13 Suprised. [Part B]

"Allan, aku masih menunggu penjelasanmu," Adam mengingatkan.

"Oh, ahahaaha..." dan Allan malah tertawa.

"Maafkan aku. Sewaktu kau pergi ke Berlin, kau juga sedang mencari asisten baru, bukan?" Adam mengangguk singkat.

"Jessy salah satu pelamar pekerjaan itu, dan dia berhasil lolos wawancaraku," Allan melirikku yang kubalas dengan tatapan sengitku.

"Dan Sam, dia datang dan mengaku jika kau memintanya untuk menggantikanmu selama beberapa hari. Ya, begitulah. Tamat," penjelasan macam apa itu, sama sekali tidak membuat Adam puas. Terlihat dari ekpresinya yang masih kaku.

"Tenang saja, Sam tidak mengacau," lanjut Allan dengan kekehan khasnya.

"Tidak mengacau kau bilang? Aku bahkan memergokinya sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita di hari pertamaku bekerja," aku tidak tahan untuk tidak berbicara. Hal ini memang tidak kuceritakan pada Allan kemarin, itu karena aku masih mempercayai Sam adalah bosku.

"Aku sudah pernah mengatakan padamu untuk tidak mengizinkan Sam mengambil alih pekerjaan apapun di sini," Adam mengucapkan kalimatnya penuh penekanan, mencoba membuat Allan mengingatnya.

"Oh itu, aku lupa," Allan mengendikkan bahunya santai.

"Aku akan memotong gajimu," ujar Adam pada Allan.

"Hei—aku kan sudah meminta maaf," Allan tidak terima. Itu pantas untuknya, lagipula ia masih beruntung Adam hanya akan memotong gajinya. Jika aku yang menjadi bos, aku sudah mengkebiri habis dirinya.

"Aku tidak peduli, aku akan tetap memotongnya," Adam bangkit dari sofa, lalu mendekat pada meja yang sebelumnya menjadi saksi percumbuan adiknya.

"Baiklah, baiklah, aku terima itu. Masalah selesai, aku akan kembali," Allan berbalik menuju pintu, sedangkan aku masih berdiri di posisiku, di depan meja kerjaku sendiri sejak tadi.

"Untukmu Jessy. Selamat bekerja," Allan mengucapkannya dengan mengedipkan salah satu kelopak matanya. Ia menggodaku.

Masalah selesai? Semudah itu? aku tidak dapat mengerti bagaimana jalan pikir mereka.

Kembali lagi di dalam ruangan CEO, posisi bos sudah diduduki sebagaimana mestinya. Berarti pekerjaanku yang sebenarnya juga baru dimulai. Aku tidak menghitung hari kemarin, karena kemarin sungguh hari yang absurd, menurutku.

"Jadi, Ad— Maksudku Tuan, apa yang harus saya lakukan?" aku hampir saja lepas memanggilnya Adam. Aku sadar tidak dapat memanggilnya namanya lagi, mengingat di mana posisiku berada. Adam seorang bos, dan aku hanya bawahannya.

Ya, aku benar-benar senang jika berada di bawahnya. Ekhem, ya, begitu maksudku.

"Seseorang akan membawakan berkas nanti. Kau bisa membuat laporan bersihnya untukku," suaranya sudah lebih tenang dari sebelumnya. Adam memiliki kontrol diri yang hebat.

Aku penasaran bagaimana jika aku dan dia—

Jessy! Fokus pada pekerjaannmu!

Entah setan mana yang mendatangi otakku, dia sudah menodai pikiranku dengan berbagai macam hal yang rumit. Termasuk memikirkan Adam.

Adam dalam balutan kemeja putih dan jas hitamnya adalah pemandangan yang menyenangkan. Lebih menyenangkan jika itu semua terlucuti dari tubuhnya, hahaha.

Membayangkannya saja membuatku panas di tempat.

Aku memang baru mengenalnya kemarin, ditambah aku mendapati rasa bibirnya di awal pertemuan kami. Sekarang? Ia tampak biasa saja, seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi.

Ia yang sudah terbiasa atau aku yang berlebihan?

Oh, aku kembali seperti gadis puber yang baru pertama kali mencium seseorang.

Aku sudah duduk manis di balik meja kerjaku, menyalakan komputer yang sudah disediakan di sana, melihat isinya tanpa minat. Tidak ada yang menarik, berkas yang Adam katakan juga belum datang, aku menganggur untuk beberapa menit yang telah berlalu.

'Tokk Tokk Tokk!' pintu pun terketuk.

"Masuk," sahut Adam dari balik mejanya. Kulihat tatapannya terfokus pada layar laptop, entah apa yang dikerjakannya.

Pintu terbuka, seorang pria muda masuk membawa beberapa map di tangannya melewati mejaku menuju Adam. Mereka terlibat percakapan serius, aku tidak dapat mendengar mereka dengan jelas.

"Jessy, kemari," acara menganggurku habis. Adam memanggilku, dengan bersemangat aku langsung mendekat ke mejanya.

"Ada yang harus saya lakukan, Tuan?" aku tidak menyukai panggilan ini. Bolehkah aku memanggilnya dengan 'Darling', 'Honey,' atau 'Sayang?'

"Buat laporan rapi dari semua catatan di map merah ini, dan pelajari berkas di map biru. Setelah istirahat siang, kau ikut aku dalam rapat."

APA?! RAPAT?!

Bagaimana mungkin, aku bahkan tidak tahu apa yang kau lakukan sebelum ini. Dan kau menyuruhku mempelajarinya dalam dua jam?!

Rasanya aku ingin berteriak hal itu.

"Baik, Tuan," pada akhirnya aku hanya mengangguk manis dan kembali ke mejaku.

