35 Deg-deg-an

Farani kembali ke rutinitas hariannya. Kuliah rumah, kuliah rumah.

Karena pemilik mobil sudah kembali, otomatis kepemilikan mobil kembali kepada sang empunya. Jadinya Farani diantar jemput untuk kuliah. Sebenarnya masih ada mobil Ayah, tapi Farani merasa enggan karena terlalu besar.

"Abis kuliah kita nonton yuk?" ajak Fareza sebelum Farani turun dari mobil.

"Gue udah ada janji sama Mama, mau bikin kue."

Fareza hanya menganggukkan kepala, lalu melajukan mobilnya menuju rumah.

Fareza sadar, butuh waktu untuk memperbaiki keadaan. Apalagi kesalahan yang dibuat oleh Fareza bisa dibilang bukan hal yang mudah. Dengan berat hati dia menerima perlakuan dingin adiknya.

Karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan, Fareza akhirnya kembali ke rumah. Dan di rumah pun hanya ada Bunda.

"Bunda, kemana gitu. Nggak bosen apa di rumah mulu?" saking menganggurnya, Fareza berguling-guling di lantai.

"Kerjaan Bunda banyak, kenapa Abang nggak bantuin Bunda aja?"

"Misalnya?"

"Jemur baju tuh." Bunda menunjuk ketumpukan baju yang baru saja dikeluarkan dari mesin cuci.

"Panas Bunda, sunburn." Fareza mengelus wajahnya yang sudah sedikit lebih cerah. "Bunda nggak liat apa, anak Bunda yang ganteng ini jadi dekil gegara sering kepanasan?"

Bunda hanya bisa menghela napas melihat tingkah putranya itu. Salah beliau tidak mengajarkan bagaimana membantu tugas perempuan di rumah. Bunda selalu berharap semoga kelak istri Fareza bisa lebih sabar menghadapinya sebagai suami.

"Semoga nanti istri kamu sabar punya suami model kaya kamu, Bang." Bunda melanjutkan memasaknya.

"Amin. Semoga doa Bunda yang terbaik untuk putra tertampannya ini."

Pada akhirnya Fareza tetap menjemur baju dibawah teriknya matahari. Sejak berpisah dan memutuskan untuk hidup mandiri, mau tidak mau Fareza harus melakukan semuanya sendiri, termasuk mencuci dan menjemur baju.

"Kalo cuma jemur baju mah gampil Bunda, udah expert anak Bunda nih." Dengan bangganya Fareza memperlihatkan hasil kerjanya.

Kedua jempol Bunda terangkat untuk Fareza. "Wah, Abang memang hebat."

"Kalo gitu, kita jalan-jalan yuk. Reward gitu ceritanya." Fareza masih berusaha merayu Bunda.

"Bukannya abis ini mau jemput Adek ya?"

Menggelengkan kepala, lalu Fareza menjawab, "nggak, abis ini Adek mau ke rumah Mama. Bikin kue."

"Trus gimana masalah kamu soal Sita?" Bunda mulai membahas topik yang sensitif.

"Nggak gimana-gimana. Emang kudu gimana?"

Bunda menaikkan pundaknya. "Udah baikan sama Adek?"

"Kayanya Adek masih marah. Tadi aja ketus gitu jawabnya pas ditanya."

"Jawab jujur, kenapa Abang sampe marah kek gitu?"

Pertengkaran dalam keluarga itu hal yang lumrah, tapi menjadi tidak lumrah saat berlangsung lama. Dan Bunda berpikir kedua anaknya tidak seharusnya bertengkar selama ini. Beliau berusaha untuk membuat rumah kembali damai.

Mengerucutkan bibirnya, Fareza tidak langsung menjawab pertanyaan Bunda. Setelah menghela napas, Fareza menjawab, "ini urusan laki-laki Bunda."

*

Selesai kuliah, jam menunjukkan pukul 3 sore. Farani ditemani Tika dan Amel menunggu jemputan Mama.

"Kenapa lo nggak pacaran sama anaknya Mama aja?" tanya Tika sambil bercanda.

