pantas saja, aku merasa sangat mual dan pusing tadi.

"Aku sudah hamil, Bu?" tanyaku lagi untuk meyakinkan hati saja.

"Iya, Sayang. Sekarang kamu sudah hamil. Mulai sekarang, kamu harus menjaga betul-betul kandungan kamu ini," jawab Bu Mia sembari mengulas sebuah senyum manis di bibirnya.

Aku pun membalas senyumannya. Entah aku harus merasa senang atau sedih dengan keadaanku ini. Jika banyak orang harus kerja keras banting tulang untuk mencukupi kebutuhan perutnya, sedangkan aku ... justru perutku yang akan mencukupi kebutuhanku.

Sungguh miris hidupku sekarang. Namun, lagi-lagi karena ingat Ayah, aku kembali semangat menjalani semuanya.

Seminggu kemudian, setelah pemeriksaan yang cukup detail dan melelahkan, akhirnya kami diperbolehkan kembali ke Jakarta oleh dokter yang merawatku selama di rumah sakit.

Menurut Bu Mia, untuk pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan di Jakarta saja. Aku ikut saja apa kata Bu Mia.

Seperti perkataan Bu Mia dulu, aku pun harus tinggal di rumah mereka selama kehamilan sampai aku melahirkan nanti. Selama tinggal di ruang mereka, aku diperlakukan layaknya ratu.

Apa pun yang aku minta, pasti mereka akan menurutinya. Namun, aku tak mau terlalu memanfaatkan keadaan. Jika bukan karena permintaan calon bayi yang ada di dalam perutku, aku takkan meminta macam-macam pada mereka.

Kehamilanku juga tak begitu menyusahkan, hanya muntah di pagi hari saja yang menggangguku. Selebihnya, aku tak merasakan apapun.

Bersambung.