webnovel

Dia Sempurna

•Dia sempurna dengan caranya sendiri• Bagi Anya, Areel adalah sosok laki-laki sempurna dibalik sifat dinginnya. Tersimpan sejuta rahasia dibalik tatapan tajam miliknya. Hal itu berhasil membuat Anya penasaran untuk mengusiknya. Namun bagi Areel, Anya hanyalah gadis bodoh, berisik, juga ceroboh. Bertemu dengan Anya merupakan kesialan di hidupnya. Namun tanpa sadar, mereka dipertemukan oleh takdir untuk saling menyembuhkan luka satu sama lain.

Wiwi_Rahayu · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Kisah Lama

Sepuluh menit berlalu, Anya masih fokus memperhatikan Areel. Logika serta hatinya saat ini sedang berdebat. Antara ingin menghampiri Areel atau memutuskan tetap memperhatikan laki-laki itu dari jauh.

Tetapi Anya tidak ingin diam saja dan mati penasaran di tempat tersebut. Ia ingin mengetahuinya secara langsung hubungan mereka. Jika ternyata Areel telah memiliki kekasih, tidak penting bagi Anya karena perasaaennya pada Areel tidak akan hilang begitu saja.

"Menurut Kayla, Anya harus samperin Kak Areel apa enggak?" tanya Anya tanpa mengalihkan tatapannya dari Areel.

"Kalo lo mau malu, lo samperin aja," jawab Kayla memperhatikan Anya setelah makanannya habis.

"Anya nggak malu. Anya, 'kan cuma mau nanya hubungan mereka."

"Lo emang nggak punya malu, Anya."

"Kayla benar." Anya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia beranjak dari kursinya. "Keputusan Anya udah bulat. Anya harus tanya langsung ke Areel daripada Anya mati penasaran."

"Anya!" seru Kayla berusaha menahan Anya tetapi terlambat karena Anya telah melangkah mendekat ke arah meja Areel.

"Kak Areel, ini Anya," ujar Anya kini telah berdiri di samping Areel. Berusaha tidak menatap perempuan di samping laki-laki tersebut.

Areel yang tadinya fokus menatap laptop, kini beralih melirik Anya tetapi hanya beberapa detik sebelum akhirnya kembali menatap laptop. Tidak peduli dengan kehadiran Anya.

Tidak hanya Areel, perempuan yang duduk di samping laki-laki itu juga beralih memperhatikan Anya dengan ekspresi bingung.

"Lo kenal, Kak?" tanya perempuan tersebut kini beralih menatap Areel.

Areel hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Kak Areel nggak kenal Anya?!" seru Anya melihat jawaban Areel. "Padahal tadi Kakak panggil nama Anya. Masa udah lupa, sih."

Areel tidak menanggapi.

"Anya mau tanya sesuatu, Kak." Anya berkata lalu segera mengambil kursi tidak juah darinya dan duduk di samping Areel. "Kak Areel punya hubungan apa sama cewek itu?"

Areel masih diam.

"Jawab, Kak. Anya pengen tau. Kalian nggak punya hubungan khusus, 'kan? Nggak pacaran, kan? Anya, 'kan udah bilang tadi kalo Anya suka sama Kakak."

Areel menarik dapas dalam-dalam. Sangat merasa terganggu dengan kehadiran serta suara cerewet perempuan di sampingnya.

Areel beralih menatap Anya datar, "Pergi. Lo ganggu."

"Anya bakal pergi kalo Kak Areel jawab pertanyaan Anya."

"Lo nggak punya hak buat tau urusan orang."

"Anya punya hak karna Anya suka Kak Areel." Anya secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya meskipun perempuan tadi tentu saja mendengar kalimatnya.

"Kak, jawab pertanyaan Anya," desak Anya ketika Areel kembali diam.

"Berisik! Pergi sana. Lo nggak liat gue lagi belajar?" tutur Areel sepertinya sudah merasa lelah diganggu terus-terusan oleh Anya.

Anya menggeleng cepat, "Anya nggak tau. Maaf, Kak."

"Lo buta?"

Anya kembali menggeleng. Melotot ke arah perempuan di samping Areel saat menatapnya. Bukannya membalas melotot, perempuan tadi malah tertawa kecil membuat Anya bingung.

"Lo suka Kak Areel?" tanya perempuan tersebut.

Anya mengangguk cepat, "Iya. Kenapa emang? Mau marah? Mau nyuruh Anya berhenti? Anya nggak mau!" Anya membuang muka.

"Syukur deh. Gue kira Kak Areel nggak ada yang suka."

"Hm?" Anya semakin bingung dengan tanggapan perempuan tersebut. "Kamu nggak marah? Nggak cemburu juga? Kalian pacaran, 'kan?"

Perempuan tadi kembali tertawa tetapi lebih eras dari sebelumnya. "Kalo nggak dosa, sih, gue bakal ngajak pacaran Kak Areel, tapi hubungan kita agak rumit."

"Hubungan apa?"

"Dia kakak gue," ujar perempuan tadi sembari menatap Areel.

Anya melotot. Beralih memperhatikan perempuan tadi dan Areel secara bergantian. Detik berikutnya Anya meringis dalam hati. Menahan malu karena telah lancang memaki calon adik iparnya.

"Maaf. Anya nggak tau," ujar Anya merasa bersalah.

"Nggak papa. Gue ngerti kok. Cinta emang buta."

Anya beralih memperhatikan Areel yang sedari tadi kembali diam. "Maafin Anya, ya, Kak. Anya nggak tau. Anya udah salah paham sama Kakak. Cemburu Anya memang aneh."