"Gue udah lama temenan sama Raffi. Ya kali tiba-tiba gue bilang 'yuk Raf kita pacaran', kan nggak lucu."

"Jadi, lo juga suka sama Raffi?" sambung Amel penuh perhatian.

Mendapat pertanyaan itu, Farani bingung. Pikirannya berputar ke waktu dimana dia merasa Raffi melamarnya. Tentang menunggu empat tahun dan tentang kalung yang masih Farani simpan.

"Ah ilah, malah ngelamun dia, Tik. Keknya beneran suka dia sama anak Mama." Goda Amel sambil mencolek pinggang Farani.

"Apaan sih." Farani mengusap pinggangnya. "Suka dong, anak orang kaya, pinter pula."

Dikejauhan, Farani menilah mobil Mama mendekat. Tidak sulit mengidentifikasi mobil Mama karena hanya sedikit orang yang memakai Audi warna putih di kota ini.

"Duluan girls, jemputan udah dateng." Menunjuk mobil Audi A4 warna putih.

"Hati-hati dijalan Fafa. Have fun ya." Tika dan Amel melambaikan tangan berbarengan.

Begitu mobil berhenti, terlihat senyum Mama yang menyenangkan.

"Udah lama nunggunya?"

"Nggak kok." Jawab Farani sambil mengenakan seatbelt. "Mama udah belanja?"

"Oh ho." Mama masih fokus mengemudikan mobil. "Adek udah lancar nyetir?"

"Kalo cuma sekelas mobil Abang sih lancar. Kenapa Ma?"

"Mobil Raffi kan nganggur. Sayang kalo nggak dipake, takutnya malah cuma rusak nanti kalo nggak dipake. Raffi bilang suruh dipake Adek aja, sekalian biar ada yang ngerawat."

"Coba deh nanti bilang sama Ayah dulu."

Setelah mengganti pakaian, Mama segera turun ke dapur. Farani yang juga telah berganti baju turut membantu Mama. Semenjak kuliah, Farani menjadi lebih akrab dengan dapur. Entah sekedar membantu Bunda ataupun belajar memasak.

Selain itu, dia ingin membantu Sita untuk urusan makan. Jadi mau tidak mau dia harus mengakrabkan diri dengan dapur. Itung-itung belajar untuk nanti saat dia sudah berumah tangga.

Memikirkan rumah tangga, pikiran Farani teringat tentang Sita. Kereta Sita akan sampai di stasiun pukul 8 malam.

'Gue di rumah Mama. Kabarin kalo udah sampe stasiun'. Pesan terkirim ke Sita.

Seperti biasa, Mama membuat cake kesukaan Farani, roll cake. Tapi kali ini Mama juga membuat red velvet cake kesukaan Papa. Itu artinya sebentar lagi Papa akan berkunjung.

"Papa mau dateng ya, Ma?" Farani memastikan.

"Iya. Mungkin besok sore." Jawab Mama sambil memastikan oven panas.

Sambil menunggu cake matang, Farani dan Mama duduk di teras, menikmati sore yang sepi di depan rumah. Bau kue yang dipanggang segera tercium, bahkan sampai di halaman depan.

Halaman depan rumah Raffi tidak terlalu luas, tapi cukup untuk duduk santai sambil menikmati sore yang tidak terlalu terik ini. Mama sesekali membalik halaman majalah sambil menyesap teh chamomile favoritnya.

"Raffi nggak ada rencana pulang, Ma?" Farani memulai pembicaraan.

Sedikit lelah karena berkirim pesan membuat Farani ingin melakukan hal lain.

"Nggak tau. Kemarin sih bilangnya besok sekalian wisuda. Tapi Papa nyuruh pulang tahun depan."

"Nggak berasa ya udah setahun." Kenang Farani.

Dulu saat masih duduk di bangku SMA, saat Farani masih sering main ke rumah ini, dia dan Lulu akan langsung duduk di bawah pohon tanjung ini dan menyuruh Raffi membawakan mereka minuman.

Dan Raffi akan menuruti permintaan Farani dan Lulu. Sungguh tuan rumah yang sangat baik.

"Iya. Akhirnya Raffi bisa juga hidup di negeri orang."

avataravatar
Next chapter