Hari kedua yang menyenangkan. Semoga vertigoku tidak kambuh.

Waktuku tidak banyak. Kini ada dua map berbeda di depanku, dan setelah makan siang, meeting akan dimulai. Jadi, kuputuskan untuk mempelajari map biru lebih dulu, dan itu berisi catatan perjalananannya di Berlin, bukan untuk berlibur tentu saja. Isinya kebanyakan mengenai hasil rapat di hari yang berbeda, dan Adam melakukan banyak rapat di sana. Tidak salah lagi, mau tidak mau aku harus hafal mengenai hasil rapatnya. Ah, tidak harus sepenuhnya hafal, membawa catatan kecil dalam meeting bukanlah pelanggaran.

Membacanya membuatku menguap beberapa kali, membosankan, namun itu bagian dari pekerjaan. Jika aku tidak melakukannya, tandanya aku siap dibuang dari kantor ini.

Aku tidak mau, aku tidak bisa melihat Adam lagi nanti.

Hanya suara jarum jam yang beradu dengan suara ketikan jari di atas papan ketik yang memenuhi ruangan ini. Adam tenggelam dalam pekerjaannya sendiri, sedangkan aku berusaha menahan kantuk dan rasa lapar.

Sudah tidak terhitung berapa kali aku mengecek jam di desktop komputerku.

Sampai apa yang kutunggu sejak tadi datang. Tanda istirahat. Aku merasa kesadaranku kembali, aku siap meluncur ke cafeteria.

"Jessy," panggil Adam.

"Ya, Tuan?"

"Jangan lupakan rapat nanti, dan kau boleh beristirahat sekarang," aku mengangguk sembari menggumamkan kata 'terima kasih' padanya.

"Apa Anda tidak makan siang, Tuan?" aku merasa menjadi sok perhatian padanya. Padahal ia bos dan ia bisa bebas ingin makan kapan saja.

"Hn, nanti seletah aku menyelesaikan ini," responnya. Tidak bisa menahan rasa lapar lebih lama, aku pamit keluar ruangan padanya lebih dulu.

Makan siangku seorang diri hari ini. Aku tidak memiliki teman selama dua hari bekerja, lebih tepatnya belum. Aku juga tidak melihat Allan sepanjang perjalanan ke cafetaria. Kuharap Allan tidak pulang ke rumah hanya karena bos memotong gajinya.

Sangat membosankan, tidak ada teman mengobrol. Sayangnya Sharon tidak bekerja di tempat yang sama denganku. Malahan aku harus berada di kantor yang sama dengan si pirang yang menjadi musuhku dulu.

Ah. Siapa tadi namanya?

L-lucy? Ya, dia.

Semoga aku tidak bertemu lagi dengannya.

Tidak ingin membuang waktu, kuputuskan untuk memesan sesuatu. Perutku sudah pada batas kesabarannya, aku tidak perlu menunggu teman untuk makan.

Tiga puluh menit cukup untukku menyelesaikan acara makan siangku. Masih tersisa 20 menit sebelum jam istirahat selesai. Daripada tidak ada kegiatan lain, aku memilih untuk kembali ke mejaku. Membaca map biru itu lagi.

Ketika aku kembali, Adam masih di mejanya. Bedanya, ia tidak sedang mengetik di laptopnya, sekarang ada satu kotak makanan di mejanya. Ia menyadari ketika aku membuka pintu, sial aku lupa mengetuk.

"Maaf masuk tanpa mengetuk, Tuan," ucapku, Adam hanya mengangguk sambil mulutnya masih mengunyah makanan.

Sembari menunggunya, aku kembali berkutat pada map biru, membacanya ulang sekali lagi.

Dan sesekali aku melirik pada Adam, mencuri pandang ke arahnya, menatap rahang seksinya yang bergerak naik-turun ketika ia mengunyah.

Ah, menatap Adam memang tidak ada bosannya, berbeda dengan map biru sialan ini.

Adam menyelesaikan makanannya lima menit sebelum tanda istirahat siang berakhir dan seorang office boy datang untuk mengambil kotak makan dan cangkir kosong miliknya.

Aku masih menunggu dalam posisiku, menunggu Adam mengatakan sesuatu, mungkin.

"Jessy, bawa berkas itu. Kita ke ruang rapat sekarang," suara baritonenya mengalun memasuki indra pendengaranku, menyihirku untuk mengangguk patuh padanya.

Kuharap rapat pertamaku akan menyenangkan dan Adam yang memegang kendali sepenuhnya. Jujur saja, aku masih belum hafal mengenai isi map biru itu. Jangan salahkan aku yang tidak fokus, Adam yang membuatku tidak dapat mengalihkan pandanganku darinya.

Kami menuju lantai 5, di mana ruangan rapat berada. Sudah ada beberapa orang di sana ketika kami tiba. Adam memintaku untuk menyalakan laptop dan proyektor di sana, sedangkan ia membuka semua berkas yang mungkin akan ia perlukan.

Aku dapat melakukan apa yang dimintainya dengan benar dalam keadaan gugup seperti ini. Oh, ini pengalaman pertamaku mengikuti rapat penting seperti ini. Mengingat kuliahku dulu, aku lebih sering kabur jika diminta datang rapat.

Rapat dimulai setelah tiga orang lain datang, dan Adam adalah bintangnya kali ini. Ia menjelaskan dengan detail setiap rencananya di depan para anggota rapat. Kadang beberapa lontaran pertanyaan dilemparkan padanya, dan Adam menjawabnya tanpa keraguan.

Wow, dia pria panas yang hebat.

.

.

.

.

.

- To be continue -

avataravatar
Next chapter