webnovel

CHAPTER 13 - Penundaan Tiba-tiba

Sudut Pandang Eireen

Hari ini merupakan hari yang kunantikan. Ya, meski awalnya aku sempat melupakannya.

Apa kau ingat si robot perawat wanita yang kutemui setelah latihan level satu?

Ya! Dia lah yang mengingatkan diriku bahwa hari ini aku sudah terbebas dari belenggu perban yang menutupi hidungku. Sebenarnya dia tidak datang menghampiriku, melainkan perkataannya tersebut seketika terbesit di otakku di kala diriku sedang melamun menatap cermin.

Diriku yang lama pun akhirnya kembali.

Darah yang awalnya mengalir seperti sungai itupun tidak terlihat lagi walaupun efek dari memar itu masih ada seperti hidungku masih memerah seperti menggunakan riasan wajah.

"Masa bodo dengan itu. Yang penting aku sudah kembali!" batinku bergembira.

Setelah bersiap-siap dan sarapan paling awal dari yang lainnya. Aku pun bergegas menuju lantai dasar untuk memulai latihan. Tentunya kali ini latihan dengan hidung pulih. Kapan lagi coba sebelah aku berusaha menahan malu atas penampilanku karena memar?

Aku berjalan seorang diri dengan santai.

Tiba-tiba pandanganku beralih ke sosok Ivona yang tengah mencari seseorang dengan menoleh ke sana kemari. Ia membelakangiku.

"Kenapa dia sendiri di sini, ya?" batinku bertanya-tanya atas kehadirannya.

Langkahku terhenti seketika.

"Ivona," panggilku.

Meski suaraku agak mengecil, tapi gedung ini mampu merambat suaraku menjadi besar hingga terdengar di pendengarannya. Ivona pun berbalik arah dan menatapku.

"Eireen, akhirnya!" serunya yang langsung menghampiriku secara tergesa-gesa.

"Ada apa, Ivona?" tanyaku bingung.

"Aku telah mencarimu ke sana-kemari," jawabnya.

Lalu kedua mataku tertuju pada sebuah amplop putih di genggamannya.

Sepertinya ia menyadari atas tatapanku, robot wanita berpakaian perawat itupun langsung memberikanku sepucuk amplop dari genggamannya.

"Dari Pelatih Theo, untukmu," ucapnya.

Aku terkejut. Kedua mataku membulat. "Eh?"

Aku pun mengambil amplop tersebut dan tertera nama "dari Theo Zephyr untuk Eireen Imrgard".

Aku sempat membolak-balikan amplop tersebut, mencari sesuatu yang menarik perhatianku. Namun nyatanya di baliknya kosong, hanya putih. Akan tetapi, diriku penasaran dengan isi di dalamnya.

"Tumben sekali Pelatih Theo memberikanku surat...," batinku.

"M—makasih, ya, Ivona," ucapku.

"Kapanpun!" ucapnya sambil tersenyum. "Baiklah, aku kembali mengerjakan kewajibanku, ya."

"Baiklah," ucapku.

Tak lama kemudian bertepatan Ivona melangkah menjauh dariku, si sepasang kembar Andrea dan Andrei datang menghampiriku yang masih berdiam diri.

"Eireen, sedang apa kau berdiam di sini?" tanya Andrei sambil menepuk bahuku pelan.

Tatapan Andrea tertuju kepada Ivona yang telah membelakangi kami. "Kau habis mengobrol bersama dia, ya—siapa, sih aku lupa namanya."

"Ivona," ucap Andrei.

"Nah, iya dia!" ucap Andrea.

"Kalian kenal?" tanyaku.

Mereka berdua mengangguk serentak. Lalu berkata, "Tentu saja. Dia lah yang merawat kami pasca operasi micro-chip."

"I—iya juga, sih. Kan dia memang merawat semua anak saat itu," kataku.

"Omong-omong, surat apa itu?" tanya Andrei yang salah fokus.

"Ini...," Pandanganku ikut tertuju pada secara amplop di genggamanku. "Mari kita lihat."

Perlahan kubuka amplop putih itu dan mengeluarkan secarik surat dari dalam. Kulebarkan hingga memanjang yang menampilkan tiga baris paragraf isi kalimat.

Untuk Eireen, Andrei, dan Andrea.

