webnovel

DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS

Aku melihatnya. Dada bidang dengan punggung yang lebar di balik jas hitam menawannya. Sepasang manik elangnya yang menatap tajam dan senyum manis di bibirnya, membuatku bergetar. Gerakan tangannya saat membenarkan dasi di lehernya, aku ingin menggantikannya. Memakaikan dasi di lehernya, menatap rahang kokohnya dari dekat, mengecup bibir tipisnya. Kau begitu menawan, Bos.

KuroyukiRyu · Urban
Not enough ratings
32 Chs

Suprised. [Part A]

Pagiku berjalan dengan mulus, tidak ada gonggongan pagi yang mengusikku seperti kemarin.

Wow, aku merasa hebat karena terbangun lebih dulu dari alarm yang kuatur. Ini adalah hari keduaku bekerja, dan aku sudah siap dengan pakaian kantorku. Blouse cokelat dengan rok span hitam.

Aku tidak dapat berhenti mematut diriku di depan cermin sejak dua puluh menit lalu. Oh, Tuhan, aku masih mengingat jelas kejadian kemarin. Aku terus menatap pantulan bibirku, sesekali menyentuhnya dengan ujung jemariku.

Permainan sialan.

Aku jatuh cinta dengan bibirnya. Oh, Adam.

Kembali ke kesadaranku, jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, satu jam lagi pekerjaanku dimulai. Aku merapikan suraiku di beberapa bagian sebelum meraih tas cokelat di atas meja rias dan berjalan menuju pintu keluar.

Seperti kemarin, aku memutuskan untuk menaiki taksi ke kantor. Sebenarnya mobilku baik-baik saja, namun aku hanya malas menggunakannya. Mungkin aku bisa menelpon Dad untuk menukarkannya dengan mobil baru.

Tidak perlu menunggu lama sejak menyamankan bokongku di kursi taksi, dua puluh lima menit taksi yang kunaiki sudah tiba di depan kantor. Terlihat kantor sudah cukup ramai dari balik kaca taksi. Aku pun melangkah keluar taksi setelah membayar jasanya pada sang supir.

Kedua kakiku melangkah pelan, sesekali teguran sapa orang lain tertangkap dalam gendang telingaku. Mereka bukan menyapaku, tapi menyapa orang yang mereka kenal.

Aku harus mencari teman di sini, begitu pikirku.

"Hai, Jess-sick~" suara seseorang membuat kedua kakiku berhenti melangkah. Tidak salah lagi, aku yakin itu suara si wanita pirang yang sinting.

Ah, siapa namanya? Bahkan aku masih belum ingat.

"Jangan melempar batu padaku di pagi hari," tubuhku berbalik menghadapnya dan kami saling berhadapan tidak jauh dari pintu masuk kantor.

Dasar perusak pagi.

"Hmm, aku tidak tahu kalau si gadis monster sekarang takut pada batu," si pirang melipat kedua tangannya di depan dada, kedua matanya menatapku seolah menantang.

Batu! Di mana batu?! Ia harus merasakan bagaimana rasanya jika batu dilemparkan ke kepalanya.

"Dengar, pirang. Enyah dari hadapanku atau kau ingin berada dalam masalah lagi?" Jika pada akhirnya aku terpaksa membuatnya masuk ke rumah sakit lagi, aku tidak akan menyesalkan hal itu.

"Ouch, aku jadi takut~" ia melakukan gerakan seperti memeluk dirinya sendiri dengan ekspresi takut dibuat-buatnya.

Jessy, kau sudah dewasa, kau dapat menanganginya tanpa membuat keributan, bisikku pada diriku sendiri.

"Kalau kau berpikir aku akan mengamuk, kau salah besar pirang. Dan...satu hal lagi, siapa namamu? Aku bahkan tidak dapat mengingatnya," kulihat si pirang terkejut mengetahui aku tidak mengingat namanya.

"S-sialann..." ia menggeram pelan, namun aku hanya menatapnya dengan salah satu alis yang terangkat.

"Lucy Mauren. Ingat itu!" ucapnya, jari telunjuk kanannya menunjukku tepat di depan wajah.

"Oh, kalau begitu sampai jumpa," aku menyibak rambutku di depannya, lalu berbalik pergi tanpa berniat melihat raut wajahnya yang mungkin tengah memerah kesal.

Aku melanjutkan kembali langkahku, memasuki gedung kantor setelah membuang beberapa menit waktuku secara sia-sia. Kali ini aku tidak akan tersesat, aku sudah menghafal jalan ke ruanganku sendiri. Lantai 23.

Aku bertanya-tanya, apakah Bos sudah tiba atau belum. Oh, ayolah, aku tidak ingin melihat adegan panasnya dengan wanitanya di pagi hari. Mereka seakan-akan mengejekku.

Suasana lobi menjadi lebih ramai ketika aku menunggu lift. Memilih tidak peduli, aku memandang diriku sendiri pada pantulan pintu lift. Berkali-kali memuji diriku sendiri dalam hati.

Aku mengangkat tangan kananku untuk memperbaiki poniku, telingaku menangkap dengar suara langkah seseorang yang mendekat hingga akhirnya berhenti tepat di sebelahku. Awalnya, yang kulihat adalah sepatu yang ia kenakan, hitam pantofel, ia seorang pria. Penasaran siapa yang berdiri di sampingku, aku meliriknya melalui pantulan di pintu lift.

ADAM?!

Kedua bola mataku membeliak, tubuhku merespon berlebihan dengan terlonjak karena terkejut. Sepertinya aku membuatnya terusik, Adam melirik melalui pantulan pintu lift sesaat sebelum menoleh padaku yang berdiri bodoh di sampingnya.

"Jessy?" ia nampak terkejut juga ketika melihatku. Hanya sesaat, dan wajahnya kembali tenang. Berbeda denganku. Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat. Bahkan lebih cepat dari kemarin di bar.

"Y-ya," aku mengangguk kaku.

'Ting!' pintu lift terbuka, kami pun mencoba kembali bersikap normal. Ya, dia bersikap normal, berbeda denganku.

Adam memberikan isyarat agar aku masuk ke dalam lift ketika ia sudah lebih dulu masuk. Tinggalah kami berdua di dalam lift. Adam berdiri selangkah lebih maju dari posisiku. Aku ingin menekan tombol 23, namun kulihat tombol itu sudah berwarna merah. Itu artinya sudah ada yang menekannya lebih dulu.

Siapa? Adam?

"Kau ingin pergi ke lantai 23?" kuberanikan bertanya padanya.

"Hn, ruanganku berada di sana," jawabnya.

Lalu keadaan hening, tapi tidak dengan jantungku yang masih seperti sedang lomba lari. Aku tidak tau jika Adam juga bekerja di perusahaan ini. Sialan, Allan berhutang satu cerita padaku.

"Aku tidak tahu kau bekerja di sini. Memangnya kau bekerja di bagian apa?" Astaga, aku tidak dapat menahan mulutku.

Tiba-tiba, aku penasaran dengannya. Sangat.

Adam tidak langsung menjawab, cukup lama ia terdiam. Ini membuat rasa penasaranku semakin menjadi.

"Aku pemilik perusahaan ini."

Oh.

APA?!!!

Sekali lagi aku dibuat terkejut. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana ekspresiku di depan Adam. Tidak elit.

Apa-apaan ini, banyak lelucon di perusahaan ini. Kalau Adam pemilik perusahaan ini, lalu siapa pria gila kemarin?!

"Ada apa?" tanya Adam. Raut kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Haruskah aku mengaku kalau aku bekerja sebagai asisten CEO?

"T-tidak, ahahaha...tidak ada apa-apa," elakku.