Anya kembali mengeluarkan kartu internet dari tas kecilnya. "Anya masih bawa kartunya. Kak Areel terima, ya, biar nanti malam Kakak bisa balas chat Anya."

Baru saja Areel menolak, Anya terlebih dahulu beranjak pergi saat melihat seseorang yang baru saja muncul dari arah pintu café. Areel menatp kartu di atas meja, lalu beralih memperhatikan Anya yang kini sedang memeluk manja laki-laki tersebut.

Anya memeluk lengan Rasya—laki-laki yang sejak tadi ia tunggu-tunggu kedatangannya. Segera ia membawa Rasya menghampiri Kayla yang kini menunjukkan ekspresi terkejut.

"Hai, Kayla. Lo apa kabar?" tanya Rasya kini telah duduk di depan Kayla.

"Baik, Kak," balas Kayla datar lantas pura-pura memainkan ponselnya.

"Lo masih sama ternyata." Rasya tersenyum tipis. "Gimana Anya? Lo jaga dia dengan baik, kan?"

"Lo nggak perlu khawatir," balas Kayla masih sibuk dengan ponselnya.

Rasya merasa canggung dengan respon serta sikap Kayla kepadanya padahal saat SMP, mereka begitu akrab dengan bahan obrolan kadang tidak jelas. Ia mengaku salah karena menghilang semenjak lulus.

"Lo marah sama gue, Kay?" tanya Rasya memberanikan diri.

Kayla beralih menatap Rasya, "Marah atas dasar apa?"

"Karna semenja gue lulus, gue nggak pernah ada kabar."

"Lo sibuk, kan? Gue berusaha ngerti."

"Kata siapa Kayla ngerti?" Anya tiba-tiba saja bersuara. "Kayla tadi ngomong kalo Kak Rasya sebenarnya udah nggak butuh kita lagi, makannya Kak Rasya nggak pernah ngabarin."

Kayla menatap tajam ke arah Anya. Memberi isyarat agar Anya sedikit normal untuk kondisi saat ini. Kayla malu bukan main ketika Rasya menatapnya lurus.

"Nggak usah percaya sama Anya. Mulut dia masih lemes," ujar Kayla kembali memainkan ponselnya.

"Gue minta maaf kalo kalian marah karna gue tiba-tiba aja nggak ada kabar. Sebenarnya gue mau aja hubungi kalian, tapi gue benar-benar nggak punya waktu."

Anya tersenyum, "Anya ngerti kok, Kak. Yang penting Kak Rasya nggak lupain kita berdua."

Rasya menatap Anya lantas mengelus rambutnya. "Nggak bakal dong. Anya, 'kan gemesin jadi mudah diingat."

Anya tertawa renyah.

Diam-diam Kayla menghela napas panjang. Melihat sikap Rasya yang terlihat biasa-biasa saja setelah menghilang selama dua tahun membuat Kayla merasa tidak adil karena hanya dirinya yang tersiksa menahan rindu selama itu.

Rasya tidak akan tahu dan tidak akan mengerti perasaan yang hadir di hati Kayla beberapa tahun yang lalu dan masih sama hingga sekarang. Bahkan saat Rasya menghilang tanpa kata, tanpa kabar, dan tanpa mengetahui perasaannya.

Terakhir sebelum Rasya pergi, laki-laki itu hanya berpesan untuk menjaga Anya dari siapapun di luar sana. Rasya hanya mengkhawatirkan Anya. Rasya hanya mengharapkan Anya selalu baik-baik saja meskipun ia tak ada di samping perempuan tersebut.

Kayla tidak masalah. Hanya saja ia tersiksa dengan perasaannya sendiri.

Anya yang tadinya asik berbincang dengan Rasya, kini ia beralih saat melihat Areel melangkah menuju pintu café bersama perempuan tadi. Anya tersenyum lalu melambaikan tangan ke arah mereka.

"Kak Areel udah pulang?" tanya Anya ketika Areel lewat di sampingnya.

Areel tidak menjawab dan terus melangkah keluar café. Berbeda dengan adik Areel yang kini berhenti tepat di samping Anya lantas tersenyum.

"Gue pulang dulu, ya, Anya. Lo semangat buat naklukin kulkas dua belas pintu gue," ujarnya lalu menyusul Areel.

Mendapatkan kata penyemangat dari calon adik iparnya sendiri tentu saja membuat hati Anya semakin membara untuk menaklukkan hati dingin Areel. Anya hanya ingin mendapatkan dukungan dan sekarang ia telah mendapatkannya.

"Cowok tadi siapa, Anya?" tanya Rasya sejak tadi memperhatikan interaksi Anya.

Anya beralih menatap Rasya dengan senyum masih bertahan. "Calon pacar Anya, Kak."

"Calon pacar?" beo Rasya.

Anya mengangguk, "Ganteng, 'kan?"

"Kok aku nggak percaya, ya?"

Bukan hanya Kayla yang mengetahu sifat Anya saat jatuh cinta, tetapi Rasya juga mengetahuinya.

Anya berubah cemberut, "Kak Rasya sama Kayla sama aja. Nggak percaya kalo Anya beneran jatuh cinta."

Rasya tertawa pelan, "Bukan nggak percaya, cuma Anya, 'kan udah sering kayak gini jadi agak gimana gitu."

"Sama aja, Kak."

Anya melipat kedua tangannya di depan dada lantas membelakangi Rasya dengan ekspresi marah. Rasya tidak tinggal diam. Ia berusaha membujuk Anya meskipun harus memakan waktu beberapa menit.