webnovel

Finally

"Wah rasanya lega banget ya bisa main air sampe puas." Fareza membaringkan tubuhnya dihamparan pasir. Bunda segera mengulurkan minuman untuk putra semata wayangnya.

"Iya, sampe kulit kalian gosong kek gitu coba." omelan Bunda menghiasi saat makan siang.

"Eksotis Bunda, bukan gosong." Farani membela kakaknya. Menyetujui ucapannya, Fareza lalu mengacunginya dua jempol.

"Udah, makan aja dulu. Abis ini main lagi." beberapa lauk sudah ayah habiskan saat ketiga anggota keluarganya sibuk beradu mulut.

Siang ini memang panas menyengat, tapi dibanding kandengan kepuasan dan kelegaan yang dirasa, itu tidak bisa dibandingkan.

Farani mengecek HPnya, terdapat beberapa pesan dan panggilan. Pesan dari Raffi berisi gambar liburannya di Bali bersama kedua orangtuanya, sedangkan Lulu berisi peringatan agak tepat waktu sampai distasiun nanti sore.

Empat jam total keluarga Narendra menghabiskan waktunya dipantai, mereka memutuskan untuk pindah lokasi. Mengikuti arahan Bunda, mobil menuju pasar ikan terdekat. Hanya memakan waktu 10 menit, mobil kembali terparkir di pasar ikan.

"Bunda mau shopping, kalian terserah mau kemana asal jangan jauh-jauh ya." ucap Bunda sembari membetulkan letak kacamatanya.

Fareza, Farani dan ayah berjalan menuju sebuah rumah makan, sebelum bunda menarik lengan ayah.

"Ayah mau kemana? Kalo Ayah ikut anak-anak, nanti yang bawain belanjaan Bunda siapa?"

Farani dan Fareza langsung cekikikan melihat Ayahnya disandra oleh Bunda. Di bawah pohon kelapa sambil menikmati es kelapa muda membuat lupa segalanya.

"Maafin abang ya dek." tetiba Fareza memulai pembicaraan yang serius.

"Maaf buat apa?"

"Sita."

Tak tahu harus menjawab apa, Farani hanya bisa terdiam. Beberapa waktu yang lalu Farani sudah memutuskan, apapun yang terjadi dia tidak akan menjauh dari Sita. "Apa itu artinya abang biarin gue sama Sita pacaran?"

Mendongakkan kepala, Fareza tersenyum, "nggak!"

Langsung saja Farani manyun ke arah abangnya. Percuma saja dia merasa berkembang hatinya saat mendengar nama Sita terucap.

"You know, gue tau Sita kek gimana orangnya. Emang sih baik,tapi gue ngerasa belum bisa lepasin lo bua torang kek Sita."

"Emang kek gimana orangnya?"

"Dia irit kata, dia sayang sama adiknya, dia juga orang yang on time dan fokus. Tapi dia tetep aja laki-laki, dan laki-laki selalu kek gitu."

"Kek gitu gimana?" Farani terus mengejar kakaknya untuk menjelaskan keraguannya.

"Ya kek gitu. Lo juga pernah liat gue kek gimana. Kita sama, yang membedakan hanya alasannya."

Sedikit banyak Farani dapat memahami apa yang kakaknya maksud. Ini tentang pergaulan. Sebrengsek apapun kakak, dia tidak akan pernah merelakan adiknya bersama dengan lelaki brengsek lainnya. Walaupun itu sahabatnya sendiri.

"Apa nggak ada jalan keluar?"

"Tergantung Sita, dan juga gimana lo menghadapinya."

"Sebelum kita pulang waktu itu, gue kerumah dia. Cuma ada kita berdua. Dia kaya yang kesepian, lama banget dia pegang tangan gue sampe ketiduran. Bangun cuma ngeliatin gue dan akhirnya mengalihkan pandangan."

Hampir sebulan Farani menyimpan semuanya sendiri. Belum ada keberanianuntuk cerita ke abangnya tentang kejadian di rumah Sita. Bahkan Farani juga belum menceritakannya ke Lulu ataupun Rere. Tak terasa air mata Farani menetes.

"Kek yang gue bilang tadi, yang membedakan kita cuma alasannya aja."

"Trus apa itu jadi alasan?"

