"Makan ya makan aja kali,gak usah jaim begitu."
Erra mendengus, setelah dibantu mas-mas ganteng di Masjid tadi kini ia terduduk di UKS sambil nikmatin roti sama susu kotak. Sedari tadi ia merutuki nasibnya, baru aja sembuh dari yg namanya patah hati. Sekarang eh ia malah ketiban sakit di kaki. Naas banget.
"Mas.. Aku baru aja sembuh,sekarang udah sakit lagi." ujar Erra tanpa mengalihkan pandangannya dari roti coklatnya. Ia masih asyik melahapnya, mungkin lapar juga. Mas-mas ganteng yang lagi sibuk perawatan luka itu hanya menggumam.
"Ceroboh."
"Bukan ceroboh mas,aku ini kurang ati-ati aja. Makanya keseleo."
Adnan,pria yang sudah bertemu Erra dua kali itu menghela nafas sembari memasang plaster pada luka di lutut Erra.
"Kurang hati-hati itu definisi ceroboh,neng."
"Neng,emangnya tukang baso."
Setelah selesai perawatan luka, Adnan lantas mengambil langkah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Mau kemana mas?" tanya Erra cepat-cepat. Adnan menghentikan langkahnya, ia berbalik.
"Keluar."
"Yang jagain saya nanti siapa?"
"Ada Bu Kayla, kalo butuh apa-apa tinggal bilang. Saya masih banyak kerjaan."
"Saya mau balik ke kelas aja,mas." ucap Erra sembari menurunkan kakinya dari bed.
"Entar sama Bu Kayla,ya."
"Kenapa enggak sama mas aja?"
"Saya kan ada urusan. Udah ya,saya tinggal dulu." pamit Adnan,ia lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Erra. Namun baru saja ia sampai ambang pintu, Erra memanggilnya.
"Mas.."
Adnan berhenti melangkah, ia menengok.
"Mas,stetoskop yang aku pinjam maaf ya belum bisa aku balikin."
Adnan mengangguk,ia kembali melanjutkan langkahnya namun Erra lagi-lagi menghentikannya.
"Mas, makasih ya."
"Hmm.."jawab Adnan tanpa berbalik, lantas Adnan melanjutkan langkahnya.
Erra mengembuskan nafasnya, ia menaikkan kembali kakinya. Erra menyandarkan punggungnya ke tembok. Roti yang ada di tangannya sudah ia simpan.
Air matanya menetes, membasahi pipinya.
Erra memegang dada kirinya, ia meremasnya erat. Pikirnya sudah melayang jauh pada sosok yang selalu ada diingatannya.
"Mas.. Rama.." ucap Erra lirihnya, air matanya sudah deras mengalir.
Erra menyeka air matanya perlahan, lalu ia membenarkan posisi duduknya menjadi merebah.
"Seandainya.."
"Bocah."
Atensi Erra beralih pada suara yang tak asing di pendengarannya. Matanya tertuju pada seorang pria yang sedang berdiri di dekat tirai. Pria itu mendekat,lantas berdiri di sampingnya.
Rama. Dia mas Rama.
"Kenapa nangis? Saya nyariin, ternyata kamu disini."
Erra terdiam.
"Ra.."
"Erra." koreksi Erra.
"Iya,Erra. Kamu kenapa?"
Erra duduk,ia menatap lurus. Tanpa sedikitpun melihat ke arah Rama. Sekarang perasaannya campur aduk.
"Mas ngapain kesini?"
"Saya nyariin kamu." ujar Rama, ia menarik kursi di belakangnya. Lalu ia mendudukan bokongnya.
"Erra.." panggil Rama,Erra tak bergeming.
"Aku gak mau ketemu sama mas Rama." ucap Erra pelan,matanya kini menatap Rama yang ada di sampingnya.
"Aku gak mau,karena aku gak pengen nambah luka. Mas ngertikan?"
Rama terdiam.
