webnovel

Bertemu Kembali

Rafa tersenyum mendengar ucapan Debi. ini pertama kalinya Rafa melihat wanita yang tidak mengambil keuntungan di saat ada seseorang yang ingin membelikannya barang.

"Tidak apa-apa, tidak usah kamu pikirkan."

"Tapi Rafa....."

"Ini Mas, bajunya."

Ucapan Debi harus terhentikan saat pelayan toko datang mendekati mereka. Pelayan toko itu membawa baju mewah yang sangat bagus. Pasti harganya sangat mahal.

"Iya Mbak, terima kasih. Ini bajunya biar di coba sama teman saya dulu."

"Iya Mas."

"Ini Debi, coba dulu."

"Tapi Rafa, ini kan baju mahal. Aku beli yang harga murah saja, tidak perlu harga mahal."

"Tidak apa-apa. Cepat coba sana."

"Tapi Rafa."

Rafa menyodorkan baju itu. Debi yang tidak mau. Terpaksa menerima baju itu dan langsung menuju ruang ganti.

Setelah Debi mengganti baju kotornya dengan baju baru. Debi melangkahkan kakinya berjalan keluar dari dalam ruang ganti. Tidak ketinggalan pula, Debi membawa baju kotornya tadi yang ia taruh di kantong plastik. Debi memberikan tatapan lucu pada Rafa yang melihat kearahnya.

Rafa tersenyum. Memang pada dasar Debi wanita cantik yang polos. Tanpa mau menggunakan barang murah ataupun mahal. Debi tetap terlihat cantik. Rafa tersenyum sembari mengacungkan jempolnya.

"Mbak, saya pilih yang itu ya!"

"Iya Mas, uangnya bisa dibayarkan di kasir ya!"

"Iya Mbak."

Mendengar ucapan Rafa. Debi langsung berjalan mendekatinya.

"Ini kan harganya mahal. Aku tidak mau membelinya."

"Itu baju kan sudah kamu pakek. Toko mana mau kalau dikembalikan lagi."

"Iya kah? Kalau tahu gitu tadi aku tidak perlu mencobanya."

Debi yang tidak pernah datang ke toko baju besar seperti ini, membuat Debi langsung panik saat mendengar ucapan Rafa. Sementara Rafa yang melihatnya tersenyum.

"Dasar wanita polos," bisiknya.

"Kenapa kamu tersenyum?"

"Tidak apa-apa. Sudah, ayo kita bayar bajunya dulu. Setelah itu kita langsung ke kampus."

"Iya."

Rafa dan juga Debi melangkahkan kaki mereka berjalan menuju kasir.

"Aduh, sakit tahu."

Maya kesakitan saat kedua temannya mengobati lukanya.

"Ini sudah pelan-pelan Maya. Kamu harus menahannya."

"Menahannya bagaimana? Sakit."

"Makanya besok lagi jangan melakukan hal b*doh yang bisa melukai diri kamu sendiri."

"Aku tidak melakukan hal b*doh. Aku melakukan itu karena aku menolong pacarku."

"Memangnya Marko menganggap kamu pacar?"

"Iyalah, Marko itu menganggap aku pacarnya. Kalau gak, gak mungkin dia mau jemput aku pas pulang kerja waktu itu."

"Tapi kalau dia menganggap kamu. Kenapa dia tidak datang saat kamu terluka seperti ini?"

"Mungkin itu karena dia tidak tahu kalau aku terluka."

"Terus saja kamu belain Marko," balas Lidya kesal.

Debi berjalan keluar dari dalam mobil saat Rafa menghentikan mobilnya di parkiran kampus. Tidak ketinggalan pula. Rafa juga ikut turun dari dalam mobilnya.

"Kamu tidak ikut masuk Rafa?" tanya Debi saat melihat Rafa berdiri di samping mobilnya.

"Iya, kamu duluan. Nanti aku nyusul."

"Ya sudah, kalau begitu aku masuk dulu ya!"

Debi melangkahkan kakinya, namun tidak lama setelahnya Debi kembali menghentikan langkahnya.

"Oh iya, aku sampai lupa. Terima kasih ya sudah menolongku hari ini."

"Iya, sama-sama."

Setelah Debi memberikan senyuman termanisnya. Debi kembali melangkahkan kakinya.