"Hn, aku baru tahu kalau kau bekerja di sini juga," kalimatnya menohokku.

Jadi, siapa yang bodoh di sini? Lucu jika Adam tidak tahu siapa pekerjanya sendiri.

"Ya...aku pekerja baru," jujurku. Lalu pintu lift berdenting, terbuka tepat di lantai 23.

"Kalau begitu, aku duluan," Adam melangkah keluar, aku pun mengekorinya tanpa permisi.

Diriku masih bertanya-tanya. Dan satu-satunya yang dapat menjawabnya hanyalah Allan, si HRD gila.

Mengetahui ada seseorang yang berjalan di belakangnya, Adam berhenti dan berbalik.

"Di mana ruanganmu, Jessy?" Adam pasti mulai merasa heran.

"Sebenarnya aku diterima bekerja sebagai asisten CEO."

Baiklah, aku memilih jujur. Adam sempat terdiam sebelum melanjutkan langkahnya kembali. Aku masih mengekorinya sampai kami tiba di depan pintu ruangan yang sama. Adam membukanya tanpa ragu, sedangkan aku mencoba mengintip dari balik punggungnya.

"Ck," Adam berdecak pelan. Aku merasakan sesuatu yang tidak beres di dalam.

Adam melangkah masuk dengan terburu, atmosfer di sekelilingnya berubah menjadi menyeramkan.

"Sialan, Sam. Keluar dari ruanganku, sekarang!" aku terkejut mendengar Adam berteriak. Lantas aku berlari masuk dengan penasaran.

Oh, Tuhan.

Bos gadungan, begitu aku menyebutnya ketika menyadari jika pria gila kemarin bukanlah bosku yang sebenarnya. Kelakuannya benar-benar tidak tau malu.

Berani sekali dia bercumbu dengan seorang wanita—

Tunggu-!

Wanita di bawah kukungannya bukanlah wanita yang kemarin.

Oke, tidak penting. Bos gadungan itu terburu-buru membenarkan pakaian dan celananya, begitupun dengan wanita yang tadinya berbaring di atas meja dengan kancing kemejanya yang terlepas semua.

"Aku tidak tahu kakak akan pulang secepat ini."

Apa?!

Bos gadungan yang baru kuketahui bernama Sam itu memanggil Adam dengan kakak? Sial, aku yakin pendengaranku masih berfungsi dengan baik.

"Keluar sekarang!" Adam kembali bereteriak. Sam dengan wanitanya terlonjak. Lalu tanpa berkata apapun, mereka berdua lari terbirit menuju pintu.

Namun, Sam sempat berhenti di sampingku, menatapku dengan seringainya, "Hai, Jessy~" sapanya dengan suara menggoda. Aku menahan diri untuk tidak menelan dirinya hidup-hidup.

Baru saja Sam membuka pintu, seseorang tengah berdiri dengan tangannya menggenggam handle pintu dari luar.

"Allan?"

Mendengar nama itu, aku menoleh cepat. Allan berdiri di sana, di luar pintu. Bagus, penanggung jawab sudah tiba.

"Wow, sepertinya kau sudah bertemu dengan kakakmu," Allan tidak terlihat terkejut. Ia berjalan melewati Sam, maniknya mengedar mencari sesuatu hingga akhirnya tertuju pada Adam yang entah kapan sudah menyamankan dirinya di sofa.

Melihat Allan, Adam menagakkan tubuhnya di sofa, menatap Allan dengan pandangan menuntut, "Kupikir kau sudah menyiapkan penjelasan untuk ini semua," begitu ucapnya pada Allan.

"Allan, aku akan meninjumu jika kakak mengamuk padaku!" Sam berteriak sebelum pergi dengan membawa wanitanya. Pintu pun berdebum cukup keras, hanya tersisa tiga manusia. Dua manusia dengan kebingungan dan satu manusia pemuas kebingungan itu.

.

.

.

.

.

- To be continue -