"Ra.. Saya minta maaf."
"Maaf tidak akan mengubah status kita,mas. Maaf tidak akan mengubah semua yang telah terjadi. Jadi,lupakan saja."
Air mata Rama menetes saat Erra memalingkan pandangannya.
"Lupakan bahwa kita saling mengenal. Jadilah orang asing."
"Erra.."
"Mas,jalani saja hari-hari mas seperti biasanya. Bersama Nayara, dan masa depan yang sudah kalian angan-angankan." ucap Erra, suaranya bergetar karena menahan tangis. Cukup sudah Rama membuatnya terluka. Cukup. Yang kemarin saja belum kering.
"Ra.."
"Aku ingin hidup seperti sebelum mengenal mas Rama. Menjadi Erra yang suka bikin rusuh dan juga gak selemah ini. Mas bagiku itu virus. Virus yang sudah membuat duniaku berubah begitu cepat. Dan sekarang aku ingin membasmi virus itu,dengan cara melupakan dan menjauhimu."
Rama bangkit dari duduknya, ia menatap nyalang Erra yang ada di hadapannya. Nafasnya memburu. Perasaannya,seperti ada yang aneh.
"Itu yang kamu mau?" pertanyaan yang terdengar dingin itu membuat Erra menoleh. Gadis itu mendapati Rama dengan aura yang berbeda.
"Iya.." jawab Erra,Rama menyunggingkan senyum masam.
"Tapi,yang saya inginkan kamu tetap bertahan memperjuangkan saya."
"Mas Ramaaa!"
Erra terbangun dari tidurnya, keringat sudah membasahi pelipisnya. Nafasnya memburu.
Mimpi.
Erra memegang dadanya yang berdegup kencang. Bahkan air matanya pun benar-benar membasahi pipi seperti bukan sebuah mimpi.
"Tapi,yang saya inginkan kamu tetap bertahan memperjuangkan saya."
-
"Kamu masih disini?"
Erra menoleh ke arah Adnan yang baru saja melangkah masuk. Pria berkemeja putih itu menyerahkan sebuah kresek. Erra menerimanya.
Kening gadis itu berkerut.
Lagi?
"Mas bawain aku roti sama susu lagi?" tanya Erra, Adnan mengangguk sembari menarik kursi. Adnan duduk.
"Makanlah."
"Nanti aja,mas. Makasih ya udah perhatian." ucap Erra, ia tersenyum manis pada Adnan.
Hening.
Tak ada yang bicara.
Sampai Erra teringat sesuatu. Hm. Gadis itu turun, lalu menghadap ke arah Adnan.
"Mas,stetoskop dimana?"
"Stetoskop buat apa?"
"Nanti aku kasih tahu, sekarang stetoskopnya dimana?"
"Di lemari sana."
Erra melangkah tertatih ke arah lemari yang ditunjukkan Adnan. Ia mengambil stetoskop yang dimaksudnya. Lalu berjalan ke arah Adnan lagi. Erra menggunakan stetoskop berwarna biru tersebut,lalu mengarahkan alat pendengar denyut jantung itu ke dada Adnan.
Adnan yang sedang bermain handphone terkesiap. Pria berwajah tampan itu menatap Erra, tertegun.
Deg
Deg
Deg
"Aku melakukan ini,di ruangan yang hanya ada kita berdua."
Adnan tertegun dengan mata yang tak berpaling. Pria itu seperti tercekat. Menelusuri setiap inci wajah manis di depannya, rambut yang tergerai,alis dan matanya yang indah, hidung minimalisnya,juga bibir ranumnya.
Astaghfirullah..
Adnan berpaling.
"Dia mencekal tanganku, mengatakan ini dosa, itu dosa." ucap Erra yang kini telah menjauhkan diri dari Adnan. Adnan menoleh.