Marko berjalan ke sana kemari dengan rasa cemas. Sedari tadi Marko belum juga menemukan keberadaan Debi. Tidak hanya itu saja. Omnya juga ikut-ikutan hilang.

"Kemana juga Om Rafa ini, ikut-ikutan ilang."

Marko mengedarkan pandangannya. Saat itu Marko melihat omnya yang tengah berdiri di samping mobilnya.

"Itu kan Om Rafa? Tadi dari mana saja dia?"

Marko melangkahkan kakinya berjalan mendekati omnya.

"Om Rafa."

Mendengar namanya dipanggil. Rafa mengalihkan pandangannya.

"Iya Marko, ada apa?"

"Om Rafa dari mana saja? Dari tadi aku cari gak ada?"

"Oh, tadi Om nganter wanita incaran Om ke klinik."

"Memangnya Om sudah ketemu dengan wanita incaran Om?"

"Sudah dong."

"Wih, gercep banget Om Rafa," balas Marko yang langsung hilang rasa kesalnya.

"Iya dong, kalau masalah cinta Om memang harus gercep. Om tidak mau patah hati lagi gara-gara telat menyatakan cinta."

"Memangnya wanita incaran Om Rafa tadi kenapa? Kok Om Rafa bawa ke klinik?"

"Tadi ada anak-anak kampus yang melemparinya dengan tomat busuk dan lainnya."

Seketika itu Marko terdiam. Ucapan omnya mengingatkan Marko dengan Debi.

"Kenapa yang diucapkan Om Rafa mirip dengan yang dialami Debi ya? Apa mungkin wanita yang Om Rafa maksud itu Debi? Tidak-tidak, tidak mungkin Debi wanita yang Om Rafa maksud," bisiknya.

"Kenapa kamu malah bengong? Tadi kenapa kamu nyariin Om?"

Mendengar ucapan Rafa. Marko tersadar dari lamunannya.

"Tidak ada apa-apa kok Om. Takutnya Om Rafa nyasar saja."

"Kamu kira Om anak kecil yang akan nyasar gitu aja? Sepertinya kamu terlalu meremehkan Om."

"Bukannya begitu Om. Aku kan hanya mengkhawatirkan Om saja."

"Oke, oke, Om sangat berterima kasih karena kamu sudah mengkhawatirkan Om."

"Iya Om. Ya sudah, aku masuk dulu ya Om?"

"Iya, belajar yang serius."

"Iya Om."

Marko melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam kampusnya.

Marko yang saat itu hendak masuk ke kelasnya. Tidak sengaja berpas-pasan dengan Debi. Mereka sama-sama menghentikan langkah mereka. Baik Debi maupun Marko saling bersitatap. Mereka saling diam tanpa ingin berucap.

"Luka di tubuh Debi sudah diobati? Apa mungkin ini karena ada hubungannya dengan Om Rafa ya?" bisik Marko dalam hati.

Debi melihat Marko yang masih melihat kearahnya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Yang jelas Marko memberikan tatapan yang sulit diartikan Debi.

Huh, Debi sedih mengingat persahabatannya dengan Marko yang sudah tak lagi seperti dulu. Padahal dulu Debi sangat dekat dengan Marko, tapi sekarang mereka seperti orang asing yang tak saling kenal.

"Marko, kamu jahat."

Marko dan juga Debi mengalihkan pandangan mereka saat mendengar suara seseorang. Saat itu mereka melihat Maya yang tengah berdiri di samping Marko.

Debi melihat Maya dengan tatapan penuh tanya. Sementara Marko sebaliknya. Marko terkejut saat tiba-tiba Maya ada di sampingnya. Marko panik jika keberadaan Maya akan membuat semua rencananya kacau.

"Ih, kamu kok diam saja sih Marko. Seharusnya kamu mengkhawatirkan aku. lihat, gara-gara kamu, aku jadi kayak gini."

Marko masih diam dan melihat Debi. Entah apa arti tatapan Debi. Yang jelas tatapan Debi tak bisa Marko baca.

"Marko, kok kamu masih diam saja sih? Seharusnya kamu mengkhawatirkan pacar kamu," sambung Maya kesal saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Marko.

Wajah Marko terlihat pucat saat Maya menyebutkan kata yang tidak ia harapkan Debi dengan. Marko terus melihat Debi untuk melihat reaksinya. Namun sayangnya tanpa berucap. Marko melihat Debi melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.