webnovel

PILU MELIHAT ADAM

Atas dasar apa William dapat mengabarkan bahwa Adam sedang sakit, jika bukan karena dia memang mengetahui kebenaran yang ada. Tak peduli bagaimana penampilannya sekarang, Naera terbirit-birit ke arah jalan raya untuk menanti angkutan umum.

William melongo melihat tingkah Naera. Dari situ ia dapat menyimpulkan bahwa Naera adalah gadis yang baik. Buktinya dia masih peduli dengan Adam yang telah mencampakkannya. Hanya saja Naera telah salah memilih jalan, sehingga menyebabkan keluarganya malu.

"Naera Rose! Tidak usah panik begitu. Aku bersedia menampungmu di dalam mobilku. Bukankah kau tidak tahu di mana Ayahmu saat ini berada?" William memekik dari tempatnya berdiri.

Detik itu juga Naera berhenti. Yang dikatakan William tidak ada salahnya. Memangnya di rumah sakit mana dan ruang berapa Adam tergeletak? Naera akan menjadi orang yang paling bodoh apabila ia mengabaikan perkataan William.

Baiklah, untuk kali ini Naera berada di bawah kekuasaan William!

"Ayo, cepat! Antar aku ke sana,"

Naera tidak sabaran dan dia berusaha untuk membuka pintu mobil William yang terkunci. Jangan sampai Naera tiba di rumah sakit, tapi Ayahnya sudah kehilangan nyawa. Tidak! Bukannya Naera berdo'a tentang kematian Adam, tapi itulah kemungkinan terburuk apabila pria itu tidak mendapatkan perawatan.

William membukakan pintu untuk Naera dan mempersilahkan ia duduk di jok depan. Jika bukan karena keterpaksaan, pasti Naera tak akan sudi satu kendaraan dengan musuh bebuyutannya itu.

Di perjalanan, Naera sibuk memerintahkan agar William menancap gas mobilnya. Tidak peduli jika di depan sana ada banyak truk, sepeda motor dan beragam jenis transportasi lainnya.

"William. Tidak bisakah kau melajukan mobil bututmu ini? Kau sama saja seperti keong," ejek Naera.

"Jika kau ingin mati dan tak sempat melihat Ayahmu, maka aku akan melakukannya,"

William mustahil menuruti permintaan Naera. Otomatis mereka akan menabrak kendaraan lain, lalu berakhir dengan tragis. Naera seperti itu hanya karena ia sangat mengkhawatirkan keadaan Adam.

Setelah membelah keriuhan Kota Jakarta selama 30 menit, sampailah sepasang manusia itu di sebuah rumah sakit tempat Adam dirawat. Naera buru-buru turun dari mobil dan menuju meja resepsionis untuk menanyakan di mana kamar Ayahnya.

"Tidak perlu ke sana, Naera! Aku tahu di mana keberadaan Adam," tukasnya.

Entah manusia apa William ini. Naera sebagai anak kandungnya saja tidak mengetahui apapun, malah dia yang bukan siapa-siapa dapat mengetahui semuanya tentang Adam. Untuk sesaat Naera merasa tersaingi.

Lantai dua nomor 12.

"Ayahmu ada di dalam sana!"

William melayangkan jari telunjuknya, sesaat setelah mereka mendaratkan kaki di depan kamar nomor 12. Ruangan itu terdiri dari pintu transparan, sehingga Naera dapat melihat kondisi Ayahnya meskipun dari luar.

Tampaklah lelaki paruh abad yang sedang tergeletak dengan selang yang terpasang di tangan juga hidungnya. Kemudian, seorang wanita meletakkan kepalanya di bibir brankar pasien. Dua orang itu tampak begitu malang dan memprihatinkan.

"Sekarang kau sudah percaya, bukan?" William berlagak sebagai seorang pemenang.

"Aku tidak berani masuk tanpa status latar belakang yang jelas. Ayahku bisa semakin buruk kondisinya apabila melihat anak durhakanya ini, tapi aku menginginkan agar Ayah segera pulih." Tanpa sadar Naera mengungkapkan isi hatinya pada William.

"Naera Rose. Aku telah menawarkan padamu sebuah bala bantuan,"

Naera tahu bahwa William membantunya dengan tidak tulus. Barangkali William sudah kehabisan akal, sehingga dia menggunakan cara licik ini supaya Naera sudi menyerahkan tubuhnya.