"Mas,menikahlah denganku."ucap Erra begitu saja, tanpa beban. Erra menyimpan stetoskopnya ke bed, gadis itu lantas berdiri di hadapan Adnan. Menatap pria yang baru saja di kenalnya beberapa hari yang lalu. Erra ingat,Adnan adalah pria yang Erra bilang jodohnya di perpustakaan waktu itu.
Mungkin di pikirannya Erra pernah terbesit jika tak mendapatkan Rama,Adnan pun jadi.
"Menikahlah denganku mas,jadikan aku istrimu. Lalu bimbing aku."
Adnan beranjak dari duduknya,ia menghela nafas lalu mengusak surai Erra.
"Ah.. Tidak semudah itu adik kecil. Ayo, saya antar kamu pulang." ucap Adnan sembari berlalu. Erra merengut.
"Mas.."
"Jangan merengek."
"Tapi adik ingin cepat mas nikahi." ucap Erra sembari mengikuti langkah Adnan dengan menenteng kresek dan tas di gendongannya.
"Jangan terburu-buru, kamu belum lulus sekolah." ujar Adnan, Erra yang mendengarnya seketika tersenyum sumringah. Beneran ini Adnan mau menikahinya?
"Mas serius mau nikahi aku?"
"Enggak."
"Ih.. Nyebelin. Nanti kalau mas nikah sama aku, aku bakalan nerima mahar berapapun yang mas kasih." ucap Erra sembari menaik turunkan alisnya, Adnan beriuh jijik.
"Mimpi!" ucap Adnan sambil menggetok kepala Erra menggunakan kunci motornya.
"Mas Rama sakit."
Langkah Adnan seketika terhenti. Ia menoleh ke arah Erra yang sedang mengusap kepalanya.
"Rama?"
"Huh? Rama apa? Rama Sinta?" tanya Erra, gadis itu lantas menurunkan tangannya. Raut wajahnya seketika berubah.
Kenapa bisa-bisanya Erra menyebut nama itu? Nama orang yang sudah membuat ia terluka,ah.. Erra cepatlah lupakan Rama. Mungkin Rama tercipta bukan untukmu.
"Mas,maaf.. Aku,aku.."
"Kamu lagi ada masalah sama pacar kamu?" tanya Adnan,mimik wajahnya pun ikut berubah. Entah karena apa, tapi rasanya ada, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat Erra menyebut nama orang lain padanya.
Apa jangan-jangan, Erra juga mengatakan ingin menikah dengan orang yang bernama Rama bukan dengan dirinya?
Ah..
Adnan tidak tahu.
"Aku gak punya pacar, mas."
"Lalu Rama itu?"
"Dia bukan siapa-siapa aku,mas."
"Kamu manggil saya mas, memangnya kamu sudah kenal banget sama saya? Nama saya aja kamu gak tahu,udah sok-sok an SKSD." cibir Adnan yang membuat Erra terkekeh seketika.
Benar juga ya,dari tadi Erra manggil Adnan 'mas' sampe kek orang udah kenal dekat. Tapi nyatanya, nama sang empu aja kagak tahu. Haduh,Ra.. Ada ada saja kamu.
"Hehe.. Namanya juga pdkt."
"Pdkt lambemu, neng. Ayo buruan naik, saya tinggal baru tahu rasa." ucap Adnan setelah ia naik ke motor ninjanya, Erra merengut. Gadis itu bersidekap.
Emang cowok itu, enggak yang ini enggak yang itu sama aja.
"Mas,gak liat apa? Aku ini pake rok minim, masa disuruh naik motor yang tingginya kayak gini? Nanti kalau ada laki-laki yang mencuri kesempatan dalam kesempitan gimana?"
"Huft.. Makannya pakai rok itu yang panjangan. Jangan yang minim kayak gitu." ucap Adnan menasehati. Erra hanya terdiam mendengarkan.
"Mau nganterin pacar pulang, Nan?"
Suara berat, yang tak asing di pendengaran Erra seketika membuat tubuhnya mematung.