15 Ujian

Mendekati masa Ujian Nasional.

Minggu depan adalah ujian yang sudah ditunggu oleh semua siswa kelas XII. Berbagai persiapan sudah dilakukan, termasuk belajar dengan giat dan juga les privat.

"Adek, besok kan minggu tenang. Gimana kalo kita liburan?" Ayah mengusulkan ide yang menarik. Kebetulan juga keluarganya jarang berlibur bersama akhir-akhir ini karena kesibukan masing-masing.

"Ide bagus tuh Yah. Kita mau kemana?" Fareza menanggapi dengan antusias.

"Ngikut adek dong mau kemananya." Ayah menoleh ke anak perempuannya itu. "Mau kemana?"

"Umm, gimana kalo ke pantai aja?"

"Oke, dua hari lagi kita ke pantai. Biar bunda siap-siap bekalnya."

"Oke, adek yang nyetir."

Mendengar perkataan Farani, semua anggota keluarga tercengang. Jelas itu bukan ide yang bagus karena Farani belum memiliki surat ijin mengemudi. Terlebih lagi, Farani baru beberapa kali belajar mengemudi.

"Gimana kalo besok kita belajar nyetir lagi? Jalanan bakal rame kalo pas itu." Abang mencoba mencegah keinginan adiknya itu.

Alasan Farani ingin segera bisa mengemudi adalah agar ia bisa segera menggantikan tugas kakaknya. Selama ini bila Ayah sedang ke luar kota, otomatis abangnya yang akan menjadi supir bagi dirinya dan Bunda. Dalam beberapa bulan kedepan, setelah wisuda, Fareza akan segera bekerja di luar kota.

"Oke oke oke, Tuan Muda."

Setelah mencuci piring, Farani pamit kembali ke kamarnya untuk membuka beberapa buku pelajaran. Di meja belajarnya, terdapat beberapa sticky note yang berisi beberapa catatan tentang pelajaran dan tentang cita-citanya.

Farani ingin mengikuti jejak abangnya untuk kuliah di Universitas C. Meskipun hanya sebuah universitas swasta, tapi reputasinya sama baiknya dengan universitas negeri. Bahkan ada beberapa majalah menyebut bahwa universitas C lebih baik daripada universitar negeri. Bukan perkara mudah untuk masuk kesana karena banyak juga pesaing yang harus disingkirkan.

Melihat HPnya yang sedaritadi hening, Farani mencoba membuka HPnya. Semenjak kejadian itu, Sita tidak memberinya kabar, bahkan setelah telepon yang dilakukan dan perkataan bahwa mereka akan membahasnya besok tidak terjadi.Fareza pun tidak membahas ataupun menyebut nama Sita belakangan.

Rere yang menjadi sumber informasinya pun bilang bahwa Sita beberapa hari setelahnya tidak menampakkan diri di kampus.

"Where are you?" suara Farani terdengar putus asa.

Bagian kota lain di Indonesia.

Sita baru saja merebahkan tubuhnya di kasur kamar Yoga, adik tertuanya. Setelah acara pemakaman Mamanya, rumah berangsur sepi sehingga dia bisa mencuri waktu untuk beristirahat. Kia yang sedari tadi menagis juga sudah tertidur karena kelelaha.

"Sita, boleh Papa masuk?"

Dengan langkah gontai, Sita membukakan pintu untuk Papanya. "Ada apa Pa?"

"Gimana kalo setelah kamu wisuda, kita pindah ke Jakarta?"

"Kenapa?"

"Adik-adik kamu sekolah disini, sayang kalo mereka pindah. Kia kan masih SD, jadi menurut Papa nggak masalah kalo Kia aja yang pindah."

Sejenak terdiam, Sita memikirkan perkataan Papanya. "Ngikut Papa aja. Lagian kasihan kalo Yoga sama Mikha harus tinggal sendirian juga."

Papa Sita menepuk pundak anak tertuanya itu sambil berterima kasih atas pengertiannya. Ini bukan perkara yang mudah untuk pindah rumahnya ke Jakarta. Apalagi sedari dulu Sita menghabiskan masa kecilnya di Yogya.

Kembali merebahkan tubuhnya, Sita mulai memikirkan perkataan Papanya tadi. Kalau dia pindah ke Jakarta, bagaimana dengan Farani? Apa dia akan menyerah begitu saja dan melupakan Farani?

HP masih tak bergeming, dibukanya chat terakhir dengan Farani, masih sama dengan beberapa waktu yang lalu setelah Fareza menghajarnya.

Bunyi nada tersambung terdengar di Hpnya.

'Halo?' itu suara Farani.

"Halo."

'Ada apa?'

"Gue di Jakarta sekarang."

'Kapan balik?'