Selamat pagi. Kuharap pesan ini dapat dibaca oleh kalian, ya.

Aku minta maaf atas penundaan susulan materi kalian yang akan dilaksanakan sore pukul 16.00 nanti dikarenakan aku mendapatkan sesi pengawasan pada kelas pagi untuk ujian strategi. Ini berlangsung selama seminggu, ya.

Kuharap kalian tidak keberatan dan tidak lupa. Terima kasih.

Salam,

Theo Zephyr

"HAH DITUNDA SAMPAI SORE?!!" seru sepasang kembar berteriak hingga memekakkan kedua telingaku.

Diriku yang berada di antara mereka langsung spontan menutup kedua telingaku.

"Andrea, Andrei telingaku bisa-bisa tuli kalau kalian berteriak seperti itu!" gerutuku sambil melihat mereka silih berganti.

"Maaf!" seru mereka serentak dengan nada melas.

"Baiklah baiklah," ucapku kemudian menghela napas. Tatapanku kembali ke kertas yang berada di genggaman tangan kananku.

"Aku baru tahu nama panjangnya Pelatih Theo," ucapku.

"Iya sama. Aku kira Pelatih Theo hanya punya satu nama saja," ucap Andrei.

"Jadi, um, kita ngapain sekarang?" tanya Andrea membahas hal lain.

Aku yang sedang melipat kertas itu dan dimasukkan kembali ke dalam amplop putih itu menatap tatapan Andrea yang ikut menatapku dan Andrei. Aku hanya terdiam.

"Makan?" ucap Andrei.

"Tadi udah makan, masa makan lagi," kata Andrea menolak.

"Ke taman?" ucapku memberikan saran.

"Taman?" tanya Andrea bingung. Kedua matanya menatap ke atas sambil menjentikkan jari di dagunya. "Oh, maksudmu taman yang pertama kali kita mengusulkan materi susulan kepada Pelatih Theo?"

Aku mengangguk. "Benar sekali!"

"Wah boleh itu!" seru Andrea bersemangat.

"Aku ngikut kalian," ucap Andrei.

Kami bergerak menuju lokasi taman di sebelah Utara gedung—tempat yang pernah didatangi Pelatih Theo beberapa hari lalu.

Kulihat wajah Andrea yang bersemangat meskipun tujuan kami yaitu ke taman, tapi ekspresi raut wajahnya seakan-akan disuguhi mainan seperti anak kecil. Sementara itu, Andrei tidak menunjukkan raut wajah yang signifikan, yakni menikmati tiap langkah dan energi yang diserap di pagi yang cerah ini.

Setibanya di sana, kami pun disuguhi pemandangan taman yang terang dan Indah. Cahaya mentari pagi yang menyinari tiap dedaunan dan kelopak bunga yang seolah-olah berbaris menghadap matahari. Kami pun berpencar menikmati suasana taman ini.

Aku tidak tahu seberapa luasnya taman ini, ya bisa diperkirakan ini seluas ruang tamu rumah mewah.

Andrei dan Andrea berjalan menyusuri taman dengan menyentuh setiap tanamannya dan terkesima. Sedangkan diriku hanya melihat-lihat tanpa menyentuhnya.

Setiap tanaman diberikan nama ilmiahnya masing-masing sehingga diriku pun tahu tanaman tersebut. Lalu setiap kelopak dan daunnya pun terlihat segar sebab setiap hari selalu diurus, entah sepertinya Pelatih Theo atau pengurus kebun khusus jika aku menebak-nebak.

Selain itu pun aku melihat air mancur otomatis yang berada di atas tiap tanaman dalam bentuk pipa besi. Hal itu kerap menjaga tiap tanaman selalu segar.

Seperti di dunia dongeng rasanya.

Wangi setiap tanaman memnacarkan harum tersendiri yang menjadi pembeda salah satunya. Ini sungguh membuatku candu.

"Pantas Pelatih Theo suka di sini," batinku.

Beberapa langkah, akhirnya diriku menemukan sebuah bangku panjang yang menghadap ke pemandangan taman dan cahaya matahari pagi. Aku pun memutuskan untuk terduduk di sana sembari aku menikmati hawa hangat. Di sisi lain, bangku merupakan tempat favoritku di kala aku lelah berjalan di suatu tempat.

Aku termenung menatap ke depan.

Seketika suatu pikiran terbesit di otakku menjadikan kedua mataku membulat.

"Oh iya! Aku lupa menuliskan surat untuk ayah!"

Aku menghela napas.

"Lagi-lagi kau lupa, Eireen," gumamku.

Aku langsung meraih secarik kertas dari buka catatan andalanku dari balik tas karung yang kubawa. Dengan sebuah pensil dan kertas yang diletakkan di atas buku, kutulis kalimat yang muncul di otakku.

Tanpa kusadari, mulut ini ikut bergumam sambil menuliskan tiap kata di sana.

Kini tas karung itu sebagai meja tempatku menulis.

"A—yah, ma—af—kan a—ku ya—ang te—lat me—ngi—ri—mu pe—san," lirihku.

"Halo,"

Sontak aku langsung menoleh ke sampingku secepat kilat.

"M—maaf aku tidak bermaksud untuk mengganggumu, tapi bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya Andrei pelan.

"Boleh kok boleh, silakan," ucapku sambil menggeser dan memberinya ruang untuk duduk.

Ia pun terduduk di sampingmu. Pandangannya sekilas menatap kertas di bawah jari-jemariku. Lalu beralih ke wajahku.

"Di mana Andrea?" tanyaku bingung sambil menoleh ke sana-kemari.

"Dia sedang asyik bermain bersama kupu-kupu," katanya sambil menunjuk ke belakangnya. Seketika wujud Andrei muncul sambil menyentuh kupu-kupu biru itu dan tertawa riang. "Jadi aku memutuskan untuk duduk dan biarkan dia bebas berkreasi saja."

"Oh, baiklah," Pandanganku beralih ke secarik kertas di atas tasku di padaku dan mulai menulis kembali.

Tidak ada percakapan di antara kami.

Hingga di tanda titik terakhir. Lalu diriku pun berkata, "Selesai!" secara tiba-tiba.

Pensil yang sedari tadi kugenggam itu dimasukkan kembali ke dalam tas, kemudian kertas itu kulipat menjadi dua lipatan dan diselipkan ke dalam buku agar tidak menghilang. Setelah itu, kuletakkan ke dalam tas sehingga tak ada lagi barang-barang yang bertumpu di pahaku.

"Kau sedang menulis untuk siapa?" tanya Andrei penasaran menoleh ke arahku.

"Untuk ayahku," jawabku. "Aku berhutang waktu karena aku lupa dan sejak aku tidak sadarkan diri selama sebulan penuh sehingga aku tidak bisa menulis surat untuknya dengan cepat."

"Tidak apa-apa," ucap Andrei sembari menoleh ke depan. "Lebih baik telat daripada tidak, bukan?"

"Lagian ayahmu pasti tetap senang mendapatkan kabar dari anaknya."

"Ya, aku harap begitu," ucapku. "Omong-onong, kau bijak sekali. Berbeda dari biasanya."

Andrei menoleh ke arahku dengan terkejut. Lalu wajahnya ditutup dengan telapak tangan kanannya. "Aku punya dua kepribadian."

"Dua kepribadian??" tanyaku.

Andrei mengangguk dengan posisi semula. "Aku punya sisi kekanak-kanakkan di depan Andrea, aku juga punya sisi dewasa atau biasa saja di depan orang-orang sepertimu."

"Namun sisi dewasa itu aku hanya bisa dilihat orang-orang. Aku tidak bisa merasakannya. Maka dari itu aku terkejut ketika kau bilang begitu," jelasnya.

"Apakah ada yang pernah mengatakanmu seperti ini sebelumnya?" tanyaku.

Ia menggeleng. "Baru kau."

"Oh, kirain," ucapku.

"Aku lebih banyak diam sama orang baru, selain diriku bersama Andrea," lanjutnya.

"Oh baiklah," ucapku. "Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang memiliki dua kepribadian."

"He—eh tapi kau jangan menyebutku terang-terangan dua kepribadian juga kali. Itu terdengar buruk tahu!" gerutunya.

Aku tertawa kecil. Lalu berkata, "Iya deh, terserah kau saja."

"Omong-omong apakah kau tahu bagaimana cara kirim pesan ke luar daerah ini?" tanyaku pada Andrei.

