webnovel

Saingan?

Jeanny memesan makanan lebih dulu, sementara jave sedang ke toilet. Mereka tiba dikantin beberapa menit lalu, dan kini gadis itu langsung menyuap perlahan semangkok mie ayam yang baru saja diletakkan diatas meja, tanpa menunggu jave yang belum juga kembali.

Dari jarak yang agak jauh dari mejanya, sekerumun lelaki tengah riuh bergurau. Tak lain berasal dari meja karel dan teman temannya. Namun kali ini dean tak ikut bersama mereka.

Karel yang sejak tadi membuat lelucon, mendadak pandangannya teralihkan pada seseorang yang kerap dia perhatikan diam diam.

"Dia selalu cantik" gumam karel tersenyum tipis.

"Woi rel ngeliatin apaan lo" tegur Aryo, salah satu temannya.

Karel refleks mengedarkan pandangan kearah seluruh stand jualan yang berjejer disana.

"Ah itu gue lagi mikir mau makan apa" jawabnya asal.

"Lah lo kan baru ngabisin siomay dua porsi" ucap aryo heran.

Karel tertawa getir. "Ah lo kaya baru kenal gue aja. Mana kenyang bro" jawabnya sembari mengusap tengkuknya, menyembunyikan rasa gugupnya.

Sementara dean yang saat ini tengah duduk termenung menatap ponsel didalam kelas, kembali diusik oleh mella yang tiba tiba muncul sambil meletakkan sebuah bouqet mawar putih diatas meja lelaki itu.

"Babe, tadi gue sengaja beliin ini buat lo. Gue mau lo tau..." mella mulai mengoceh.

Ucapannya tertahan melihat dean mulai menatapnya tajam.

BRAKK! Dean memukul keras meja, membuat gadis dihadapannya itu kaget mematung, dan juga beberapa orang didalam ruangan melirik sejenak kearah keduanya sambil mengelus dada.

Dean meremas bouqet itu dan melemparnya asal, lalu ditangkap oleh karel yang baru tiba diambang pintu masuk.

"Lo jangan macem macem. Gue bisa ngeluarin lo dari sini kalo gue mau" ancam dean dengan suara lantang sembari mengacungkan telunjuknya tepat didepan wajah mella.

Karel yang agak kaget, hanya menghela nafas. Pemandangan itu sudah tak asing lagi baginya. Melihat kemarahan dean saat ini, siapa lagi kalau bukan mella pemicunya.

Sementara yang jadi sasaran emosi lelaki itu masih berdiri mematung memasang raut wajah takut. Tak ada satupun yang prihatin dengannya.

Melawan dean? Sama saja mengundurkan diri dari kampus elite itu. Hanya ada satu orang yang juga memiliki kekuasaan dikampus dan setara dengan dirinya.

Dean beranjak keluar kelas, mengabaikan karel yang masih berdiri disana. Sedetik kemudian, dia bergegas menyusul langkah cepat lelaki itu yang tengah menuju ke parkiran.

Mella perlahan duduk di kursi dean sambil tertunduk lesu. Dia tak mengerti mengapa dean sebegitu marahnya hanya karena memberi lelaki itu sebuah bouqet bunga. Padahal dia ingin dean tau, bahwa mawar putih itu sebagai ungkapan perasaannya.

Tapi kali ini, mella tak kembali menjatuhkan air matanya. Dia tampak sudah bisa membiasakan diri dengan kemarahan dean. Sinting, itulah anggapan seisi ruang kelas yang saat ini masih melirik sinis padanya.

Bahkan mereka tau, raut wajah ketakutan yang dia tunjukkan pada dean itu hanya kepalsuan agar lelaki itu simpati padanya. Setelah dean pergi dia akan menyeka sedikit air mata yang membasahi ujung matanya sambil tersenyum mengangkat satu sudut bibirnya.

"Bro bro lo mau kemana" karel berlari kecil menyusul langkah dean yang semakin jauh.

"Aduh bro gue ikut deh. Nih lo pasti bawa mobil ngebut kan. Sini biar gue aja yang nyetir" tambahnya lagi.

