webnovel

CHAPTER 14 - Materi Susulan (Asah Ingatan)

16.05

Level selanjutnya setelah level Checkpoint Pertama, yakni berkaitan dengan Asah Ingatan.

Kini diriku berada di hamparan padang pasir yang tandus namun berangin. Meskipun berangin, tapi tidak menimbulkan kabut.

Aku berdiri memantau sekitar.

Tidak ada kehidupan di sini. Juga, tidak adanya kejanggalan. Ya, itu pasti terjadi di awal-awal. Tidak tahu beberapa menit ke depan.

Debu dari pasir yang terbawa angin itu sekali-kali ingin memasuki ke kelopak mataku hingga kedua mataku perih dibuatnya. Dengan kedua tanganku diangkat berusaha menerpa angin dan pasir itu untuk melindungi pandanganku.

Ternyata dugaanku pun benar.

Tiba-tiba terdengar suara dentingan disusul dengan cahaya lampu beriringan. Dentingan tersebut membentuk suatu nada yang tersebar di beberapa bagian pasir di sekitarku. Ada yang muncul jauh, ada yang dekat hingga membentuk suatu jalur membentuk zig-zag. Hal itupun menyuruhku untuk terus memerhatikan alur dentingannya. Selama tiga kali dentingan pelan, kemudian terdiam dan kembali hening.

"Sepertinya sudah bisa kulakukan," batinku.

Aku langsung melompat ke arah dentingan tersebut berbunyi, lalu melompat ke sisi sebelah kanannya dan menuju lompatan ke depan. Setelah itu diriku kembali terdiam.

Seketika muncul kembali suara dentingan yang sama dalam enam kali dengan ritme sedikit lebih cepat. Kali ini jalur zig-zag nya lebih kuat.

Otakku pun dipaksakan untuk menyerap ingatan lebih serius kali ini. Sempat kedua mataku agak pusing.

Setelah dentingan itu berakhir, aku kembali bergerak melompat sesuai jalur detingan tersebut. Hampir meleset dikarenakan tidak sengaja menginjak sol sepatu kiriku. Akan tetapi, aku berhasil melewatinya.

"Yosh!"

Nafasku tersengal-sengal. Lelah mulai terasa. Aku tidak tahu sampai kapan level ini. Yang terpenting, aku harus berhasil melewati ini.

Suara dentingan kembali terdengar, kali ini lebih cepat dalam delapan kali.

NING

NONG

NONG

NONG

Seperti itulah kira-kira suaranya.

Seluruh irama itu pun semakin mantap masuk ke otakku.

Tak lama kemudian suara dentingan itu berhenti, menandakan waktunya aku memulai melompat. Dengan konsentrasi penuh aku terus melompat sesuai arah dentingan tersebut. Akan tetapi di lompatan ke enam, seketika ingatan yang matang itu menghilang. Kini diriku yang berada di tengah lompatan pun panik.

"Aduh gimana ini?! Pakai acara lupa lagi!" gerutuku kesal.

Seketika wajah bocah lelaki di taman tadi pun terbesit. Hal itu semakin membuat jiwaku diliputi panik sekaligus kesal. Kedua tangan ini langsung melayang di wajahmu berkali-kali agar aku segera tersadarkan.

"Sial! Tidak ada waktu untuk mengingat bocah itu!"

"Tidak! Aku harus menuntaskan level ini! Kumohon ingatlah!"

Setelah kukumpulkan setengah keberanian, aku mulai melangkah meskipun ingatan ini tak akan pernah kembali. Benar-benar kosong!

TENG

Cahaya merah pun keluar mewarnai pasir dibawah kedua kakiku bertapa disertai dengan suara bel yang berdenting berat.

Aku salah melangkah. Lalu kulanjutkan lompatanku ke jalur kotak di sebelahnya.

TENG

Cahaya merah keluar mewarnai pasir kembali dengan suara dentingan yang sama.

