webnovel

Mahasiswa Baru

Dengan semangatnya. Debi dan juga Rafa melangkahkan kaki mereka berjalan menuju parkiran klinik.

"Tas kamu ada di dalam. Masuklah. Aku akan mengantarkan kamu ke kampus lagi."

"Apakah aku tidak merepotkan kamu?"

"Tidak. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan."

"Baiklah, kalau kamu memang tidak merasa direpotkan."

Debi berjalan masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan Rafa.

"Ini tas kamu," kata Rafa yang memberikan tas Debi kepada pemiliknya.

"Terima kasih ya! Sebentar aku ambilkan ponselku dulu."

Debi mengambil ponselnya dan membacakan nomor ponselnya. Sementara Rafa tersenyum senang sembari menulis nomor Debi ke dalam ponselnya.

"Itu nomorku, jika nanti aku sudah punya uang. Aku akan langsung membayar hutangku."

"Iya, tidak perlu terlalu dipikirkan."

"Iya."

"Ya sudah, kita kembali ke kampus lagi ya!"

"Iya."

Rafa menghidupkan mesin mobilnya, dan melajukannya meninggalkan parkiran klinik.

Suasana di dalam mobil terasa hening saat Debi maupun Rafa sama-sama diam. Rafa fokus pada jalan raya, sementara Debi sibuk dengan pikirannya.

"Kenapa tadi kamu sampai ditindas?" tanya Rafa memecah keheningan.

"Biasa, mungkin itu kerjaan Maya."

"Kamu sering ditindas seperti itu?"

"Kamu mahasiswa baru ya! Sepertinya kamu terlihat terkejut melihat aku diperlukan seperti itu."

Rafa terkejut mendengar Debi menyebutnya mahasiswa baru.

"Apakah penampilanku masih terlihat sangat muda?" bisiknya.

"Kenapa kamu diam? Kamu benar mahasiswa baru? Soalnya aku baru melihat kamu di kampus."

"Eh, iya. Aku mahasiswa baru kok."

"Oh, pantas saja kamu tidak tahu."

"Berarti kamu memang sering ditindas seperti tadi?"

"Bisa dibilang seperti itu."

"Kamu tidak melawan?"

"Bagaimana aku bisa melawan. Mereka berkelompok, sementara aku hanya sendirian."

"Kamu tidak punya teman di kampus?"

"Dulu ada sih, tapi sekarang......"

Debi menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat sendu dan hampir saja meneteskan air matanya. Melihat itu Rafa menjadi tidak tega.

"Kalau kamu tidak punya teman. Mulai sekarang aku akan menjadi teman kamu," balas Rafa tersenyum manis.

"Kamu mau berteman denganku?"

"Iya, kenapa tidak. Aku akan mahasiswa baru di sana. Jadi aku belum punya teman. Kamu mau kan berteman denganku?"

"Kalau kamu tidak keberatan untuk berteman denganku. Aku rasa tidak masalah."

"Kalau begitu mulai sekarang kita teman ya!"

Rafa mengulurkan tangannya, dan disambut Debi dengan tersenyum senang.

"Kita ke toko baju dulu ya!"

"Mau ngapain kita ke toko baju? Bukannya tadi mau langsung ke kampus?"

"Kamu tidak mungkin kan kembali ke kampus dengan baju kotor seperti itu?"

Debi melihat dirinya. Saat itu Debi baru menyadari jika bajunya dipenuhi tepung dan juga tomat busuk.

"Bagaimana? Kamu masih ingin ke kampus dengan baju kotor?"

"Tidak sih, tapi aku tidak punya uang untuk membeli baju baru."

"Nanti biar aku yang membelikannya untuk kamu."

"Tidak usah, aku tidak mau terus-terusan merepotkan kamu."

"Tidak apa-apa, aku tidak merasa direpotkan kok."

"Tapi......"

"Tidak ada kata tapi, kita ke toko baju sekarang."

Tanpa bisa menolak. Debi mengikuti keinginan Rafa yang membawanya menuju toko baju.

Maya masih sibuk di dalam toilet cowok. Saat itu Maya masih belum juga menemukan kunci mobil milik Marko.

"Marko, aku sudah mencari kunci mobil kamu kemana-mana, tapi aku tidak juga menemukannya," teriak Maya dari dalam toilet, namun saat itu Maya tidak mendengar jawaban dari Marko.

"Marko," teriak Maya kembali.

Cklek

Saat itu Maya melihat pintu toilet terbuka. Maya pun tersenyum dan langsung berjalan mendekati pintu toilet.

"Marko, aku tidak menemukan kunci mobil kamu, tapi kita tetap jalan ya!" kata Maya yang langsung memeluk seseorang yang masuk ke dalam toilet itu.

"Apa-apaan ini?"

Deg

Seketika itu Maya menjauhkan dirinya. Maya melihat seseorang yang ia peluk tadi.

"Kenapa kamu ada di sini?" kata Maya terkejut saat menyadari orang yang barusan ia peluk bukan Marko, tapi salah satu teman satu kelasnya.

"Justru seharusnya aku yang tanya. Kenapa kamu bisa ada di dalam toilet cowok? Jangan-jangan kamu mau mengintip."

"Tidak. Aku tidak mau mengintip. Aku di sini mau mencari kunci mobil Marko yang hilang. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanyakan langsung sama Marko."

"Mau tanya Marko bagaimana? Orangnya saja tidak ada."

"Apa kamu buta? Lihat, dia ada di depan pintu toilet."

"Kamu itu yang buta. Orang tidak ada siapa-siapa di depan pintu toilet."

Maya yang tidak mempercayai itu pun langsung berjalan keluar. Dan benar saja, saat Maya keluar. Maya tidak melihat Marko ada di depan pintu toilet.

"Sekarang kamu masih mau mengelak lagi kalau kamu di sini memang ingin mengintip?"

"Benar. Tadi di sini ada Marko," balas Maya panik.

"Tapi buktinya mana? Orang jelas-jelas gak ada Marko di sini."

"Iya, aku gak bohong. Tapi beneran ada Marko. Dia meminta aku untuk mencari kunci mobilnya yang hilang di dalam toilet."

"Jelas-jelas sudah kepergok, masih saja banyak alasan. Sini kamu, ikut aku."

Teman satu kelas Maya menarik tangan Maya, dan membawanya keluar dari dalam toilet. Meski saat itu Maya memberontak, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melepaskan diri darinya.

Teman satu kelas Maya terus menarik Maya. Dia membawa Maya ke tempat umum. Di mana di sana ada banyak sekali mahasiswa lainnya yang tengah menikmati waktu istirahat mereka. Teman satu kelas Maya mendorong Maya hingga terjatuh ke lantai.

Seketika itu, mahasiswa yang tengah menikmati istirahat mereka. Mengalihkan perhatian mereka. Mereka menjadikan Maya menjadi pusat perhatian.

"Ada apa ini?" tanya mahasiswa lainnya.

"Tadi aku memergoki Maya mengintip di toilet cowok."

"Yang benar?" balas yang lainnya, dan saat itu suara mahasiswa terdengar riuh.

"Iya, aku memergokinya langsung."

"Tidak. Apa yang dikatakan dia tidak benar. Aku tidak mengintip," balas Maya.

"Jelas-jelas aku memergoki kamu di dalam toilet cowok. Kamu masih saja mencari alasan."

"Iya, tapi saat itu aku mencari kunci mobilnya Marko yang hilang."

"Kalau pun kunci mobil Marko hilang, dia tidak mungkin meminta kamu yang mencarinya. Iya gak teman-teman."

"Iya, betul itu."

Saat itu terdengar suara sorakan dari mahasiswa lainnya. Mereka menghujani Maya dengan kata-kata kasar yang membuat telinga Maya terasa panas. Saat itu Maya tidak bisa lagi membela dirinya. Mereka terlalu banyak, dan Maya kewalahan menghadapi mereka.

"Dasar wanita mesum. Enaknya kita apakan dia?"

"Kita lempari saja dia."

"Iya, betul."

Maya menggelengkan kepalanya. Maya ingin lari dari sana, tapi dia sudah dikepung dan tidak bisa bergerak kemana-mana. Saat itu Maya hanya bisa berharap Marko melihatnya, dan menolongnya. Atau pun jika tidak, teman-temannya datang menolongnya sebelum Maya benar-benar dimasa mereka.

"Ya Tuhan, tolong aku," kata Maya menahan malu dan juga takut.