Dean menghentikan langkah, menoleh pada karel sejenak sambil melempar kunci pada temannya itu lalu masuk kedalam mobil.

Karel menangkap benda itu tanpa melesat sedikitpun, lalu menyusulnya masuk. Lantas dia mengendarai mobil dean pergi dari kampus.

Diantara teman temannya yang lain, karel lah yang paling dekat dengan dean layaknya saudara. Bukan karena dia takut kehilangan teman yang bisa mentraktirnya.

Dean sangat baik padanya selama ini. Karel tetap akan membantunya, meski tak menerima bayaran. Mereka sudah berteman sejak lama. Beberapa tahun lalu, ayah karel sempat bekerja di perusahaan milik papanya dean. Namun kini, ayahnya telah mendirikan perusahaan sendiri yang cukup sukses meski tak sebesar milik mantan atasannya itu.

Karel mengendarai dengan kecepatan sedang. Sesekali dia melirik dean disampingnya yang tengah duduk bersandar sambil memejam.

Dean kembali membuka mata, saat terlintas sesuatu dalam kepalanya. Dia bergegas mengecek ponselnya untuk melihat apakah dara sudah membalas pesannya. Ternyata, gadis itu semalam meneleponnya beberapa kali.

"Arggghh bego kenapa gue baru liat?" gerutunya kesal.

"Rel gue anter lo balik aja, gue ada urusan" ucapnya tiba tiba.

"Lo yakin?" tanya karel.

"iya udah cepetan"

Karel pun kembali berbalik arah menuju kampus lagi. Setelah tiba, dia langsung turun dan dean mengambil alih kemudi.

"Jangan ngebut lo" ucap karel melihat dean yang kini sudah siap akan pergi.

Dean melajukan mobil dengan kecepatan sedang, sambil terus menghubungi dara. Namun gadis itu tak juga menjawabnya. Lalu menambah kecepatan mobilnya menuju florist.

"Please angkat ra" ucapnya.

[3,00 p.m]

"Gue minta maaf soal kemaren" ucap jave.

Dara hanya setengah mengangguk mengulum bibir. Meski rasa kecewanya sudah setengah mereda, tetap saja dia masih kesal pada lelaki dihadapannya itu.

Namun bukan jave namanya kalau tak keras kepala, meski dara sudah berkata belum mau bertemu dengannya.

"Dara, please maafin gue" pintanya memelas.

"Iya udah gue maafin" jawab dara datar.

Jawaban dara tak membuat jave puas. Dia tau gadis itu terpaksa mengatakannya.

Jave beralih duduk disofa, bersandar sambil memijit pelipisnya, bingung harus membujuk dara dengan cara apa. Dia rindu menjahili gadis itu seperti biasanya meski wajahnya lebih sering ketus padanya.

Meski dara telah berkata memberinya maaf, tapi mata gadis itu tak bisa berbohong. Dia enggan menatap jave.

Dara bukan seseorang yang meluapkan amarah dengan cara meledak ledak. Gadis itu akan diam saat merasa hawa panas didalam dadanya sudah berubah menjadi angin dingin.

Dean yang baru saja tiba, sengaja memarkirkan mobilnya didepan cafe deluxe. Dia tak langsung turun, sejenak mengamati florist dari dalam mobilnya.

Setelah melihat tampak agak sepi, dean akan turun dan masuk kesana. Namun seketika, langkahnya tertahan melihat gadis itu keluar bersama seorang lelaki yang tak asing baginya.

Dean memicingkan mata, melihat lebih jelas. Dia kenal lelaki yang bersama gadis itu.

"Hah? Gak salah liat gue?" dean membelalak sempurna, tertegun memandang keakraban kedua orang disana.

Lelaki itu mengusap pelan puncak kepala dara sebelum akhirnya memasuki mobil dan pergi dari sana.

Tak seperti biasanya saat melihat dara, amarah yang menyulut karena ulah mella bisa menghilang. Dadanya justru terasa seakan terbakar, bertambah sesak melihat gadis itu tersenyum memandang mobil jave yang melesat semakin jauh.