Fareza segera melepas topinya, memakaikannya ke Farani. Dia paling benci melihat adiknya menangis, apalagi ada orang lain yang melihat adiknya menangis. Mengelus pundaknya dan menggenggam tangan Farani.

"Jangan nangis. Tanyain aja sendiri ke dia, apa itu jadi alasan."

Farani mendongakkan kepala, mengusap airmata dan berusaha tersenyum. perlahan mendekat ke arah abangnya, "I will."

Dengan gerakan secepat kilat, Farani mengusapkan ingusnya ke kaos sang kakak. Otomatis Fareza langsung menghindar.

"Iyuh jorok banget. Ah kaos gue!!"

Melihat ekspresi kakaknya, Farani langsung tertawa lebar.

Puas memborong hasil laut, Bunda dan Ayah terlihat berjalan ke arah Farani dan Fareza. Ayah terlihat keberatan membawa barang belanjaan Bunda.

"Bunda borong apa gimana nih ceritanya?" melihat belanjaan yang banyak, Farani hanya mengintip tanpa benar-benar menyentuhnya.

"Iya, mau dibawa ke tempet nenek juga besok."

Setengah dari belanjaan diturunkan, Ayah merasa lengannya sakit. "Abang bawa sisanya, Ayah udah nggak kuat."

Perjalanan pulang sedikit macet. Berbarengan dengan jam pulang kantor. Ayah memutuskan untuk istirahat, jadi Fareza yang menyetir mobil. Di kursi depan, Farani menemani abangnya.

*

Stasiun pukul 20.00 WIB.

Didekat pintu masuk tiket, Lulu sudah menanti Farani. Sebuah koper besar bertengger disampingnya.

"Lu, kamu mau pindahan?" Bunda sedikit kaget dengan barang bawaan Lulu, berbeda dengan Farani yang hanya membawa koper kecil, separuh ukuran koper Lulu.

"Nggak Bunda, ini beberapa baju mau dikasih ke sodara di Jakarta."

"Nanti yang jemput di stasiun siapa?" Ayah menanyakan perihal jemput menjemput.

"Nanti Om yang jemput Yah, nggak usah khawatir."

Setelah berpamitan dengan keluarganya, Lulu dan Farani akhirnya masuk ke peron, menanti kereta mereka datang. Tidak sampai 5 menit, kereta kedua gadis itu datang. Dengan susah payah Lulu membawa kopernya untuk masuk ke kereta dan menyeretnya sampai ke kursi mereka.

"Ini naikinnya gimana Dek?"

Baik Farani maupun Lulu memandangi koper Lulu. Mungkin Farani bisa dimasukkan ke dalam koper itu dengan posisi meringkuk. Dan mereka hanya bisa saling pandang tanpa bisa mengangkat kopernya ke bagasi atas.

"Ya udah, kita tunggu petugas aja buat angkatin." menyerah, Lulu lalu duduk dikursinya.

Untungnya, tak berselang lama datang petugas keamanan kereta. Lulu langsung menghentikannyadan meminta tolong untuk menyimpan koepernya di bagasi atas.

'Gue ke Jakarta sama Lulu, 2 hari.' pesan terkirim ke Sita.

Kapan terakhir kali mereka berkirim pesan? Kapan terakhir kali mereka bertegur sapa lewat telepon? Farani sendiri saja tidak mengingatnya dengan pasti. Dia berharap pesannya akan dibalas oleh Sita, tapi dia tidak akan berharap secara berlebihan.

Tepat pukul 5 pagi kereta tiba di stasiun.

Baik Farani maupun Lulu tidak menyadarinya karena mereka sibuk bermimpi. Bahkan belum ada 30 menit di kereta, mereka sudah terlelap.

"Good morning Jakarta. Im coming." dengan semangat berapi-api, Lulu menyeret kopernya keluar.

"Ayo kita menggembel di ibukota!!" balas Farani tak kalah berapi-api.

Di pintu keluar, Om Juna sudah menanti kedatangan mereka. begitu melihat sosok Lulu, beliau melambaikan tangannya dan segera menghampiri Lulu. Panggilannya saja yang Om, tapi Om Juna seumuran dengan abangnya.

"Ayo kita pulang. Mama udah nungguin di rumah." senyum ramah menghiasi bibirnya sambil membantu Lulu membawakan kopernya. Juga koper Farani.