"Terima kasih atas segala kebaikanmu, William, tapi aku lebih baik berdiri di atas kakiku sendiri daripada harus merepotkan orang asing sepertimu!"

Seberes berkata seperti itu, Naera melintasi William dan hendak membuka pintu kamar 12. Namun, persis saat tangannya sudah meraih gagang pintu, William pun menarik tubuh Naera sampai ia terbentur ke tembok.

BUGH!

William menekan bagian depan Naera dengan tubuhnya. Tentu saja wanita itu tak dapat berbuat banyak, mengingat William jauh lebih besar ketimbang dia. Napas Naera mulai terengah-engah menahan sesak. Aroma maskulin menyeruak menusuk indra penciumannya. Jika terus-terusan begini, maka Naera bisa salah fokus lalu ketagihan.

William memandang Naera penuh lamat. Tatapan itu mengisyaratkan bahwa ia sedang berada dalam mode serius.

"Kenapa kau malah membisu?" William menemukan Naera yang menjelma sebagai patung di tengah himpitannya.

Naera seolah terbius dengan aroma khas pria dan sorot dingin tersebut. Tanpa kesadaran yang utuh Naera pun mengucapkan apa yang ada di hatinya. "Aku tahu kau melakukan semua ini hanya untuk mendapat keuntungan dariku. Bukankah gadis pendek ini telah menghinamu kemarin? Dan, sekarang kau ingin membalasku dengan membuktikan kegagahanmu,"

William tertawa kecil. Sekarang dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Naera Rose. William bukan tipe orang yang peduli dengan sesama, terlebih jika seseorang itu sempat bermasalah dengannya. Sejak kemarin William menyelamatkan Naera, bahkan menawarkan ia bantuan seperti sekarang semata-mata hanya untuk membuktikan bahwa ia tidak serendah yang Naera kira.

"Katakan sajalah memang aku yang bersalah. Sekarang juga aku meminta maaf padamu. Kau bisa pergi setelahnya," titah Naera yang tak ingin berlama-lama ada di sisi William.

"Sombong sekali kau, Gadis! Kau pikir hanya dengan kata maaf dapat mengembalikan harga diriku yang telah kau injak-injak?" Mata William nyalang.

Naera hanya mencoba berbicara apa adanya. Dia menganggap bahwa keputusannya adalah jalan terbaik. Dia memang tidak tahu sehebat apa permainan William. Namun, tak ada salahnya jika Naera mengatakan bahwa orang yang patah hati akan cacat dalam pergulatan ranjang. Naera tidak merasa bersalah dengan itu, tapi entah kenapa William sangat marah.

Di tengah perdebatan mereka, tiba-tiba saja alarm tanda bahaya berbunyi dari kamar nomor 12. Lampu merah itu terus berkedip, kemudian berlarilah dua orang perawat dan satu dokter ke arah ruangan tersebut.

William dan Naera menghentikan aktivitas menegangkan itu, lalu memastikan apa yang terjadi dari pintu transparan.

Orang yang memiliki hubungan darah dengan Adam begitu terperanjat dan tersentuh, tatkala dilihatnya lelaki itu kejang-kejang di atas brankar. Naera masih saja belum berani masuk. Sebagai gantinya, ia membuka sedikit pintu tersebut dan mendengarkan pembicaraan dokter dengan Niola.

"Suami Anda harus segera ditindaklanjuti, karena penyakitnya sudah komplikasi. Nyonya, apakah kau sudah membayar biaya rumah sakit?"

Niola kalang kabut. Ada air yang menggelembung di pelupuk matanya. "Tolonglah, Dokter! Aku berjanji akan melunasi administrasi setelah suamiku mendapat pengobatan. Kasihanilah kami!"

Bahkan, Niola sampai membungkukkan tubuh dan bersimpuh di kaki sang Dokter. Pemandangan seperti itu membuat hati Naera kalut dan pikirannya pendek. Naera sontak tergerus emosi dan tidak punya pilihan lain, kecuali masuk ke dalam dan melunaskan seluruh biaya pengobatan Adam.

"Ambil tindakan sekarang, maka aku akan bertanggung jawab!"

Seketika Naera Rose tergopoh-gopoh menemui Ayahnya dan meninggalkan William seorang diri di balik pintu. Wlliam mengerutkan alisnya. Apakah ini pertanda kalau Naera menerima tawarannya?

***

Bersambung