"Uhm, kalau itu sih aku tidak tahu, ya, aku juga belum begitu familiar dengan dunia dimensi empat ini," jawab Andrei.

"Ah iya juga, ya. Kenapa aku bertanya dengan orang yang masih baru sama denganku," kataku tertawa kecil.

"Tunggu aku sudah ahli di dunia ini, baru deh kau bisa bertanya-tanya padaku," katanya.

"Mau sampai kapan?" tanyaku padanya sambil menggodanya dengan melirik tajam ke arahnya.

"Tanya kepada daun yang bergoyang," jawabnya.

"Aih, ada-ada saja berbicara denganmu," ucapku.

Andrei hanya terkekeh sambil menampilkan senyumannya. Kemudian tatapannya kembali mengarah ke depan sambil mengamati pemandangan pagi.

"Mungkin kau bisa bertanya pada Pelatih Theo nanti," katanya. "Atau Ivonna."

"Baiklah," ucapku singkat. "Rencananya setelah latihan hari ini."

"Kemarin Cio ulang tahun, ya?" tanya Andrei.

Aku langsung menoleh ke arahnya dan membulatkan kedua mataku. "Kau kenal dengannya?"

"Iya, kami sempat berkenalan saat awal kelas," jawab Andrei. "Dia lelaki yang tampan dan ramah. Kuyakin banyak perempuan yang menyukainya."

Aku terdiam.

"Aku tahu dia kemarin berulang tahun. Ya, sekedar tahu saja."

"Lalu kulihat kau merayakan ulang tahunnya dengan yang lain ya? Itu terlihat seru!" lanjutnya.

"Kenapa kau tidak ikut bergabung saja kemadin?" tanyaku.

"Tidak usah, aku lebih senang berdua saja dengan Andrea," jawabnya.

"Bukan berarti aku antisosial. Aku hanya menghormati keinginan Andrea. Aku tidak ingin dia sendiri dalam keramaian."

"Tapi—"

"Dia tidak merasakan demikian denganmu. Dia bilang bahwa kau adalah teman yang berbeda di mana kau kerap mengajak ngobrol tidak dengan satu orang saja misal denganku saja begitu," jelasnya.

"Ia sudah menganggapmu sebagai saudarinya malah."

Aku terdiam sejenak.

"Ya, aku senang mendengar hal itu," ucapku.

"Awalnya aku merasa kesulitan berteman dan aku menjadi korban bullying saat kecil sehingga aku memutuskan untuk tidak bersekolah lagi.

"Namun di saat pelatihan simulasi ini, aku justru menemukan banyak teman yang sekiranya mau berteman denganku. Aku bersyukur atas hal itu ...,"

"Termasuk kehadiran kau dan Andrea," lanjutku.

Kami pun saling bertatapan agak lama dan tersenyum.

Kedua mata hijaunya yang terkena pembiasan cahaya mentari itu menyala dan berbinar. Bintik hitam transparan itu mewarnai setiap sudut wajahnya. Ekspresi wajahnya memancarkan ekspresi tersenyum sedikit ragu.

"Andrei, Eireen! Kemarilah!" panggil Andrea tiba-tiba.

Tanpa disadari dirinya berdiri beberapa jarak tepat di sampingku. Wajahnya seolah-olah memancarkan adanya sinyal informasi penting.

Sontak kami berdua menoleh ke arahnya dan berjalan menghampirinya.

"Lihatlah!" ucapnya kembali sambil menunjuk ke sebuah tanaman bunga matahari yang dipasangkan sebuah kawat yang berdiri tegak dengan secarik foto tua yang sudah sedikit hancur dengan beberapa bagian yang menghilang.

Tampak foto anak kecil tersenyum gigi sambil menunjukkan sebuah ikan trout besar menghadap kamera.

Kedua mataku Terbelalak. Seketika sekujur tubuhku terdiam kaku.

"Bocah ini persis seperti bocah laki-laki di mimpiku!" batinku bergejolak diiringi dengan jantungku yang berdebar-debar kencang seperti adanya kepanikan yang menjalar dalam jiwaku.

Seketika suhu tubuhku naik. Kurasakan menggigil menerpa tiap sendi tubuhku. Terasa seperti adanya sesuatu yang akan meledak.