"Nggak tau. Mungkin sebelum wisuda." lebih tepatnya ini dua bulan menjelang wisuda.

'Gue tunggu.'

"Oke." lalu Sita menutup teleponnya.

Seberapa besar keinginannya memiliki Farani? Sangat besar sehingga dia tidak ingin kehilangan Farani. Bahkan sesaat dia berpikir untuk mengajak Farani untuk ikut pindah ke Jakarta bersamanya setelah mendengar ucapan Papanya. Sebegitu inginnya sampai dia tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat Farani berada disisinya.

'I miss you so much' ketikan pesan itu terkirim ke HP Farani dengan mulusnya.

*

Minggu tenang sebelum Ujian.

Malam sebelumnya Raffi mengirim chat kepada Farani kalau dia akan ke Bali, bertanya apakah Farani akan ikut atau tidak. Karena beberapa waktu sebelumnya Mama dan Papa Raffi sempat mengagendakan untuk libur bersama.

'Maaf, gue mau quality time sama keluarga gue juga.'

Lulu juga mengirimi Farani pesan hampir serupa. Bedanya, Lulu mengajaknya ke Jakarta untuk berkunjung ke keluarganya. Setelah mengetahui waktu keberangkatannya pagi ini, dengan berat hati Farani menolaknya. Tak habis akal, Lulu berkata bahwa dia akan menunda keberangkatannya agar bisa pergi bersama sabahatnya itu.

"Ayah, boleh adek ikut Lulu ke Jakarta setelah kita pulang dari pantai?" dengan hati-hati Farani bertanya kepada Ayahnya.

"Kenapa?"

"Lulu ngajakin ke Jakarta, udah sejak sebelum ujian ngajakinnya buat nemenin. Nah nanti malam berangkatnya pake kereta. Lulu udah pesenin tiketnya." Farani menunjukkan HPnya, e-ticket sudah dikirim ke email Farani.

"Berapa hari?" Bunda ikut nimbrung pembicaraan ayah dan Farani.

"Dua hari Bun disana, jadi mungkin Kamis udah balik kesini. Biar nggak capke buat ujian minggu depan."

Ayah dan Bunda saling bertatap penuh makna, lalu anggukan Ayah menandakan bahwa Farani mendapat persetujuan kedua orangtuanya untuk ke Jakarta bersama Lulu. Melihat anggukan Ayah, Farani langsung berlari memeluk ayahnya di seberang meja makan.

"Terima kasih ayah, I love you so much." kecupan demi kecupan mendarat di pipi Ayah.

"Bunda nggak dapet kecupan juga nih?" tanya Bunda dengan nada penuh cemburu.

Berpindah, Farani juga memberi Bundanya hujan kecupan penuh sayang dan pelukan.

"Ada apa nih pagi-pagi udah peluk cium Bunda? Adek ngerayu apa Yah?"

Sebagai pelengkap, Farani juga langsung memeluk dan mencium kakak tersayangnya itu. "Biar abang nggak ngiri kek Bunda."

Fareza hanya pasrah menerima peluk dan cium dari adik perempuannya. Sudah jarang dia tidak mendapat perlakuan penuh kasih sayang dari sang adik karena sekarang kebanyakan mereka bertengkar.

Satu jam setelah sarapan, keluarga Narendra melajukan mobil menuju pantai. Perjalanan selama dua jam menanti. Ayah mengemudikan mobilnya dengan santai dan memainkan lagu riang di playlist MP3.

Ini hari senin yang syahdu. Pantai sepi dari pengunjung, serasa milik sendiri. Matahari yang mulai naik terasa terik dan menyengat kulit. Tepat pukul 10.00 WIB Farani dan keluarganya sampai di pantai tujuan.

"Wah, rasanya bisa puas main air kalo kek gini." teriakan Farani menyambut kedatangan mereka di pantai.

Seperti anak kecil, Farani berlari kesana kemari telanjang kaki. Sesekali ombak menyentuh kakinya. Tak kalah bahagia, Fareza berlari mengejar Farani dan menceburkan tubuh adiknya ke pantai. Basah kuyup baju Farani. Membalas dendam, Farani memercikkan air pantai ke arah kakaknya.

Melihat kedua anaknya yang bahagia melepas masalah masing-masing, Bunda merasa ikut bahagia.

"Bunda, ayo main air." ajak Farani sambil berteriak.

"Kalian aja, Bunda jagain makanan biar nggak kabur."

Ayah yang sedari tadi sedang sibuk dengan kameranya, mengabadikan momen kedua anaknya yang sudah besar bertingkah seperti anak kecil. Bunda pun tak luput dari bidikan kamera Ayah. Bak fotografer profesional, ayah berulang kali memotret keluarganya.

avataravatar
Next chapter