Tak lama kemudian, situasi di padang pasir ini pun berubah. Angin yang awalnya sempat berhembus tenang, kini berubah menjadi kencang seolah-olah mengitariku.

Diriku sempat panik. Akan tetapi, lompatan ini masih kulakukan hingga menemukan jalan keluarnya. Namun diriku ternyata salah.

TENG

Aku telah melakukan kesalahan selama tiga kali hingga menimbulkan cahaya merah dengan suara dentingan yang sama.

Angin ini semakin cepat hingga menyesakkan paru-paruku. Kabut pun menyertai pandanganku. Dengan spontan aku melawan angin itu, tapi usahaku pun sia-sia malah semakin cepat angin dengan pasir itu berhembus melawan arah.

Jauh di sana, di tengah terpaan angin kencang yang mengitariku, kulihat muncul keberadaan pintu dengan cahaya merah. Seperti menandakan bahwa kehadiran pintu darurat. Naluriku pun seolah-olah menyuruhku untuk berjalan ke sana.

Dengan sekuat tenaga aku melangkah menuju arah pintu itu dengan tangan kanan melindungi pandanganku dari terpaan angin. Cukup menghabiskan sekitar sepuluh langkah untuk tiba di sana.

Setibanya aku langsung mengetuk tombol yang muncul dengan sebuah meja baru kecil berlumut. Kemudian pintu itu terbuka menyambutku. Lalu aku pun melangkah memasuki dalam. Tubuhku terjatuh dengan sendirinya, dengan kedua lutut bertumpu di lantai. Diriku terbatuk-batuk sebagai efek dari sisa-sisa pasir yang terbawa oleh angin tadi menyesakkan paru-paruku.

"Misi Level Asah Ingatan Gagal," ucap seorang wanita dari balik pengeras suara yang menggema di sekitar ruangan ini dengan nada suara menyesal.

Aku mendongakkan kepalaku dan menoleh ke sumber suara.

"Tidak mungkin!" gerutuku sambil memukul lantai dengan tanganku demi melampiaskan emosiku. Air mata ini tanpa kusadari telah terjatuh dan menghiasi lantai. Aku menangis sejadi-jadinya. Akan tetapi, tangisan ini tidak terdengar dan membuat dadaku terasa sesak seolah-olah tertahan.

"Kenapa aku harus gagal?! Kenapa?!" gerutuku di tengah isakan tangis sambil menyentuh dadaku. "Seharusnya aku lebih fokus!

"Aku tidak mau gagal!"

"Sebaiknya kau tenangkan pikiranmu," Tiba-tiba suara Pelatih Theo terdengar.

Kudongakkan kepalaku dan mendapati wujud Pelatih Theo di hadapanku dengan memberikan sebotol air mineral dan secarik tisu bersih, menunggu aku mengambilnya. Dirinya berdiri sambil menatapku datar yang sedang terduduk di lantai sambil menangis.

Aku terdiam.

"Minumlah dan hapus air matamu. Hari ini kau terlihat kacau," lanjutnya.

"Pelatih Theo... Terima kasih!" Dengan kedua tanganku yang gemetar, aku meraih sebotol air mineral dan tisu itu dari genggamannya. Diriku langsung menghapus tiap air mata yang mengalir. Setelah itu, meneguk air mineral hingga tak tersisa. Terdengar nafasku yang tersengal-sengal saking haus yang merajalela dalam jiwaku.

Pelatih Theo hanya menatapku datar.

Setelah kuteguk air itu, aku kembali menutupnya dengan tutupannya dan kuletakkan di sampingku. Rupa botolnya kini tidak beraturan akibat kugenggam terlalu kuat.

"Aku tahu apa yang terjadi hari ini," ucap Pelatih Theo tiba-tiba.

Kedua tatapanku kembali mengarah ke arahnya yang menjulang tinggi di hadapanku. "Eh?"