Andrei dan Andrea yang menyadari tingkahku pun menoleh ke arahku dengan seksama.

"Eireen, apa kau baik-baik saja?" tanya Andrei bingung.

"Eireen, kau mimisan!" seru Andrea. Seketika ia melangkah mendekat ke arahku.

"A—aku harus ke toilet. Aku akan kembali dalam beberapa menit," kataku panik sembari berlari keluar taman.

Terdengar sayup Andrea meneriakkan namaku. Namun suaranya menggema dan tidak jelas.

Aku tidak peduli dan menghiraukan.

Aku terus berlari sekencang-kencangnya mencari toilet wanita sambil menahan darah keluar lebih banyak dari hidungku.

"Sial!" gerutuku.

Beberapa langkah, akhirnya aku menemukan toilet wanita yang bersembunyi di balik koridor gedung. Suasana pun sepi sehingga mendukung privasiku. Aku langsung membilaskan hidungku.

Kemudian dengan kedua tangan bersimpuh di wastafel dan punggung yang condong ke depan, dengan wajah menatap cermin di hadapanku. Aku berusaha menetralisasikan nafasku yang tersengal-sengal itu.

"Tenang, tenang. Kau bisa tenang," ucapku, berusaha menenangkan diriku di tengah kekacauan yang menerpa.

Namun, wajah bocah lelaki itu semakin kuat di pikiranku sebab dari segi struktur wajah, rambut, dan postur tubuhnya pun sama dengan di dalam mimpiku.

"Siapa dia?!" batinku bertanya-tanya. Ingin mendapatkan jawaban sekarang. Akan tetapi, mustahil.

Akhirnya aku pun mengurungkan niatnya untuk mendapatkan jawaban itu secara instan. Tanpa sadar aku terduduk dengan lutut bersimpuh ke ubin toilet serta dengan wajah lesu.

Air mata seakan-akan sudah mengering dari kelopak mataku. Tidak ingin menampilkan wujudnya. Kini hanya seprrti perasaan hampa menerpa di hatiku terdalam.

Selama beberapa menit aku berusaha menenangkan diriku. Melupakan sejenak apa yang telah menjadi faktor panik ini terjadi. Akhirnya perasaan tentram ini muncur berangsur-angsur dan membuat diriku kembali seperti semula. Darah yang mengalir itu pun terhenti.

Setelah dirasa sudah membaik, aku pun bangkit dan kembali membilaskan wajahku menghapus sisa-sisa darah mimisan yang membekas. Setelah itu, aku berjalan keluar dari toilet wanita yang sepi dan remang itu dengan merangkul tas karung. Aku berjalan dengan pelan, tentu dengan tatapan mata mengarah ke depan yang agak kosong sebab masih terasa lemas dengan apa yang terjadi padaku hari ini.

Beberapa langkah yang cukup memakan waktu beberapa menit inipun akhirnya tiba di taman. Tampak Andrei dan Andrea yang sedang mengobrol serius. Namun setibanya diriku di sana, pandangan mereka mengarah padaku dan menghampiriku. Sorot kedua matanya memancarkan kekhawatiran.

"Eireen, kau baik-baik saja?" tanya Andrei khawatir.

Aku mengangguk disertai senyuman yang dipaksakan meskipun tubuhku sebenarnya lemas. "Tentu saja aku baik-baik saja."

"Lihatlah, tidak lagi mimisan, kan," kataku sambil menunjuk ke arah hidungku.

Andrei dan Andrea mengangguk lemah. "Baiklah."

"Jujur, kami panik kau tiba-tiba berlari seperti tadi."

"Maafkan aku, tiba-tiba aku merasa lelah, energiku terkuras seketika sejak kita latihan tiap hari berturut-turut," kataku berbohong. Diriku tidak ingin melihat mereka khawatir terhadapku dan mengetahui yang menimpaku sebenarnya.

"Kau tidak perlu meminta maaf kepada kami," ucap Andrea. "Yang terpenting, kau sekarang sudah baik-baik saja."

"Katakan pada kami apabila kau ada masalah. Sebisa kami akan membantumu," ucap Andrea.

Aku tersenyum sambil menepuk pundak mereka. "Makasih."

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts