webnovel

Toko Baju

Marko yang menjadi penonton pun tersenyum puas. Akhirnya Marko bisa membalas perbuatan Maya kepada Debi.

"Marko, apakah kamu dalang dibalik semua ini?" tanya Gilang.

"Iya, aku yang sudah membuat Maya dalam masalah."

"Wah-wah, sepertinya ada yang belum bisa move on nih."

"Maksud kamu apa?" tanya Marko dengan alisnya yang naik ke atas.

"Kamu belum bisa move on dari Debi kan? Karena itu lah kamu belas dendam kepada Maya."

"Tidak usah sok tahu kamu," balas Marko tidak suka.

"Wajah kamu tidak bisa berbohong Marko."

"Iya, betul itu. Aku setuju kalau Marko sebenarnya belum bisa move on dari Debi," sahut Bagas.

Baru saja Marko merasa puas, namun ucapan teman-temannya membuat suasana hati Marko berubah.

"Terserah kalian."

Marko melangkahkan kakinya berjalan pergi meninggalkan teman-temannya. Melihat itu, teman-teman Marko langsung berjalan mengikutinya.

Lidya dan juga Mira yang saat itu berjalan keluar dari dalam kantin. Mereka tidak sengaja melihat kerumunan mahasiswa. Mereka yang merasa penasaran pun berjalan mendekati.

Lidya dan juga Mira langsung terkejut saat mereka tahu orang yang tengah dikerumuni adalah teman mereka.

"Maya."

Maya yang saat itu duduk tak berdaya di lantai langsung mengalihkan pandangannya.

"Cepat tolong aku."

Lidya dan juga Mira langsung berjalan mendekati Maya. Mereka berusaha menghalangi mereka yang ingin melempari Maya.

"Cukup! Apa-apaan kalian melempari temanku seperti ini."

"Kalau punya teman makanya dibilangin. Jangan suka mengintip di toilet cowok."

Lidya dan Mira yang mendengarnya pun terkejut. Mereka melihat Maya dengan tatapan penuh tanya dan juga tak percaya.

"Mereka bohong. Aku tidak mengintip. Aku hanya mencari kunci mobil Marko yang hilang di toilet."

"Alah, itu hanya alasan kamu saja. Mana ada kunci mobil Marko bisa sampai hilang di toilet."

"Benar. Aku tidak bohong."

"Sudah, tidak usah percaya. Kita lempari dia lagi."

Saat mereka ingin kembali melempari Maya. Lidya dan juga Mira langsung menghalangi mereka.

"Lebih baik sekarang kalian bubar. Kalau tidak kita akan bilang sama rektor."

Mendapat ancam itu pun membuat mereka yang berkerumun langsung membubarkan diri. Bukan karena mereka takut, tapi mereka malas jika sudah berhubungan dengan rektor.

"Maya, kamu tidak apa-apa kan?"

"Tidak apa-apa bagaimana. Lihat, badanku penuh sama tepung dan telur."

"Ya bagus dong Maya. Kamu kayak orang yang lagi ulang tahun," kata Mira bermaksud bercanda, namun dia langsung mendapatkan tatapan tak bersahabat dari Maya dan juga Lidya. Mira pun tersenyum bersalah.

"Bagaimana kamu bisa mencari kunci mobil Marko di toilet Maya?"

"Tadi kamu kan tahu kalau Marko mendatangi aku di kantin. La saat itu Marko minta tolong sama aku untuk membantu dia mencarikan kunci mobilnya yang hilang di toilet. Nanti kalau ketemu aku mau diajak nonton."

"Apa? Kamu mau diajak Marko nonton? Apa gak salah tuh?" balas Lidya dan juga Mira terkejut. Mereka merasa tidak percaya dengan yang diucapkan Maya barusan. Yah, mereka tahu betul jika selama ini Maya mengejar-ngejar Marko, tapi tidak diperdulikan.

"Iya, Marko mau ngajak aku nonton. Aku tidak berbohong."

"Bagaimana bisa Marko ngajak kamu jalan?"

"Iya bisa lah, aku dan Marko kan sudah jadian."

Upssss

Seketika itu Maya langsung menutup mulutnya. Maya baru sadar jika dia sudah mengingkari janjinya kepada Marko untuk tidak memberitahukan hubungannya dengan Marko.

"Apa? Kamu sudah jadian sama Marko?" balas Lidya dan juga Mira semakin terkejut. Mereka sangat shock dengan ucapan Maya barusan.

"Hussstttttt, pelan-pelan. Nanti ada banyak orang yang akan mendengarnya."

"Kenapa memangnya Maya?"

"Marko meminta aku untuk menyembunyikan hubungan kita."

"Kenapa Marko meminta kamu untuk menyembunyikan hubungan kalian? Aneh sekali."

"Aku tidak tahu Lidya, yang jelas kalau aku mau menjadi pacarnya Marko. Aku harus merahasiakan hubungan kami."

"Itu berarti Marko pasti ada sesuatu yang disembunyikan dia."

"Aku tidak perduli, yang terpenting aku bisa jadian sama Marko."

"Kalau Marko memanfaatkan kamu bagaimana Maya?"

"Itu tidak mungkin terjadi. Aku yakin Marko jadian denganku itu karena dia sayang sama aku," balas Maya dengan percaya diri.

"Aku berharapnya sih semoga seperti itu Maya."

"Sudah, tidak usah berpikir negatif sama pacarku. Aku yakin pasti kalian iri kan?"

"Untuk apa aku iri. Orang kamu baru saja pacaran sama Marko, tapi sudah kayak gini. Pasti tadi dia ngerjain kamu," sahut Mira.

"Tahu apa masalah cinta. Lebih baik kamu diam saja," balas Maya tidak suka. Yah, karena Maya sangat yakin dengan yang ia pikirkan saat ini.

"Cepat tolong aku. Jangan hanya membiarkan aku seperti ini."

"Iya Maya."

Lidya dan juga Mira membantu Maya untuk beranjak dari duduknya. Mereka membawa Maya untuk memberikan badannya.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh. Akhirnya mobil yang Debi naiki sampai juga di depan toko baju. Dari dalam mobil. Debi bisa melihat toko baju yang berdiri kokoh di depannya.

"Besar sekali toko baju ini? Untuk apa Rafa membawa aku ke toko baju sebesar ini?" bisiknya.

"Ayo turun."

"Eh, iya."

Debi membuka pintu mobil. Ia pun langsung berjalan turun saat melihat Rafa yang juga turun dari dalam mobil.

"Ayo kita masuk."

"Kamu yakin mau membelikan aku baju di sini?"

"Iya, yakin. Memangnya ada apa?"

"Toko baju sebesar ini. Aku yakin baju-baju yang dijual di dalam sana harganya mahal-mahal. Lebih baik kita mencari toko baju yang marahnya murah-murah saja. Ayo kita naik ke dalam mobil lagi."

Saat Debi hendak masuk ke dalam mobil. Rafa langsung menghentikannya.

"Mau apa kamu masuk lagi ke dalam mobil? Tidak apa-apa kalau harganya memang mahal. Nanti aku yang membayarnya."

"Tidak usah Rafa. Aku tidak mau membuat uang kamu habis gara-gara aku."

"Tidak masalah. Aku senang kok melihatnya."

"Tapi....."

"Sudah, ayo masuk."

Rafa menggandeng tangan Debi dan mengajaknya masuk ke dalam toko baju.

Langkah Debi terhentikan di depan toko. Saat itu Debi melihat isi toko yang sangat lengkap. Ada banyak model baju yang bisa ia pilih di toko baju itu.

"Ayo kita pilih baju yang cocok untuk kamu."

"Enggak deh Rafa. Lebih baik aku pulang saja."

"Mau apa kamu pulang? Ayo cepat cari baju agar kita bisa segera kembali ke kampus."

Rafa kembali menggandeng tangan Debi. Meski saat itu Debi tidak terus menolak, tapi Rafa terus memaksanya.

"Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya karyawan toko.

"Saya mau baju yang cocok untuk dia Mbak," balas Rafa sembari menunjuk Debi.

"Oh iya Mas, ada. Saya ambilkan dulu ya!"

"Iya."

Karyawan itu pun pergi untuk mengambil baju yang diinginkan Rafa.

"Rafa, apa tidak sebaiknya kita pulang saja? Kalau kita beli baju di sini, nanti hutangku sama kamu akan banyak."