"Aku tahu pagi ini kau ke taman kan bersama si kembar merah itu?" tanyanya menyakinkanku.

"EH?! DIA MENGETAHUINYA?!!" batinku terkejut setengah mati seolah-olah jiwa ini terjun ke sebuah jurang terdalam.

"Maafkan saya, Pelatih Theo. S—saya...," Suaraku terasa tersendat di sehingga aku tidak kuasa melanjutkan kalimatku.

"Aku paham. Wajar bahwa kau tidak tahu kalau itu adalah ruang privasiku dan itu tidak sembarangan orang masuk sebenarnya, lho," potongnya.

Pelatih Theo menghela napas. Lalu berkata, "Bodoh sekali, seharusnya aku menguncinya saja!"

Aku terdiam sambil menundukkan wajahku. Melihat berapa banyak air mata yang telah terjatuh.

"Aku senang, setidaknya kalian tidak menghancurkan apapun di sana.

"Kembali ke topik awal, kau harus beristirahat sekarang. Kau terlihat kacau hari ini sehingga gagal di level ini," katanya.

"T—tapi apakah saya masih bisa mengulang level ini?" tanyaku.

"Uhm, aku tidak tahu. Nasibmu ada di tanganmu. Jadi, ya, terimalah apa yang telah kau dapatkan," jawab Pelatih Theo dengan nada tenang seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Ia berbalik badan akan meninggalkanku.

"Saya mohon bahwa saya ingin mengajukan pengulangan atas level ini, Pelatih Theo. Saya mohon sebesar-besarnya untuk berikan Saya kesempatan terakhir!" kataku sambil mengepal kedua lututku sekuat-kuatnya. Wajah yang sedang menangis ini tertunduk. Sekujur tubuhku bergetar menahan emosi terdalam. Suaraku serak akibat tangisan.

Belum satu langkah, pergerakkan Pelatih Theo terhenti sambil membelakangiku.

"Saya mohon, saya akan bersungguh-sungguh atas level ini dan seterusnya. Saya tidak ingin mengecewakan keluarga saya yang menaruh harapan hidupnya pada saya sepenuhnya. Saya ingin mewujudkan impian mereka dan orang-orang di sekitar saya. Sekali lagi saya mohon," kataku. Sempat kutahan tangisan ini. Akan tetapi, semakin lama semakin meledak dan meninggalkan jejak di lantai.

Tidak ada respon sesaat dari Pelatih Theo.

Seketika keadaan menjadi hening.

"Maafkan saya yang telah mencewakan Pelatih. Namun kali ini, Saya akan berusaha bersungguh-sungguh untuk itu," lanjutku.

Pelatih Theo masih terdiam.

"Kau punya ambisi yang cukup kuat, ya. Eireen. Berbeda sekali dengan pemain yang lain. Aku terkesima mendengarnya," kata Pelatih Theo tiba-tiba. "Besok pagi silahkan temui saya di halaman utama lantai dasar."

Seketika tangisanku berhenti. Kepalaku mendongak dengan kedua mata membulat tidak percaya menatap wajah Pelatih Theo yang datar. "Pelatih..."

"Hanya besok aku tidak ada kelas pagi. Jadi kita bisa melakukan pengulangan level ini," lanjutnya lebih jelas.

"Selamat istirahat. Sampai jumpa besok pagi!" ucapnya sambil melambaikan tangan sekilas. Ia berjalan meninggalkanku yang tengah terduduk di lantai.

"Eh, apa aku tidak salah dengar?" batinku.

Aku menghela napas lega.

"Baiklah, aku harus bersungguh-sungguh kali ini! Lupakan bocah itu, mari bersemangat demi lolos pada level ini!"

Energi negatif terganti oleh energi positif. Dengan persetujuan dari Pelatih Theo itupun mampu membangkitkan kembali rasa percaya diri dan semangat dalam jiwaku.

Tidak ada waktu untuk bersedih dan berpikiran tidak jelas.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts